Mohon tunggu...
PrimaNaSa
PrimaNaSa Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Email : Primanasa26@gmail.com Sosial media (instagram) : @kardus___ nasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bilang, Seharusnya Bilang Bukan Hilang

8 November 2023   19:00 Diperbarui: 8 November 2023   19:02 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://pin.it/7dptQWP




MEMBACA INI AKAN MEMBAWA KALIAN KE DUA MASA. MASA LALU DAN MASA KINI. 

“Kabarmu baik, Pir?” Arjun bertanya padaku. “Orang tuamu sehat, ‘kan?”

Tas sengaja kutaruh dipangkuanku, untuk kupeluk. Tempat duduk kami berhadapan, hanya berjarak empat jengkal, sehingga aku bisa langsung menatap matanya yang sayu. Namun, hingga kini aku hanya menatap rambutnya yang menjuntai hingga alis dan tertutup topi. Saat kubuka bibirku, lantas aku bingung ingin menjawab apa, aku masih merangkai banyak kata untuk kujadikan kalimat yang bisa membenarkan semua tindakanku.

“Kamu kerja?” Arjun kembali melontarkan pertanyaan padaku.

Pelukanku pada tas semakin mengerat. Memberikanku kekuatan dan dukungan untuk segera berbicara dan menyelesaikan masalah yang sengaja kubuat.

“Aku kebingungan nggak ada kamu, kerasa banget susahnya,” ucap Arjun, menggetarkan hatiku. Kini aku menatap wajahnya, lantas Arjun menjadikan lengan sebagai tumpuan dagunya.

“Arjun, maaf.” Hanya dua kata yang keluar dari bibirku, setelah ribuan kata kurangkai dalam kepalaku. Kalimat selanjutnya, tersangkut di kerongkonganku, tak berhasil keluar. Rasa bersalah entah mengapa semakin membuat hatiku pedih. Mungkin karena, penyesalan?

“Enam puluh hari kamu hilang, nggak ada kabar,” paparnya masih menatap wajahku yang saat ini sudah menunduk. Entah kenapa, pelupuk mataku berair. “Pesan yang nanyain keadaan kamu, nggak kamu balas, bahkan liat.”

Aku bergerak ‘tak nyaman dalam dudukku, kakiku entah kenapa bergetar, hingga aku terus mengeratkan pelukan pada tasku. Satu-satunya barang yang bisa menjadi tumpuanku agar tetap tegar.

“A-aku, baik. Aku baik-baik aja,” balasku menatapnya. “Arjun. Maaf.”

“Seenggaknya kamu kabarin aku, aku dan teman-teman lain bahkan nggak bisa nyusulin kamu ke rumahmu. Untuk tau keadaan kamu.”

“Tapi apa semuanya berjalan lancar?” lirihku bertanya ragu.

“Kamu pasti bisa tebak. Kita perlu kamu, Pir!” Jelasnya tegas, hingga hatiku terenyuh. “Jangan pernah bilang, kamu baik-baik aja Pira.”

Perlahan cairan bening yang menggenang, luruh. Mengalir, berjatuhan membasahi tas yang berada dalam pelukanku. Tanganku mengepal, berusaha menahan suara isakan yang akan merintih keluar.

“Beban dipundakku lebih berat, Pir. Waktu kamu nggak ada.”

“Arjun.”

“Arjun, aku egois banget, ya.”

“Kamu berhak, Pir.”

Aku menghapus sembab di wajahku. Mengukuhkan hatiku. Karena jika aku terus bungkam. Aku tidak tahu, apa masalahnya akan tuntas. “Waktu aku di sini. Aku merasa nggak berharga. Kamu tahu, Jun?”

Pagi itu aku berlari, menuju aula. Aku bernapas lega saat sudah melihat pintu aula dengan membawa satu rim kertas A4 untuk kucetak. Kudengar suara gelak tawa, renyah terdengar masuk telingaku. Sehingga membuat kedua sudut bibirku tertarik.

“Seru banget, sih!” selaku. Kulihat keempatnya beralih menatapku yang datang berjalan kearah mereka.

“Ah telat kamu, Pir. Kita abis bahas gebetan si Citra, nih!” sahut temanku, Roji.

“Wah, Citra!” Aku menatap adik tingkatku yang tengah melempari kulit kacang ke arah Roji.

“Sialan, bang Roji!” amuknya. “Nggak kok, Kak!” tambahnya berkilah. Gelagapan . Kulihat wajahnya merah.

“Eh, maaf ya, Pir kita nggak bantuin kamu,” ucap Galuh, sembari mengupas kacang kulit yang berserakan dipangkuannya.

