"Kemesraan perkawinan hanya ada di televisi dan di layar bioskop. Â Selebihnya omong kosong. Â Jadi, ada baiknya jangan tanya aku mengapa aku tidak juga menikah. Â Aku hanya mau realistis saja dan mandiri."tutup Dena.
Asril terdiam. Â Pikirannya kembali ke rumah. Â Betapa selama ini ia telah menyia-nyiakan wanita yang telah menjadi istrinya. Â Memberi komentar buruk ketika tubuh istrinya sedikit mengembang, marah ketika rumah terlihat berantakan padahal anak-anaknya yang masih kecil kerap mengacak-acak apa yang telah dibereskan oleh istrinya. Â Tak pernah sedikit pun ia memuji istrinya padahal istrinya telah melayaninya sepanjang enam tahun dengan sepenuh hati. Â Jangankan bunga, sekedar ucapan terima kasih pun tak pernah ia ucapkan.
Di perjalanan pulang, dibelinya seikat bunga lili kesukaan istrinya yang selama ini ia lupakan. Â Ia bersyukur, istrinya bukan wanita seperti Dena. Â Di hati kecilnya ia juga berdoa agar Tuhan bisa membuka hati Dena yang menurutnya telah beku.
Istrinya membukakan pagar garasi rumahnya. Â Asril memasukkan mobil ke dalam garasi. Â Ia keluar sambil tak lupa membawa rangkaian bunga Lily. Â Sang istri terpana, "Ada apa Mas?" Â dengan penuh curiga ia bertanya. Â Dan sang istri tetap curiga meskipun Asril telah mengungkapkan alasannya.
"Apa yang Mas lakukan di luar sana?"kecurigaan itu tetap berlangsung.
Asril kembali terdiam, kali ini dialah yang beku.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H