Buku ini ditulis oleh Katharine E. McGregor yang merupakan penulis asal Australia yang melakukan kajian tentang historiografi Indonesia, khususnya pada ideologi militer. Katherine melakukan riset yang mendalam yang lalu kemudian dia menghasilkan sebuah buku yang berjudul Ketika Sejarah Berseragam: Membongkar Ideologi Militer Dalam Menyusun Sejarah Indonesia.Buku ini pertama kali diterbitkan pertama kali ke dalam Bahasa Indonesia oleh Penerbit Syarikat di Yogyakarta. Buku ini terdiri dari 6 bab, dengan total xxvi dan 459 halaman.
Pada kepemimpinan Presiden Soeharto, atau pada Orde Baru(Orba), Insititusi militer menjadi dominan dalam panggung Pemerintahan dalam negeri. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya pengangkatan pejabat dengan bakcground militer hanya karena semata-mata Presiden Soeharto ingin mengangkatnya Dan diberlakukannya Dwifungsi Abri di dalam Pemerintahan. Sedangkan pada era kepemimpinan pasca Era Orde Baru atau pada Masa Reformasi sendiri pemilihan pejabat dilakukan dengan penilaian yang lebih matang. Masyarakat sendiri menjaga agar tidak terulangnya dominasi dari kalangan militer pada urusan Pemerintahan. Namun pada pemilihan Presiden di tahun 2004 sendiri masyarakat malah memilih Susilo Bambang Yudhoyono yang merupakan seorang purnawirawan. Hal ini tentu saja menjadi sebuah Anomali Politik, dikarenakan di satu sisi masyarakat ingin mencegah terulangnya dominasi militer, namun di sisi lainnya masyarakat juga memilih sosok dari militer sebagai pemimpin negaranya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwasanya meskipun terdapat adanya keinginan dari masyarakat untuk mencegah terulangnya Dominasi Militer di dalam tubuh Pemerintahan namun di dalam pemikiran bawah sadar masyarakat sudah di doktrin bahwasanya tokoh dengan background militer merupakan pemimpin yang baik bagi pemerintahan.Proses Indoktrinasi ini sendiri dilakukan selama beberapa dekade yakni pada masa Orde Baru yang berlangsung selama 30 Tahun(1966-1998) yang dimana Presiden Soeharto merupakan seorang jendral melakukan rekontruksi sejarah yang pada waktu itu dengan penulisan ulang sejarah yang dimana ajian militer berupa laporan kronologis tentang evolusi militer Indonesia dalam ranah politik, dan memusatkan diri pada jangka waktu tertentuAda juga yang fokus membahas mengenai ideologi militer. Buku Ketika Sejarah Berseragam lebih mencermati satu lembaga khusus, yaitu Pusat Sejarah ABRI dan proyek-proyeknya. Buku ini menampilkan hasil analisis upaya militer dalam membangun citra baik yang ditujukan kepada anggota maupun ke masyarakat.