“Si Pira mah, gantelwomen,” sahut Roji. “Ya, kan, Pir!”

“Parah, si bang, kak Pira tuh cewek. Bantuinlah kali-kali kalo kak Pira bawa barang berat,” kata Yuna.

“Tau bang, aku liat kamu nggak ada kerja, makan mulu!” sahut Citra sewot.

“He, Citra, Yuna! Makan kacang juga kesibukan kali. Kerja, nih! Ngupasin kacang buat kalian semua!”

Gelak tawa makin kudengar. Kadang aku merasa terhibur.

“Tapi selama ini kamu diam aja, Pir?” Arjun menatapku getir.  Lantas aku harus berbicara dulu, baru mereka sadar?

“Hah … harusnya aku bilang, ya?” Aku tersenyum, menelan semua kalimat yang ‘tak jadi kulontarkan. Aku menatapnya, kegetiran yang sama menghampiri diriku.

“Aku merasa nggak becus, ngurus kalian, Pir.”

Pelukanku melonggar pada tasku. Kini aku mulai merasa tenang. Setelah berbicara.

“Ouh, jadi kamu juga sama kaya aku, Yun, haha.” Di ruang BEM Fakultas aku dan Yuna sedang mencetak 300 lembar sertifikat untuk diberikan pada peserta seminar.

“Iya, Kak. Padahal aku pengen masuk Jurusan Tari, tapi takdirku malah masuk kampus ini,” terangnya sedih.

“Masuk jurusan, Komunikasi lagi ya,” balasku sembari tertawa. Tak kusangka nasibnya sama sepertiku, yang terpaksa masuk jurusan ini.

“Tapi, ya udah. Jalanin aja deh, sampe lulus.”

“Betul, Yun. Nggak kerasa pasti. Aku aja udah mau semester 5, nih.”

“Ouh, iya Kak. Citra cinlok tuh sama bang Galuh,” terangnya.

Aku berhenti, merapikan kertas yang masuk ke printe. Terdiam, badanku kaku. “Hah, serius?!”

“Aku juga kaget.”

“Ah, berarti yang waktu itu meraka udah jadian?” tanyaku penasaran.

“Iya, parah banget, ‘kan mereka. Nipu kita semua!” jawabnya menambah keterkejutanku. Otakku masih mencerna segalanya, selama ini aku ngapain aja? Nggak tau apa-apa. Mungkin kalo Yuna, nggak ngomong ini aku nggak bakal tau.

“Udah lama, kak. Sebelum jadi Maba.” Sebelum jadi mahasiswa? Yang benar saja! Dasar Galuh. “Citra juga masuk ke sini kan, karna orang dalem.”

“Galuh? Citra masuk ke divisi kita?”

Yuna mengangguk. Pantas saja. Entah kenapa aku selalu merasa segan dengannya, berkali-kali lipat. Rasanya ada perlakuan beda, terhadapnya. Beda denganku. Hah! Sesak.

“Kamu nggak perlu merasa bersalah, Arjun. Ini masalahku. Aku aja yang memang egois.”

“Jadi kamu suka, Galuh, Pir?”

Mulutku terbuka lebar. “Ya kali, Jun? Serius kamu nangkap ceritaku nggak, sih? Bukan itu fokusku.”

Arjun meringis malu. Menggaruk rambutnya yang panjang sampai ke tengkuk leher. Karena perkataannya itu aku tertawa.

“Jadi, nggak?”

Aku memutar bola mataku.” NGGAK, demi Tuhan.”

“Oke, haha.”

Entah sudah berapa kali aku naik turun tangga, aula-sekretariat Hima. Dari lantai satu menuju lantai empat. Kampusku belum membuat lift, jadi semoga dengan ini berat badanku turun, menjadi ideal. Kabar baiknya. Namun, napasku kini putus-putus. Semua orang sibuk dengan kepentingannya dalam menyambut Festival yang diadakan Prodi kami dalam menyambut hari jadi ulang tahun yang ke-18 tahun.

Kadang. Kalau begini aku ingin berteriak. Aku capek!

“Galuh bantu aku, dong bawa printer yang ada di Sekre Hima?”

“Duh, maaf, Pir. Ini aku bantu Citra dulu masang spanduk,” balas Galuh.

Kan bisa nunggu, kalau pasang spanduk setelah semua barang penting diturunin ke bawah.

“Tolong, sebentar, Gal,” pintaku memohon.

“Bang, Gal, ih. Sana bantuin, Kak Pira …,” tegas Citra. Galuh langsung turun dari kursi yang membantunya untuk memaku.

“Dasar!” Aku menggeram ‘tak sadar. “Makasih, Cit. Buaya kalau sama pawangnya emang nurut, ya.”

“Oke, kak,” balasnya terkekeh atas candaanku.

Sebenarnya karena terus menumpuk, kegetitaranku ini membuatku hilang akal terbawa emosi. Namun, aku sudah berpikir, jika memang dengan cara ini bisa membuatku merasa lega, tetapi dengan cara ini pun apa setelahnya aku benar-benar akan merasa lega? Ada jaminanya?

Sebelumnya pun, dengan ‘tak menghiraukan apapun yang berkaitan dengan organisasi, aku masih kepikiran. Salahku. Salahku ‘tak becus mengurus. Aku selalu bilang begitu, ‘tak bisa tenang dan selalu dibayangi kegelisahan. Apakah tanpaku, akan berjalan lancar.

Jika tidak begitu apa aku harus bertahan, menahan lagi? Perasaan-perasaan ‘tak dihargai? Ucapan pedas yang ternyata lebih membuatku menderita daripada rasa letihku bekerja.

Benar semuanya masih membingungkan untukku. Dengan perbuatanku yang “menghilang” pun aku tak mendapat soulusi, malah menambah masalah-masalahku.

Namun, sekali saja. Aku ingin tahu.

“Jun aku mau berhenti.”

“Aku mau keluar. Nggak kuat.” Itu kataku.

Sudah semestinya aku membuat pembagian tugas. Maka itu, sekarang aku akan mencoba melakukannya. Aku membagikan tugas-tugas yang harus kami kerjakan. Aku sudah mengirimnya lewat whatsaap. Semuanya kususun rinci, dari pekerjaan yang harus dikerjakan sebelum acara hingga sesudah acara.

Aku bertanya. Apakah teman-temanku bisa menolongku. Namun, tak ada jawaban satu kata pun. Beberapa orang hanya membacanya dan selebihnya bahkan ‘tak membukanya. Sepertinya sudah menjadi “biasa”. Aku hanya berbicara dengan ruang obrolan yang ‘tak berpenghuni, padahal ada dan memiliki penglihatan juga jari-jemari yang bisa digunakan.

“Hah….”

Besoknya kudatangi lagi teman-temanku, kebetulan mereka lagi nongkrong bersama di bangku depan ruang sekretariat Hima.

“Kak Piraaaa … sini-sini duduk!” seru Yuna.

“Hai, Gengs!” sapaku. Citra melambaikan tangannya padaku, dia sedang berdiri, berdampingan bersama Galuh. Seperti biasa.

“Guys, bantu aku dong!” kataku langsung. “Udah pada liat, kan. File yang aku kirim.”

“Iya, keren amat pake gituan, Pir,” ucap Roji.

“Bagus, Kak, Pir. Biar pada sadar diri!” sungut Yuna. Kulihat Roji langsung mendelik dan mengibarkan bendera perang. “Apa, liat-liat?”

“Alah, dasar, Yuyun-Yuyun,” decak Roji.

“Aku sih, pasti bantu ngurus video buat diunggah,” sahut Galuh. Aku mengangkat jempol.

“Bantu yang lain-lainlah, Gal? Kan itu masih lama. Ini ada yang harus cepet beres.” Aku terus membujuk.

“Kan ada kamu yang bisa urus, Pir.” Perkataan Galuh membuatku tertampar kenyataan.

Roji menyahut. “Emang, si Yuna sama Citra nggak bantuin?”

“Mereka juga, kerja. Tapi kita nggak bisa semuanya. Minimal kalian pegang satu-satu, ya?” kataku.

“Ada mereka berdua, Pir. Pasti bisa, udah biasa kan kamu?”

Kini aku menatap Arjun lurus, tepat melihat sorot matanya. Berharap ia melihat juga perasaanku yang sebenarnya, terlihat saat ini dalam bola mataku. Segalanya sudah kuruntuhkan, pertahananku, kesabaranku, kedamaianku. Sebab, apa lagi yang aku tunggu?  Rasa sakit lagi?  Yang ‘tak henti-hentinya  meruntuhkan harga diriku. Kepercayaanku pada diriku bahwa aku berharga. Aku ‘tak mau lagi mereka menganggap hatiku ini sekeras batu dan seluas langit biru.

"Aku nggak bakal menghakimi kamu, Pir."

"Seharusnya kamu bilang. Bilang bukan hilang, Pir."

"Iya aku tau. Salahku. Hilang tanpa bilang."

“Jadi, semuanya sudah selesai, Jun. Makasih udah mendengarku.”


TAMAT.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun