Kemudian Reid menjelaskan tentang perbedaan yang cukup signifikan di antara kekuasaan di Asia Tenggara dan Eropa, atau bahkan Asia belahan lainnya. Kekuasaan di mana tempat tinggal selalu berpindah-pindah, dan pengikut merupakan harta yang paling berharga. Genealogi atau keturunan bukanlah suatu hal yang pasti untuk menjadi penerus, mengingat faktor-faktor lain seperti adanya saudara, calon yang lebih kuat, dan lain-lain, sehingga pengikut merupakan faktor yang benar-benar esensial adanya.
Ketika perang terjadi, orang-orang Asia Tenggara tidak lagi bertempur dengan senjata tradisional, melainkan dengan alat-alat modern yang didapat dari berniaga, atau bahkan pasukan bayaran yang dipimpin oleh bangsawan, tidak seperti cerita dalam kronik-kronik yang menyaktikan raja. Tidak sulit untuk mendapatkan senjata ini, karena caranya tidak serumit perubahan sosial dan politik akibat perang dan dagang.
Berbeda dengan orang-orang Eropa yang biasa dengan menghancurkan kota dan pertumpahan darah, orang-orang Asia Tenggara lebih mementingkan pencarian budak, karena tujuan mereka adalah untuk menambah tenaga manusia. Oleh Reid, hal ini dibuktikan melalui omongan Jenderal Coen mengenai Pangeran Banten yang lebih takut akan penyerbuan oleh Mataram dibandingkan orang-orang Eropa, karena mereka lebih mengetahui tentang daerah Banten.
Dijelaskan pula mengenai buruh dan pembayarannya pada masa itu. Namun, ada juga orang-orang yang secara percuma menyerahkan diri mereka, sehingga Reid menggunakan kata "orang terikat" untuk membedakan mereka dengan tawanan perang atau orang-orang yang gagal membayar utang.
Kekokohan agama seperti Islam, Kristem, Buddha, dan Konfusianisme tidak mempengaruhi pola yang menyangkut otonomi dan kedudukan ekonomis kaum wanita yang relatif tinggi. Di Asia Tenggara, nilai perempuan tidak dipertanyakan, karena peran reproduktif mereka, menurut Reid, menganugerahkan kekuatan magis dan ritus yang sulit ditandingi. Berbeda dari Cina, suatu pasangan lebih sering tinggal di desa sang istri. Hukum-hukum mengenai warisan dan harta dari luar tidak pernah diterapkan secara efektif.
Kesusastraan Asia Tenggara pada masa itu pun menunjukkan peranan aktif perempuan dalam hubungan seksual dan emosional. Kedudukan perempuan juga dapat dilihat dari pembedahan pada alat kelamin laki-laki untuk memuaskan perempuan, yang lalu dapat diketahui sebagai otoritas perempuan, tetapi kebiasaan ini mulai dihilangkan ketika Islam datang.
Perkawinan di Asia Tenggara banyak bersifat monogami dengan proses perceraian yang tidak sulit untuk kedua pihak, tetapi hal ini tidak berlaku untuk para raja yang mempunyai banyak istri sebagai simbol status dan senjata diplomasi, mengingat beberapa dari mereka ditawarkan oleh keluarganya sebagai upeti atau bentuk kesetiaan. Keperawanan dianggap sebagai penghalang perkawinan. Ada ritual-ritual yang bertujuan untuk memecahkan selaput dara gadis-gadis muda sebagai tanda bahwa mereka telah dewasa, cukup berbeda dengan zaman sekarang yang mengagung-agungkan selaput dara, laki-laki justru lebih senang dengan perempuan yang berpengalaman.
Pernikahan muda di Asia Tenggara sungguh mengejutkan orang-orang Eropa, tulis Reid. Ada juga laporan bahwa seorang suami berhak tidur dengan saudara istrinya yang lebih tua sembari menunggu istrinya cukup tua untuk berhubungan seksual, biasanya pada umur 12 atau 13 tahun. Pernikahan dini diadakan oleh orang tua untuk mencari pasangan yang dianggap tepat untuk anaknya. Pada abad ke-19, Aceh dan Banten terkenal dengan pernikahan pada usia dini. Tetapi, Reid menyimpulkan bahwa hal ini bukanlah sesuatu yang umum dilakukan, kecuali oleh para bangsawan. Wanita di kalangan rakyat biasa mungkin menikah antara usia 15 hingga 21 tahun.
Perawatan anak di Asia Tenggara pun berbeda dengan di Eropa. Mereka menyusui anaknya hingga umur dua atau tiga tahun. Walau para wnita melahirkan lebih dini, perhentian kelahiran pun lebih cepat juga dilakukan. Mereka biasa menghentikan bersenggama, dan ada pula faktor lain seperti gonorrhea. Beberapa menganggap bahwa banyaknya anak merupakan suatu aib, karena pembagian harta yang semakin banyak pula, karenanya mereka menentukan kesuburannya sendiri.
Peranan wanita di Asia Tenggara sangatlah besar. Terlihat dari kesustraan, dan juga partisipasi mereka dalam ekonomi seperti perdagangan dan pemasaan, yang lagi-lagi membuat orang-orang asing heran karena tidak terbiasa dalam menghadapi wanita bila berdagang. Selain itu, wanita juga berperan dalam diplomasi. Mereka yang menjadi teman tidur atau teman dagang saudagar asing menjadi fasih dalam berbahasa.Bahkan, beberapa negara lebih suka mengirimkan perempuan sebagai utusan, atau menjadikan wanita sebagai penguasa bila negaranya mementingkan niaga. Mereka digadang-gadang sebagai pencipta perdamaian. Selain niaga dan diplomasi, wanita juga memiliki kontribusi besar dalam dunia hiburan. Tetapi, sistem agama formal menurunkan kedudukan wanita dengan tidak mengajarkan mereka cara menulis dan membaca, walau ada juga tempat yang tidak menerapkan pengajaran ini.
Iklim tropis di Asia Tenggara membuat berbagai bahan tanaman dapat tumbuh dengan subur sehingga tidak memerlukan usaha lebih untuk memperoleh makanan. Masyarakat Asia Tenggara memiliki waktu luang di malam hari. Hal ini dimanfaatkan untuk saling bertemu dan berpesta. Setiap orang bahkan wajib menghadiri acara ini seperti halnya bekerja. Acara ini tidak serta-merta mengikis kesenjangan sosial justru membuat semakin terlihat. Kekacauan, seks bebas, dan pergaulan bebas menjadi masalah pesta-pesta di pinggiran.