Mohon tunggu...
Wiwiek Prihandini
Wiwiek Prihandini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Akuntansi pada Perbanas Institute

Meminati masalah keuangan berkelanjutan, akuntansi lingkungan, dan Indonesia Emas.

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Tantangan Perubahan Iklim dalam Sustainable Finance

5 Januari 2025   23:39 Diperbarui: 5 Januari 2025   23:39 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber:  Digital visual generated

Tantangan Perubahan Iklim dalam Sustainable Finance

Perubahan iklim telah menjadi tantangan global yang memengaruhi setiap aspek kehidupan, termasuk ekonomi, ekosistem, dan keberlanjutan masyarakat. Dengan meningkatnya frekuensi bencana alam dan dampak ekonomi yang semakin terasa, dunia semakin membutuhkan sistem keuangan yang mendukung mitigasi perubahan iklim. Pembiayaan berkelanjutan telah menjadi pilar penting untuk mencapai transisi menuju ekonomi rendah karbon. Namun, upaya ini dihadapkan pada berbagai tantangan yang memerlukan pendekatan komprehensif.

  

Implikasi Perubahan Iklim terhadap Ekonomi Global

 Perubahan iklim telah berdampak signifikan terhadap stabilitas ekonomi global. Menurut laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPPCC, 2023), emisi gas rumah kaca global yang terus meningkat telah memperburuk intensitas dan frekuensi bencana alam, seperti banjir, kekeringan, dan badai tropis, yang menyebabkan kerugian ekonomi tahunan mencapai miliaran dolar. Dampak ini tidak hanya dirasakan di negara-negara berkembang tetapi juga di negara-negara maju, menunjukkan sifat universal dari ancaman iklim.

 Indonesia adalah salah satu negara yang sangat terdampak oleh perubahan iklim. Junarto (2023) mencatat bahwa deforestasi yang masif dan degradasi lahan di Indonesia telah menjadikannya salah satu kontributor utama emisi karbon global. Kebakaran hutan dan lahan yang sering terjadi tidak hanya menyebabkan kerugian ekonomi tetapi juga berdampak pada kualitas udara dan kesehatan masyarakat. Selain itu, kenaikan permukaan laut mengancam wilayah pesisir Indonesia, termasuk kota besar seperti Jakarta, yang berkontribusi pada tingginya biaya mitigasi.

 Dampak perubahan iklim juga menciptakan tekanan besar pada sektor keuangan. Scalia (2023) menjelaskan bahwa risiko iklim, seperti kerugian aset akibat bencana alam, telah meningkatkan kecepatan perubahan harga (volatilitas) pasar keuangan dan memengaruhi stabilitas sistem keuangan global. Menurutnya, sektor keuangan harus menyesuaikan kerangka pengelolaan risiko mereka untuk menghadapi ketidakpastian iklim. Dengan demikian, integrasi risiko iklim ke dalam perencanaan keuangan menjadi kebutuhan mendesak untuk menjaga ketahanan ekonomi global.

 

 Peran Strategis Sustainable Finance

 Sustainable finance atau keuangan berkelanjutan berperan penting dalam mendukung mitigasi perubahan iklim dan mendorong transisi ke ekonomi rendah karbon. Konsep ini mengintegrasikan prinsip Environment, Social, and Governance (ESG) dalam pengambilan keputusan investasi. Thomas (2023) menekankan pentingnya keuangan berkelanjutan untuk mendanai inovasi teknologi hijau yang dapat mengurangi jejak karbon global.

 Salah satu instrumen penting dalam sustainable finance adalah green bonds atau obligasi hijau. Hormio (2024) menjelaskan bahwa obligasi ini memungkinkan investor untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan seperti pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan konservasi sumber daya alam. Obligasi hijau tidak hanya mengurangi risiko iklim tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru.

 Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap pembiayaan hijau melalui berbagai kebijakan dan insentif. Junarto (2023) mencatat bahwa pemerintah telah mendukung transisi energi dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan investasi pada energi terbarukan. Langkah ini menjadi bagian penting dari strategi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060.

 Namun, sustainable finance sendiri tidak hanya terbatas pada mitigasi. Hormio (2024) juga menekankan bahwa pendekatan ini memiliki dimensi sosial yang signifikan. Dengan mendanai proyek-proyek yang meningkatkan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, sustainable finance dapat mendorong pembangunan yang inklusif dan adil. Dengan demikian, pembiayaan berkelanjutan bukan hanya alat mitigasi tetapi juga katalisator transformasi sosial.