Pada Bab satu yang bertopik "Sejarah Dalam Pengabdian Kepada Rezim Yang Otoriter" Menjelaskan mengenai bagaimana penulisan Historiografi Indonesia pada masa Orde Baru dibawah kepemimpinan Presiden Soeharto ini di distortasi.Pada masa pemerintahan Orba ini sendiri penulisan Historiografi Indonesia yang masih seumur jagung dikarenakan umur Negara Kesatuan Republik Indonesia yang notabene baru saja merdeka dua dekade sebelumnya pasca kolonisasi oleh belanda,dalam perjalanan sejarah sendiri Ilmu sejarah adalah satu alat untuk melakukan indoktrinasi dan menumbuhkan jiwa nasionalisme di kalangan khalayak ramai. Hal ini dapat dilihat dimasa kepemimpinan Presiden Soekarno atau Masa Orde lama  (Orla) dan Masa Kepemimpinan Presiden Soeharto atau Ode Baru (Orba) sejarah digunakan sebagai sebuah alat untuk mempersatukan visi tentang masa lampau secara Nasional terhadap Khalayak Ramai. Perbedaan mencolok dapat terlihat pada masa Orla dan Orba yang dimana pada masa Orde Lama ditekanka bahwa masa lalu yang gemilang dipertahankan oleh Orde Lama. Namun pada Orde Baru menekankan pada tradisi panjang pemimpin militer dan tentang ancaman terhadap bangsa. Sejarah yang ditulis pada masa orde baru sendiri juga seakan mengkerdilkan dan menyepelekan peranan-peranan yang dilakukan oleh Presiden Soekarno pada Bangsa Indonesia, hal ini menunjukkan bahwasanya penulisan sejarah pada masa Orde Baru menunjukkan kesamaan-kesamaan penulisan sejarah pada Rezim-Rezim Otoriter yang ada di belahan dunia lainnya. Jika dilihat secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwasanya pemerintahan indonesia dan Tokoh-tokoh sejarawan Indonesia menggunakan sejarah dalam pembinaan bangsa secara komitmen. Dari tokoh-tokoh yang ikut andil dalam penulisan sejarah Indonesia adalah sejarawan Nugroho Notosusanto yang merupakan salah satu tokoh utama dalam mendukung penulisan sejarah pada masa pemerintahan Orde Baru.
Kemudian pada bab berikutnya yang memiliki topik "Nugroho Notosusanto dan Awal Mula Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata", Khaterine menyatakan bahwasanya "Nugroho Notosusanto merupakan salah seorang propagandis yang paling penting dalam rezim Orde Baru" (Katherine McGregor, 2008: 75). Nugroho Notosusanto sendiri merupakan seorang sosok yang berperan penting dalam usaha melegimitasi pergantian rezim Orde Lama oleh Orde Baru melalui usaha kudeta di tahun 1965 dengan memproduksi dan menyebarluaskan citra pahlawan yang ada dalam militer Indonesia melalui museum, buku pelajaran, dan doku-drama. Beliau juga sekaligus merupakan Kepala Pusat Sejarah Abri pada periode 1965-1985,Menteri Pendidikan periode 1982-1985, dan Rektor Universitas Indonesia ke delapan pada periode 1982-1985.Dalam biografinya,Nugroho Notosusanto lahir di Kabupaten Rembang pada tanggal 15 Juni 1931 dengan latar belakang keluarga sebagai pegawai negeri di pemerintahan kabupaten. Dengan latarbelakang yang termasuk menengah keatas Nugroho Notosusanto menjadi seseorang yang terpandang dan berwawasan kosmopolitan, Beliau juga sempat ikut andil dalam Perang Pasca Kemerdekaan/Perang Revolusi Indonesia yang dimana beliau bertugas menjadi anggota didalam brigade ke 17 Tentara Nasional atau yang kemudian lebih dikenal sebagai TRIP(Tentara Republik Indonesia Pelajar). Para Tentara Pelajar ini merupakan para mahasiswa dan pelajar yang dipanggil atau terpanggil untuk angkat senjata pada Masa Revolusi untuk mempertahankan kemerdekaan Republik yang terancam oleh NICA, Prajurit yang tergabung dalam detasemen ini merupakan para nasionalis muda yang tidak berafiliasi terhadap partai manapun dan fanatik loyal terhadap pemerintahan Republik. Pasca pengakuan dan penyerahan kedaulatan oleh Pemerintah Konlonial Belanda pada 27 Desember Tahun 1949 dan pembentukan Republik Indonesia Serikat atau lebih dikenal sebagai RIS, pemerintah memberikan tawaran terhadap para anggota Tentara Pelajar termasuk Nugroho Notosusanto untuk melanjutkan pendidikan sekolah militer di belanda, namun perintah sang ayah kepada Nugroho untuk melanjutkan pendidikan formal di jenjang yang lebih tinggi menyebabkan Beliau tidak mengikuti pendidikan militer di belanda.
