Mohon tunggu...
Priliano Nanda Gemilang
Priliano Nanda Gemilang Mohon Tunggu... Lainnya - Viva Historia!

Seonggok daging yang cukup suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Menilik Buku Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450 - 1680 Jilid 1: Tanah di Bawah Angin

10 Oktober 2020   21:02 Diperbarui: 10 Oktober 2020   21:05 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Kemudian penulis juga menyebutkan legitimasi kekuasaan raja melalui pesta. Raja menggelar pesta untuk menunjukkan eksistensinya kepada rakyat yang dipimpinnya. Penobatan raja, perkawinan, penguburan, dan ritus lain dilakukan dengan arak-arakan dan pesta besar-besaran. Kemeriahan dan kegembiraan yang didapatkan merupakan wujud dari kemurahan kosmik seorang raja yang besar.

Ada pula suatu pesta dalam bentuk perlombaan yang mempertarungkan hewan. Biasanya hewan tersebut adalah gajah, kerbau, dan kijang (atau kadang manusia). Para raja menganggap gajah sebagai hewan kerajaan yang tinggi nilainya sehingga gajah memiliki peran cukup penting dalam kerajaan. Ada pula sabung ayam yang biasanya di gelar di tengah-tengah acara kerajaan sedang berlangsung.

Bagi anak-anak, bermain pasti menjadi kegiatan yang menyenangkan. Layang-layang menduduki tempat yang penting ketika kemarau. Biji dan buah-buahan bulat biasa digunakan sebagai kelereng pada waktu itu. Permainan gasing yang saat ini diminati juga menjadi permainan yang menyenangkan yang muncul sekitar abad ke-15. Setelah itu permainan kartu dari Cina dan catur dari India diperkenalkan melalui perniagaan.

Dalam buku ini juga dijelaskan bahwa masyarakat lokal gemar bernyanyi, menari, dan mementaskan pertunjukan. Tak ayal pada perkembangannya dijelaskan bahwa setiap utusan dan pengunjung yang datang dihibur dengan tarian atau sandiwara di panggung teater dan tarian dengan musik yang selalu menyertainya.

"Revolusi  Niaga" kemudian muncul pada pertengahan abad ke-17 secara radikal menafikan dampak dari kegiatan perniagaan di kawasan tersebut. Kota-kota bumiputera mengalami kemerosotan, mundur dari perniagaan internasional atau kalah karena adanya monopoli dagang Belanda. Hingga pada akhir abad ke-19 medan kapitalisme semakin membanjir dan negeri-negeri ini tidak dapat bersaing dengan patokan yang sama dengan bangsa pengusik seperti yang berlangsung selama periode perniagaan mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun