Mohon tunggu...
Andi Mirati Primasari
Andi Mirati Primasari Mohon Tunggu... Full Time Blogger - i love reading and writing.. thanks Kompasiana, sudah menjadi langkah awal saya untuk mulai ngeblog..

Lahir dan besar di Makassar, dan saat ini menetap di Jakarta menjalani kesibukan sebagai seorang istri merangkap karyawati swasta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Diet Mental, Yuk..

26 September 2015   23:52 Diperbarui: 27 September 2015   02:42 177
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sibuk beraktivitas di era superhectic seperti sekarang ini, tak jarang sebagian dari kita merasa penat akibat banyaknya tumpukan hal yang harus diselesaikan. Skala prioritas pun seringkali terlupakan. Bagaimana mungkin membuat skala prioritas di saat banyak tugas dadakan yang muncul di sela-sela tugas sebelumnya yang belum kunjung kelar? Pusing pun tak dapat dihindari. Rasanya ingin lari saja dari semua hiruk-pikuk ini.

Ada satu kisah tentang seorang wanita karier yang tengah mengalami penurunan kinerja di kantor. Ia baru saja keluar dari ruangan bosnya dengan wajah lesu. Si bos baru saja menegurnya karena absensinya yang bolong-bolong. Kualitas hasil kerjanya pun disebut-sebut tidak lagi memuaskan. Banyak klien yang merasa kurang puas dengan performanya dan memutuskan untuk tidak melanjutkan kontrak. Si bos sekaligus memberi peringatan: Jika ia melakukan kesalahan ataupun tindakan-tindakan indisipliner lagi, ia akan dimutasi ke divisi lain dengan resiko turun ke jabatan yang lebih rendah. Alasannya: ia dianggap tidak lagi kompeten untuk menjabat posisi yang sekarang.

Sekembalinya dari ruangan si bos, ia lalu merenung di meja kerjanya, terpuruk. Ia merasa selama ini sudah melakukan yang terbaik demi perusahaan, tapi kenapa masih disalahkan? Ada sedikit ketidakterimaan dalam hatinya, namun apa mau dikata, ia pun tidak bisa membantah bila akhir-akhir ini ia memang banyak melakukan kesalahan di kantor. Memang benar bahwa belakangan ini ia sering terlambat masuk kantor. Selain tak mampu menghindari macet, ia pun kadang terpaksa mesti berangkat agak siang karena harus mengantarkan anak bungsunya dulu ke Taman Kanak-Kanak jika suaminya sedang tugas ke luar kota atau tak sempat mengantar.

Tak bisa dipungkiri juga bahwa akhir-akhir ini ia sulit berkonsentrasi mengerjakan tugas-tugas kantor. Data-data yang diprosesnya banyak yang hasilnya tidak akurat. Ia heran, lantaran sebelumnya ia selalu menunjukkan prestasi mengagumkan di kantor.

Kegagalan demi kegagalan serasa menghantuinya. Ini karena ia sering tidur larut malam karena harus mengerjakan tugas rumah tangga juga, memastikan rumah dan perabotannya beres dulu, meninabobokan anak-anak, baru ia bisa tidur.

Efek paling buruk yang ditimbulkan setelah insiden "Panggilan Si Bos" tempo hari adalah lingkungan kantor yang jadi mengucilkannya. Kesalahan yang telah dilakukannya tempo hari telah mengakibatkan kerugian besar bagi perusahaan tersebut.

Berada dalam kondisi terpuruk seperti ini memang serba salah. Mau resign dari kantor tapi ia tak bisa lantas meninggalkan tanggung jawab pekerjaan begitu saja, dan tak bisa dipungkiri juga bahwa ia memang masih sangat membutuhkan pekerjaan tersebut sebagai salah satu cara memperoleh penghasilan untuk membantu sang suami menghidupi keluarganya. Banyak tagihan dan iuran bulanan yang mendesak untuk segera dilunasi. "Aaaaaaarrrrrgghh.. Aku harus bagaimana?" teriaknya dalam hati. Batinnya benar-benar tertekan. Frustasi.


***

Sungguh disayangkan apabila kita berada pada kondisi seperti yang dicontohkan di atas. Seolah-olah mengalami kebuntuan, tak ada sama sekali jalan keluar untuk semua masalah. Ini salah, itu juga salah.

***

Masalah terbesar sebenarnya ada pada mental wanita tersebut yang saking sibuknya, ia jadi tak mampu lagi untuk mengendalikan ritme hidupnya sendiri. Betapa ribetnya. Ia seolah-olah diserang dari segala arah dengan setumpuk tuntutan tugas dan tanggung jawab yang begitu agresif menyerang.

Ternyata, ada satu cara yang bisa dicoba untuk menghadapinya. Bila dipraktekkan, mungkin akan sangat membantu kita untuk bangkit dari keterpurukan yang fatalnya mampu membuat kita merasa tak memiliki arti lagi untuk hidup.

Baru-baru ini saya membaca sebuah artikel di salah satu majalah wanita. Artikel tersebut berjudul "How to Break Out of A Slump" atau dalam bahasa Indonesia kurang-lebih berarti "Cara Menyiasati Keterpurukan". Ada satu sub bab artikel tersebut yang sangat menarik buat saya, yaitu tentang "Diet Mental".

Apa itu diet mental? Ini sedikit berbeda dengan Revolusi Mental yang sering didengung-dengungkan para politisi kita saat ini. Kalau revolusi mental mengajak kita untuk mengubah pola pikir batiniah kita ke arah yang lebih baik dan berprospek melalui "kerja, kerja, dan kerja", diet mental ini justru menyarankan kita untuk sejenak mengistirahatkan pikiran dari hal-hal buruk yang berpotensi merusak mental kita.

Sebagaimana diet untuk tubuh, dimana kita dituntut untuk menjaga pola makan dan tidak makan berlebihan agar badan tidak makin melar, diet mental pun begitu.

Dengan diet mental, kita dilatih untuk membiasakan diri memilah-milah asupan makanan apa saja yang ingin kita beri untuk mental kita, tentunya hal-hal positif dan berguna saja donk yaa.. Say no to all negative things, karena hal-hal negatif itulah yang justru membuat mental kita "gendut", tergendutkan oleh hal-hal yang tidak sehat untuk batin kita.

Diet mental ini bisa ditempuh dengan berbagai cara. Namun, terlebih dahulu kita perlu menanyakan jawabannya pada diri kita sendiri, hal-hal apa saja yang sangat kita sukai dan sudah lama ingin kita lakukan namun tak pernah sempat? Bisa dengan meminta cuti untuk berlibur ke pulau yang tenang, browsing artikel-artikel inspiratif di internet, membaca komik atau novel dari pengarang favorit, meditasi, relaksasi di salon, dan banyak hal positif lainnya yang mampu mengistirahatkan otak dan syaraf dari ketegangan. Ini semacam terapi mental untuk memperoleh kebahagiaan dan ketenangan yang sudah jarang kita dapatkan akibat terlalu sering berkutat dengan kesibukan tanpa henti.

Alasannya, mental kita memang butuh dimanjakan dengan hal-hal menyenangkan, jangan terus-menerus disiksa dengan kesemrawutan.

Pada intinya, kita wajib menjauh dari apapun yang memiliki aura negatif bagi kesehatan mental kita. Mengapa? Karena kita butuh mental yang sehat (bukan mental gendut, lho yaa..hehehe..) untuk melakukan segala aktivitas dengan penuh semangat, demi kesehatan tubuh kita juga tentunya. Bukankah mental yang sehat adalah kunci untuk memperoleh tubuh yang sehat? Dan bukankah jika tubuh lebih fit, kita pun bisa bekerja dengan lebih tenang?

So.. Diet mental, yuk..

Semoga bermanfaat..

Salam :)

***

Sumber bahan: Artikel Majalah Cleo Indonesia edisi September 2015, judul: "How to Break Out of a Slump".

Sumber Gambar Utama: liputan6.com

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun