[caption caption="Novaversary #BahagiaDiRumah"][/caption]
"Maybe surrounded by a million people
I still feel alone
I just wanna go home
Oh, I miss you, you know.." (Home - Michael Buble)
Penggalan lirik lagu Michael Buble di atas kembali mengingatkan saya lagi akan masa-masa nomaden dulu, saat masih berkutat dengan karier saya sebagai field geologist (yang notabene) harus nge-camp di site (lokasi tambang). Saat malam menjelang, ditemani suara jangkrik dan beraneka suara khas satwa hutan, seringkali saya iseng mendengarkan lagu ini, dengan harapan agar rasa rindu kepada rumah dan keluarga bisa sedikit terobati.
Terima kasih kepada Tuhan Yang Maha Esa karena telah menganugerahkan akal, hati, dan jiwa untuk manusia di dunia sehingga siapapun yang tengah bersedih dan merasa terpuruk akan mulai jenuh untuk meratapi nasib, kemudian sesegera mungkin mencari cara terbaik untuk bangkit, menemukan formula mutakhir untuk meramu kesedihan menjadi suatu modal besar meraih kebahagiaan.
Formula mutakhir meraih kebahagiaan? Apa itu? Kalau kata suami saya, kunci bahagia itu cuma satu: Bersyukur.. Apa artinya segala nikmat kehidupan yang kita miliki apabila kita selalu merasa kurang? Atau justru membanding-bandingkan milik kita dengan pencapaian orang lain? Bisa-bisa malah kecemburuan atau kemarahan yang muncul, menimbulkan stres tak berkesudahan.
Stres itu pernah saya alami ketika melepas karier saya yang boleh dikata sudah lumayan untuk wanita usia 20-an. Sejak lulus kuliah, saya diterima bekerja di perusahaan tambang sebagai field geologist dengan gaji bulanan yang boleh dikata lebih dari cukup. Selama kurang lebih 3 tahun bekerja itu, tidak pernah sekalipun saya merasa kekurangan dalam hal materi. Keluhan saya hanya satu, keharusan untuk tinggal di basecamp geologist di daerah terpencil, jauh dari keluarga, minim akses, minim signal, serta fasilitas seadanya, membuat saya kurang nyaman.
[caption caption="Saat saya masih menjadi explorasion geologist di lapangan.."]
Efeknya luar biasa, begitu cuti menjelang, seperti pelampiasan, saya langsung menyerbu mall untuk membeli apa saja yang menyilaukan hasrat belanja. Karena lapar mata, semua saya beli. Ajakan seorang teman untuk travelling ke luar negeri pun tak saya abaikan. Meski negara yang saya datangi masih relatif dekat yaitu Singapura, namun siapa sangka setibanya di sana hasrat shopping saya malah makin menggila dan tak terkontrol.
Entah karena memang kurang senang berlama-lama di hutan, atau memang "rindu" yang sudah memuncak, akhirnya saya memutuskan "give up", resign dari pekerjaan sebagai field geologist di perusahaan sebelumnya, dan menerima tawaran kerja sebagai "database geologist" di tambang batubara. Bedanya, untuk pekerjaan ini saya lebih banyak beraktivitas pada kantor pusat di kota Jakarta ketimbang beraktivitas eksplorasi di lapangan.
Suasana baru, tantangan baru..
Setelah memutuskan pindah, otomatis semua tersegarkan oleh rutinitas baru. Saya yang dulunya bangun pagi untuk bergegas ke lapangan, kali ini harus bangun lebih pagi lagi. Alasannya, yang saya hadapi bukan lagi jalan menanjak yang kadang licin bila sudah disiram hujan semalam sebelumnya, yang tak bisa dipungkiri menjadi faktor utama penghambat ketepatan waktu saya tiba di rig. Tetapi kali ini saya harus "say hi" pada kemacetan Jakarta yang membuat saya harus bangun sesubuh mungkin, dan berangkat sepagi mungkin. Jika tidak, pasrahlah dan nikmati saja rasa gregetan menggugah emosi.