Sudah semestinya aku membuat pembagian tugas. Maka itu, sekarang aku akan mencoba melakukannya. Aku membagikan tugas-tugas yang harus kami kerjakan. Aku sudah mengirimnya lewat whatsaap. Semuanya kususun rinci, dari pekerjaan yang harus dikerjakan sebelum acara hingga sesudah acara.
Aku bertanya. Apakah teman-temanku bisa menolongku. Namun, tak ada jawaban satu kata pun. Beberapa orang hanya membacanya dan selebihnya bahkan ‘tak membukanya. Sepertinya sudah menjadi “biasa”. Aku hanya berbicara dengan ruang obrolan yang ‘tak berpenghuni, padahal ada dan memiliki penglihatan juga jari-jemari yang bisa digunakan.
“Hah….”
Besoknya kudatangi lagi teman-temanku, kebetulan mereka lagi nongkrong bersama di bangku depan ruang sekretariat Hima.
“Kak Piraaaa … sini-sini duduk!” seru Yuna.
“Hai, Gengs!” sapaku. Citra melambaikan tangannya padaku, dia sedang berdiri, berdampingan bersama Galuh. Seperti biasa.
“Guys, bantu aku dong!” kataku langsung. “Udah pada liat, kan. File yang aku kirim.”
“Iya, keren amat pake gituan, Pir,” ucap Roji.
“Bagus, Kak, Pir. Biar pada sadar diri!” sungut Yuna. Kulihat Roji langsung mendelik dan mengibarkan bendera perang. “Apa, liat-liat?”
“Alah, dasar, Yuyun-Yuyun,” decak Roji.
“Aku sih, pasti bantu ngurus video buat diunggah,” sahut Galuh. Aku mengangkat jempol.
“Bantu yang lain-lainlah, Gal? Kan itu masih lama. Ini ada yang harus cepet beres.” Aku terus membujuk.
“Kan ada kamu yang bisa urus, Pir.” Perkataan Galuh membuatku tertampar kenyataan.
Roji menyahut. “Emang, si Yuna sama Citra nggak bantuin?”
“Mereka juga, kerja. Tapi kita nggak bisa semuanya. Minimal kalian pegang satu-satu, ya?” kataku.
“Ada mereka berdua, Pir. Pasti bisa, udah biasa kan kamu?”
Kini aku menatap Arjun lurus, tepat melihat sorot matanya. Berharap ia melihat juga perasaanku yang sebenarnya, terlihat saat ini dalam bola mataku. Segalanya sudah kuruntuhkan, pertahananku, kesabaranku, kedamaianku. Sebab, apa lagi yang aku tunggu? Rasa sakit lagi? Yang ‘tak henti-hentinya meruntuhkan harga diriku. Kepercayaanku pada diriku bahwa aku berharga. Aku ‘tak mau lagi mereka menganggap hatiku ini sekeras batu dan seluas langit biru.
"Aku nggak bakal menghakimi kamu, Pir."
"Seharusnya kamu bilang. Bilang bukan hilang, Pir."
"Iya aku tau. Salahku. Hilang tanpa bilang."
“Jadi, semuanya sudah selesai, Jun. Makasih udah mendengarku.”
TAMAT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H