Beliau kemudian melanjutkan jenjang pendidikan formalnya dan bergabung menjadi mahasiswa di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, dan berperan aktif dalam kegiatan kemahasiswaan. Selain itu Beliau juga menjadi sastrawan yang mahir dalam penulisan cerpen,namun karir sebagai sastrawan hanya berumur pendek dikarenakan diusianya yang ke 26 tahun Beliau berpindah haluan menjadi sejarawan setelah ketertarikannya terhadap tokoh-tokoh sejarah dunia serta negara-negara berkembang. Beliau berharap Indonesia dapat mengambil pelajaran yang bermanfaat dari sejarah bangsa-bangsa lain. Hal ini kemudian mendapat atensi dari Jendral Nasution yang melihatnya sebagai orang berpendidikan yang setia terhadap Militer Republik Indonesia dan bernasionalis tinggi, hal ini kemudian berujung dengan pengangkatan Beliau sebagai Kepala Pusat Sejarah Abri pada tahun 1964 yang menyemen jalan-nya berkecimpung dalam proyek sejarah yang dilakukan oleh rezim Orde Baru dikemudian hari.
Pusat Sejarah Abri sendiri pada awalnya didirikan dengan tujuan yang politis yakni untuk membela Tentara Republik dengan memberikan versi milik kalangan militer yang dimana disebutkan bahwasanya pemberontakan madiun pada 1948 merupakan pemberontakan komunis. Angkatan Darat merasa keberatan dengan sejarah yang dibuat oleh PKI yang dimana meletakkan pemberontakan itu sebagai upaya penyalahgunaan sejarah yang digunakan sebagai alat perjuangan politik. Proyek utama milik Nugroho Notosusanto adalah dalam penulisan sejarah kudeta 1965.
Lalu di bab selanjutnya yang bertopik "Sejarah Untuk Membela Rezim Orde Baru" membahas berbagai macam upaya Orde Baru untuk melegitimasi kekuasaannya. Dengan berdirinya Pusat Sejarah Abri, Beliau Kemudian menerbitkan buku dengan judul 40 Hari Kegagalan "G-30-S" 1 Oktober-10 November yang dimana menceritakan peristiwa Gerakan 30 September oleh Pasukan Tjakrabirawa dengan propaganda-propaganda dari kalangan Angkatan Darat yang dimana menuding PKI sebagai dalang dibalik peristiwa tersebut. Kemudian diterbitkanlah pula terjemahan dalam versi bahasa inggris sebagai upaya untuk mendapatkan legimitasi dari dunia internasional bagi Rezim Orde baru. Selain itu Rezim Orde Baru juga berupaya melakukan indoktrinasi masyarakat supaya membenci kaum komunis,hal ini dapat dilihat dari upaya pemerintah dalam dibuatnya monumen-monumen dan museum untuk memperingati tragedi G-30 S PKI serta dilakukannya peringatan setiap tahunnya.
Lalu Rezim Orde Baru juga melakukan distorsi sejarah dengan penulisan-Penulisan sejarah versi Rezim Orde Baru yang dimana menyudutkan PKI sebagai pelaku utama Tragedi 30 September, Masyarakat pun kebingungan dan bertanya tanya mengenai kebenaran namun usaha distorsi sejarah Rezim orba berhasil dengan banyaknya masyarakat yang mengamini sejarah versi Rezim Orde Baru dan teerpengaruh dengan membenci Komunisme bahkan pasca kejatuhan Rezim Orde Baru. Kisah G-30 S Pki versi angkatan darat tidak berfokus kepada kudeta itu sendiri yang sebenarnya merupakan topik utama.Kisah kudeta ini digunakan untuk menanamkan nilai-nilai inti yang diselaraskan dengan agama dan moralitas. Pembuatan Film "Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI" sendiri merupakan upaya selanjutnya oleh Rezim Orde Baru dalam melakukan Indoktrinasi bangsa indonesia,film tersebut yang dimana menunjukkan keganasan dan penderitaan yang dialami oleh Angkatan Darat dalam upaya mempertahankan pancasila. Dari peristiwa G-30-S, Nugroho Notosusanto dengan Pusat Sejarah ABRI kemudian mengembangkan penulisan sejarah Indonesia yang lain untuk memperkokoh peran militer dalam penulisan sejarah Indonesia.
Kemudian di bab ke 4 yang bertopik "Mengkonsolidasi Kesatuan Militer" Penulisan sejarah terdapat gambaran yang terputus putus antara legimitasi Rezim Orde Baru dan kenyataan yang ada di lapangan.Katherine menyatakan "Karena militer menyadari dampak keterbelahan yang pernah terjadi antara komando territorial dengan angkatan-angkatan militer, dalam dekade pertama masa Orde Baru militer Indonesia bekerja keras untuk memupuk suatu rasa kebersatuan militer dengan nilai-nilai yang konsisten" (Katherine McGregor, 2008: 245-246). Pada dekade 70 an para petinggi militer mulai memikirkan dampak penyerahan tumpu kekuasaan terhadap generasi baru yang tidak pernah terlibat dalam perang Pasca Kemerdekaan. Hal ini ditindaklanjuti dengan diadakannya seminar pada tahun 1972 yang dimana pada seminar ini diperkenalkan interpretasi yang baru mengenai nilai-nilai 1945. Dalam interpretasi baru ini Nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 ditampilkan sebagai representasi inti dari nilai-nilai 1945, sedangkan nilai-nilai TNI 45 khusus menampilkan nilai-nilai pertahanan, etika militer, pengorbanan, dan kepatuhan. Pada kegiatan seminar ini sendiri lebih condong dalam mempromosikan tentang nilai-nilai 1945. Proyek sejarah yang lainnya juga terinspirasi dari seminar ini, dengan tujuan untuk memperkenalkan militer dan konsep dwifungsi.
Kemudian pada bab selanjutnya yang bertopik "Mempromosikan Militer dan Dwifungsi Kepada Masyarakat Sipil" menindaklanjuti hasil dari seminar tahun 1972 yang dimana proyek-proyek sejarah yang baru seperti memoir militer, film tentang revolusi Indonesia, maupun buku-buku yang telah disetujui militer, menjadi sarana media agar masyarakat Indonesia mendapatkan nilai-nilai 1945 dan peran-peran militer di masa lalu nasional yang diagungkan.Nugroho Notosusanto sendiri membela penulisan sejarah versi rezim Orde Baru dengan memprakarsai pembuatan buku Sejarah Nasional Indonesia dengan volume ke-lima dan ke-enam yang dipenuhi dengan propaganda-propaganda pro militer dan Orba. Beliau sendiri terus mengagungkan peranan militer dalam proyek-proyek sejarah hingga akhir hayatnya.
Pada bab 6 yang bertopik "Menetapkan Tradisi Kemiliteran dan Musuh-Musuh Negara" menjelaskan pasca mangkatnya Nugroho Notosusanto dan Petinggi Militer lain angkatan 45, Pusat Sejarah Abri berhenti membahas tema-teman yang berkaitan pada era sebelumnya. Proyek yang dilaksanakan pasca mangkatnya angkatan 45 sendiri lebih membahas tentang pahlawan sebelum kemerdekaan, perlawanan antikolonial, menekankan pada tradisi keprajuritan Indonesia serta sumber alternatif untuk keberlanjutan dominasi militer dalam politik serta pembangunan. Ada pula peristiwa lain yang digunakan sebagai legimitasi Rezim Orde Baru seperti pada peristiwa DI/TII yang terjadi di dekade 50-60 an, Namun tetap saja peristiwa G 30 S dijadikan sapi perah dalam meligimitasi kekuasaan Rezim Orde Baru. Dengan membiadabkan musuh rezim Orde Baru lah dengan mudah mengendalikan masyarakat.
Secara Keseluruhan buku ini merupakan buku yang menarik untuk dipelajari dengan bahasa yang cukup mudah untuk dipahami, serta adanya ilustrasi gambar-gambar yang sangat membantu pembacanya. Buku ini sangat bagus dibaca untuk memahami sejarah historiografi Indonesia dan prespektif baru dalam melihat text text sejarah yang ditulis oleh Rezim pada masanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H