 

Tantangan Implementasi Sustainable Finance

 Meskipun potensinya besar, implementasi sustainable finance menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya data ESG yang kredibel yang terjadi di banyak negara. Scalia (2023) berpendapat bahwa kurangnya standar global untuk pelaporan ESG menciptakan ketidakpastian bagi investor dan lembaga keuangan. Tanpa data yang andal, sulit bagi investor untuk mengevaluasi risiko dan peluang yang terkait dengan investasi hijau.

 Selain itu, biaya transisi ke ekonomi rendah karbon juga masih tetap menjadi kendala utama. Green (2023) mencatat bahwa investasi awal dalam teknologi energi bersih memang masih tinggi, terutama di negara berkembang. Sehingga diperlukan kolaborasi sektor publik dan swasta untuk menjembatani kesenjangan pendanaan ini.

 Ketidakselarasan kebijakan global juga memperumit implementasi sustainable finance. Ramakrishna (2023) menyoroti bahwa regulasi yang tidak konsisten di berbagai yurisdiksi menciptakan hambatan tambahan bagi adopsi praktik keuangan berkelanjutan. Sehingga harmonisasi kebijakan internasional sangat diperlukan untuk mendukung adopsi sustainable finance secara global.

 Resistensi dari industri bahan bakar fosil juga menjadi tantangan besar. Banyak perusahaan di sektor ini yang enggan beralih ke model bisnis rendah karbon karena khawatir akan dampaknya terhadap profitabilitas jangka pendek. Oleh karena itu, diperlukan insentif dan regulasi yang kuat untuk mendorong perubahan perilaku di sektor ini.

  

Solusi untuk Masa Depan

 Untuk mengatasi berbagai tantangan dalam implementasi sustainable finance, pendekatan inovatif dan kolaboratif sangat dibutuhkan. Thomas (2023) merekomendasikan penggunaan teknologi blockchain sebagai salah satu solusi untuk meningkatkan transparansi dalam pelaporan ESG. Teknologi ini memungkinkan pencatatan data yang terdesentralisasi, tidak dapat diubah, dan mudah diverifikasi, sehingga memberikan kepercayaan lebih besar kepada investor. Dengan data ESG yang lebih transparan dan dapat diandalkan, pengambilan keputusan investasi dapat dilakukan dengan lebih akurat dan bertanggung jawab.

 Selain itu, pengembangan blended finance dapat menjadi solusi untuk mengatasi kesenjangan pendanaan yang sering menjadi hambatan dalam mendanai proyek hijau. Blended finance menggabungkan sumber dana dari sektor publik dan swasta untuk menciptakan struktur pendanaan yang lebih efisien. Ramakrishna (2023) menjelaskan bahwa pendekatan ini tidak hanya membantu mengurangi risiko bagi investor, tetapi juga mendorong sektor swasta untuk berpartisipasi lebih aktif dalam proyek-proyek berkelanjutan. Sebagai contoh, proyek-proyek energi terbarukan di negara-negara berkembang dapat memperoleh manfaat besar dari skema ini, mengingat terbatasnya sumber daya keuangan di wilayah tersebut.

 Edukasi dan peningkatan kapasitas di kalangan pemangku kepentingan juga menjadi kunci keberhasilan sustainable finance. Smits (2024) menekankan pentingnya kampanye edukasi yang menyasar tidak hanya lembaga keuangan tetapi juga masyarakat umum. Kesadaran yang lebih tinggi tentang pentingnya keberlanjutan dapat mendorong permintaan akan produk keuangan hijau, yang pada gilirannya dapat memotivasi lembaga keuangan untuk mengadopsi praktik berkelanjutan. Selain itu, program pelatihan untuk profesional keuangan juga dapat membantu mereka memahami dan mengelola risiko iklim secara lebih efektif, sehingga meningkatkan efektivitas implementasi strategi sustainable finance.

 Lebih jauh lagi, pemerintah dan lembaga internasional perlu memperkuat kerangka regulasi yang mendukung sustainable finance. Harmonisasi regulasi global menjadi sangat penting untuk menciptakan standar yang konsisten bagi semua negara. Scalia (2023) menyatakan bahwa kerangka regulasi yang terpadu tidak hanya akan mengurangi ketidakpastian bagi investor tetapi juga memastikan bahwa risiko iklim dikelola secara seragam di seluruh dunia. Dengan standar yang jelas, lembaga keuangan dapat lebih mudah mengintegrasikan kriteria ESG ke dalam strategi investasi mereka.

 Dorongan untuk kolaborasi lintas sektor juga penting untuk mendorong inovasi dalam produk dan layanan keuangan hijau. Kolaborasi antara sektor teknologi dan lembaga keuangan dapat menghasilkan solusi yang lebih kreatif untuk mengatasi tantangan perubahan iklim. Misalnya, pengembangan alat analitik berbasis kecerdasan buatan (AI) dapat membantu lembaga keuangan memproyeksikan dampak jangka panjang dari proyek hijau, sehingga memberikan landasan yang lebih kuat untuk pengambilan keputusan investasi.

