Salah satu instrumen penting dalam sustainable finance adalah green bonds atau obligasi hijau. Hormio (2024) menjelaskan bahwa obligasi ini memungkinkan investor untuk mendanai proyek-proyek ramah lingkungan seperti pembangunan infrastruktur energi terbarukan dan konservasi sumber daya alam. Obligasi hijau tidak hanya mengurangi risiko iklim tetapi juga menciptakan peluang ekonomi baru.
 Indonesia telah menunjukkan komitmennya terhadap pembiayaan hijau melalui berbagai kebijakan dan insentif. Junarto (2023) mencatat bahwa pemerintah telah mendukung transisi energi dengan mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan meningkatkan investasi pada energi terbarukan. Langkah ini menjadi bagian penting dari strategi Indonesia untuk mencapai Net Zero Emissions (NZE) pada 2060.
 Namun, sustainable finance sendiri tidak hanya terbatas pada mitigasi. Hormio (2024) juga menekankan bahwa pendekatan ini memiliki dimensi sosial yang signifikan. Dengan mendanai proyek-proyek yang meningkatkan akses pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur dasar, sustainable finance dapat mendorong pembangunan yang inklusif dan adil. Dengan demikian, pembiayaan berkelanjutan bukan hanya alat mitigasi tetapi juga katalisator transformasi sosial.
Â
Tantangan Implementasi Sustainable Finance
 Meskipun potensinya besar, implementasi sustainable finance menghadapi sejumlah tantangan dan hambatan. Salah satu tantangan terbesar adalah kurangnya data ESG yang kredibel yang terjadi di banyak negara. Scalia (2023) berpendapat bahwa kurangnya standar global untuk pelaporan ESG menciptakan ketidakpastian bagi investor dan lembaga keuangan. Tanpa data yang andal, sulit bagi investor untuk mengevaluasi risiko dan peluang yang terkait dengan investasi hijau.
 Selain itu, biaya transisi ke ekonomi rendah karbon juga masih tetap menjadi kendala utama. Green (2023) mencatat bahwa investasi awal dalam teknologi energi bersih memang masih tinggi, terutama di negara berkembang. Sehingga diperlukan kolaborasi sektor publik dan swasta untuk menjembatani kesenjangan pendanaan ini.
 Ketidakselarasan kebijakan global juga memperumit implementasi sustainable finance. Ramakrishna (2023) menyoroti bahwa regulasi yang tidak konsisten di berbagai yurisdiksi menciptakan hambatan tambahan bagi adopsi praktik keuangan berkelanjutan. Sehingga harmonisasi kebijakan internasional sangat diperlukan untuk mendukung adopsi sustainable finance secara global.
 Resistensi dari industri bahan bakar fosil juga menjadi tantangan besar. Banyak perusahaan di sektor ini yang enggan beralih ke model bisnis rendah karbon karena khawatir akan dampaknya terhadap profitabilitas jangka pendek. Oleh karena itu, diperlukan insentif dan regulasi yang kuat untuk mendorong perubahan perilaku di sektor ini.
 Â
Solusi untuk Masa Depan