Ini memang bukan pengusiran. Â Ini hanya masalah rumah yang ditempatinya bersama ibunya mau dijual. Â Dan karena akan dijual, maka ketika rumah itu laku, ia harus angkat kaki dari rumah itu. Â Sekali lagi bukan diusir, bahkan diminta pindah pun tidak. Â Pokoknya hanya menjual rumah titik.
Memandangi wajah rumah yang sudah semakin tua seperti pemiliknya.  Rumah yang pernah menjadi kebanggaan almarhum ayah ketika berhasil memilikinya.  Bayangkan saja, ketika orang lain hanya berhasil mendapatkan perumnas tipe 36 di luar ibu kota, alamarhum ayah justru berhasil memperoleh rumah yang tidak terlalu sederhana tipe  45 di dalam kota Jakarta tercinta.
Berkelebat bayangan satu per satu bagaimana almarhum ayah mendiskusikan setiap keinginan berkaitan dengan rumah kepadanya. Â Mulai dari desain kamar kecil, warna keramik, warna cat di dinding. Â Bentuk taman dan teras di depan hingga pilihan perabot semua didiskusikan.
Semuanya begitu terasa asyik. Â Rumah mereka menjadi rumah impian sampai suatu saat Ibu mereka mulai merasa tak puas dengan kondisi rumah yang berbeda dengan tetangga. Â Sejak itulah bentuk rumah ini berubah-ubah mengikuti keinginan Ibu yang selalu sama dengan rumah tetangga. Â Tetangga tambah kamar, mereka tambah kamar, tetangga renovasi, mereka renovasi, tetangga membuat lantai kedua, mereka pun juga hingga pada satu titik rumah itu berbentuk tak karuan.
Lalu sepanjang hidupnya ia harus menemani sang Ibu di rumah itu hingga suatu hari ketiga adik yang semuanya laki-laki  berniat menjual rumah itu.  Berbagai alasan dikemukakan.  Antara adik satu dengan yang lainnya berbeda alasan.  Begitu pula yang merencanakan, tak pernah diketahui siapa yang sesungguhnya punya niatan seperti itu.
Ia tak bisa menolak, tak tega juga. Â Lagi pula apalah artinya jika sebuah suara dari empat bersaudara yang keberatan.
Tiba-tiba saja hanya dalam hitungan bulan ia harus bersiap-siap untuk angkat kaki dari rumah itu. Â Membawa tiga orang anak dan meninggalkan Ibu yang entah bagaimana nasibnya. Â Sang Ibu menyetujui penjualan rumah itu walaupun di hadapannya selalu mengatakan tidak menyetujui, namun di hadapan adik-adiknya yang lain sang Ibu telah memberikan restu.
Hari demi hari ia mempersiapkan diri. Â Adakalanya ia bertanya-tanya mengapa Tuhan memisahkan dirinya dengan Ibu dengan cara seperti ini. Â Sang Ibu tak ingin lagi tinggal bersamanya di rumah yang letaknya di luar kota. Â Ia tetap ingin punya rumah sendiri. Â Sementara ia tak mungkin tinggal dengan Ibunya lagi. Â Ia terlalu khawatir harus angkat kaki lagi dari rumah Ibunya. Â Belum lagi letaknya yang belum juga bisa diprediksi.
Ia telah berhasil menguatkan hati anak-anaknya. Â Menanamkan bahwa rumah itu rumah Ibu dan anak-anak laki-laki lebih berhak atas rumah itu. Â Jadi, enak atau tidak enak mereka harus hadapi.
Dan sambil menunggu saatnya, setiap sehabis shalat Sang Ibu menangis.  Sang Ibu semakin terlihat gelisah.  Tak ada yang bisa memahami Sang Ibu. Semua yang dipikirkannya semakin tak fokus, tak terarah.  Hanya ia dan ketiga anaknya yang selalu mencoba menolong  ketika tekanan sampai di puncaknya, Sang Ibu hilang kesadaran.  Tubuhnya kejang  berulang setiap hari.
Ia tak pernah mengeluh, tak pernah meminta bantuan hanya menyimpannya di dasar hati. Â Semua dijalaninya dengan ikhlas. Â Ia di rumah tua itu demi Ibu bukan demi rumah Ibu.