 Akhirnya, insentif kebijakan, seperti pengurangan pajak untuk investasi hijau dan subsidi untuk proyek energi terbarukan, perlu diperluas untuk mendorong lebih banyak partisipasi. Insentif ini dapat mengurangi hambatan finansial bagi sektor swasta dan meningkatkan daya tarik investasi hijau. Junarto (2023) mencatat bahwa di Indonesia, insentif semacam ini telah mendorong pengembangan proyek energi terbarukan dan konservasi sumber daya alam. Dengan memperluas cakupan kebijakan ini, diharapkan lebih banyak negara dapat mempercepat transisi ke ekonomi rendah karbon.

 Dengan langkah-langkah ini, sustainable finance dapat menjadi pendorong utama transformasi ekonomi dan lingkungan global. Tidak hanya untuk mengatasi tantangan perubahan iklim, tetapi juga untuk menciptakan dunia yang lebih adil, inklusif, dan berkelanjutan bagi generasi mendatang.

 

Penutup

 Perubahan iklim adalah tantangan terbesar abad ini, yang memengaruhi setiap aspek kehidupan manusia, mulai dari stabilitas ekonomi hingga kesejahteraan sosial. Dalam konteks ini, sustainable finance muncul sebagai solusi strategis yang mampu menjembatani kesenjangan antara kebutuhan pembangunan ekonomi dan keberlanjutan lingkungan. Dengan mengintegrasikan prinsip ESG dalam investasi dan pengelolaan keuangan, pendekatan ini menawarkan peluang besar untuk mendanai inovasi teknologi hijau, meningkatkan akses energi terbarukan, dan menciptakan ekonomi yang lebih tangguh terhadap risiko iklim.

 Namun, keberhasilan sustainable finance sangat bergantung pada kolaborasi yang erat antara pemerintah, sektor swasta, lembaga keuangan, dan masyarakat luas. Harmonisasi kebijakan internasional, peningkatan kapasitas, dan inovasi teknologi harus berjalan seiring untuk memastikan bahwa praktik keuangan berkelanjutan dapat diterapkan secara efektif di seluruh dunia. Seperti yang dijelaskan oleh Scalia (2023), integrasi risiko iklim ke dalam kebijakan keuangan membutuhkan sinergi global untuk mengurangi ketidakpastian dan memperkuat stabilitas ekonomi.

 Langkah-langkah praktis, seperti pengembangan standar pelaporan ESG yang lebih kuat dan penerapan teknologi blockchain, dapat menjadi pendorong penting dalam meningkatkan transparansi dan kepercayaan investor. Selain itu, pengembangan blended finance dan insentif kebijakan yang mendukung investasi hijau menjadi komponen penting untuk memastikan partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan. Sebagaimana dicatat oleh Junarto (2023), kebijakan insentif telah terbukti efektif dalam mendorong transisi energi di Indonesia, memberikan pelajaran yang dapat diterapkan di negara lain.

 Akhirnya, kesadaran kolektif tentang pentingnya keberlanjutan harus menjadi dasar dari setiap upaya mitigasi perubahan iklim. Edukasi masyarakat dan pelatihan profesional di sektor keuangan dapat mempercepat transformasi budaya dan ekonomi ke arah yang lebih ramah lingkungan. Sustainable finance bukan hanya alat untuk mengelola risiko iklim, tetapi juga peluang untuk menciptakan dunia yang lebih baik dan berkelanjutan. Dengan langkah konkret dan kolaborasi lintas sektor, kita dapat menghadapi tantangan perubahan iklim dengan optimisme dan determinasi.

 

Daftar Pustaka

  • Hormio, S. (2024). Taking Responsibility for Climate Change. Springer.
  • IPCC. (2023). Climate Change 2023 - Synthesis Report.
  • Junarto, R. (2023). "Mitigasi Perubahan Iklim dan Dampak Pengelolaan Sumber Daya Agraria: Wawasan dari Indonesia." Tunas Agraria, 6(3), 237-254.
  • Ramakrishna, S. P. (2023). Climate Change Risk Management in Banks: The Next Paradigm. Walter de Gruyter.
  • Scalia, A. (2023). Financial Risk Management and Climate Change Risk: The Experience in a Central Bank. Springer.
  • Smits, R. (2024). Sustainable Finance and Climate Change: Law and Regulation. Edward Elgar.
  • Thomas, V. (2023). Risk and Resilience in the Era of Climate Change. Springer.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun