Awal Februari lalu, sahabatku (sebut saja Ovi) mengaku kalau saat ini ia sedang penasaran dengan salah seorang cowok di kantornya. Katanya, cowok itu sudah berhasil bikin dia geer setengah mati karena sikapnya yang mendadak jadi aneh belakangan ini. Lebih perhatian, lebih sering ngajak BBM-an, lebih intens nanyain kabar, dan sebagainya..
[caption id="attachment_416928" align="aligncenter" width="300" caption="Ilustrasi (from http://rsf-gudangilmu.blogspot.com/)"][/caption]
Ovi yang saat ini memang lagi jomblo dan tengah serius mencari pasangan hidup, terang saja jadi senang dihujani perhatian seperti itu. Apalagi cowok yang dimaksud ini termasuk Most Wanted High Quality Guy, memenuhi semua kriteria cowok favorit. Keren, kharismatik, sporty, rajin beribadah, smart, dan lain-lain. Wajar sih kalau banyak cewek yang ngefans dan mutusin untuk ngejar-ngejar dia.
Dua hari kemudian, Ovi datang lagi dengan sebuah berita baru. Masih ada hubungannya dengan cowok yang tempo hari diceritakannya. "Aku kayaknya nyerah deh sama dia. Aku baru tau kalo selera musiknya tuh rock banget. Kupingku gak sanggup..", keluhnya. Dilanjutkan dengan penjelasan panjang soal kecintaannya terhadap musik pop, swing, dan jazz yang buatnya merupakan lambang dari sweet feminism.
Ehm..ya sudahlah.. Berusaha menjadi pendengar yang baik, aku pun nggak mau terlalu banyak berkomentar. Kupikir, Ovi pantas mendapatkan yang terbaik yang sesuai kriterianya untuk menjadi pilihannya.
Keesokan harinya, Ovi datang lagi membawa kabar, "Ini baru namanya miracle! Sepupuku baru aja ngenalin aku sama temennya! Ajaibnya, ternyata temennya itu pianist band jazz yang sering manggung di festival musik. How sweet.. Finally I'll meet someone with similar musical taste. Aku udah nggak sabar pengen liat orangnya kayak gimana.."
Melihat semangat Ovi yang menyala-nyala, aku turut senang sambil berharap semoga Ovi segera mengakhiri keresahannya.
Beberapa minggu kemudian, Ovi kembali datang. Kupikir kali ini dia datang dengan ekspresi penuh kegembiraan karena sudah berhasil kenalan dan dekat dengan orang yang satu selera musik dengannya. Nyatanya tidak. Ovi kali ini datang dengan wajah manyun. "Aku nggak cocok sama hobi naik gunungnya..", ujarnya.
Mendengar itu, aku lagi-lagi hanya bisa diam. Cuma kali ini batinku sudah mulai agak gemas dengan sikap Ovi. Masa iya sebegitu susah ia menerima kebiasaan, selera, maupun hobi seseorang? Bukankah hal-hal seperti itu sudah mendarah daging dan sudah sulit untuk diubah?
"Dia terlalu dewasa buatku.."
"Style-nya terlalu nyentrik.."