Mohon tunggu...
Wiwiek Prihandini
Wiwiek Prihandini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Akuntansi pada Perbanas Institute

Meminati masalah keuangan berkelanjutan, akuntansi lingkungan, dan Indonesia Emas.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Perspektif Teoritis Greenwashing

26 Juli 2024   12:17 Diperbarui: 30 Juli 2024   18:57 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://www.livebrightgreen.com/blog/green-or-green-washing

PERSPEKTIF TEORITIS GREENWASHING

Sebuah survei yang dilakukan pada 1.491 CEO perusahaan dunia yang memiliki lebih 500 karyawan oleh Harris Poll untuk Google Cloud, menemukan bahwa 58% eksekutif global mengakui perusahaan mereka terlibat dalam praktik greenwashing. Di Amerika Serikat, angka ini bahkan lebih tinggi, mencapai 68% (Peters, 2022). Sementara laporan yang dibuat oleh RepRisk menunjukkan bank dan perusahaan jasa keuangan yang melakukan greenwashing meningkat 70% secara global pada tahun 2023 dibanding tahun sebelumnya (Canup, 2023).

Angka-angka di atas menunjukkan bahwa fenomena greenwshing perlu mendapat perhatian yang lebih serius dalam konteks regulasi dan penegakan regulasi, penelitian, maupun dampaknya pada berbagai kalangan.

Sebagai pencetus istilah greenwashing tahun 1986, Jay Westerveld (dalam Gatti dan Seele, 2015), mendifinisikan greenwashing sebagai “tindakan yang dilakukan oleh perusahaan untuk membuat klaim palsu atau menyesatkan tentang manfaat lingkungan dari produk, layanan, atau praktik mereka untuk memperoleh keuntungan pasar.” Jay adalah seorang aktivis lingkungan hidup yang mencetuskan istilah itu dari pengalaman pribadinya di sebuah hotel yang menyarankan pemakaian handuk berulang ketimbang sekali pakai langsung dicuci dengan alasan ‘selamatkan planet bumi dari jutaan galon air yang terbuang sia-sia’. Terdengar sangat indah, namun di sisi lain hotel tersebut menyia-nyiakan sumberdaya yang lainnya.

Salah satu definisi yang cukup komprehensif, misalnya mengatakan bahwa greenwashing adalah proses dimana organisasi menyebarkan persepsi menyesatkan tentang produk atau layanan mereka yang memberi kesan negatif mereka lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan dibandingkan kenyataannya. Praktek greenwashing sering digunakan oleh perusahaan-perusahaan, pemerintah, dan lembaga lain untuk menipu masyarakat agar percaya bahwa mereka melakukan lebih banyak hal untuk lingkungan daripada yang sebenarnya adalah untuk mendapatkan persepsi publik yang lebih baik (Ferrer dalam Euronews, 2020).

Konsep greenwashing saat ini mencakup berbagai taktik seperti klaim yang berlebihan, menggunakan bahasa yang menyesatkan, istilah yang membingungkan, dan menciptakan kesan yang salah tentang dampak lingkungan dari produk atau operasi perusahaan. Fokusnya tidak hanya pada produk individu tetapi juga pada praktek operasional dan strategi perusahaan secara keseluruhan. Pengertian greenwashing kini juga mencakup bagaimana perusahaan melibatkan dan berkomunikasi dengan pemangku kepentingan mereka, termasuk transparansi dalam laporan keberlanjutan.


Perkembangan greenwashing

Semenjak diperkenalkan tahun 1986, konsep greenwashing mengalami perkembangan baik secara konseptual maupun dalam praktek keseharian. Misalnya, dari yang sebelumnya hanya membuat klaim tidak didukung fakta, sampai pada menutupi atau menyembunyikan informasi yang seharusnya disampaikan, dilakukan untuk meningkatkan citra seolah-olah ramah lingkungan, dan tidak hanya terkait dengan institusi (termasuk lembaga pemerintah) tapi juga produk barang atau jasa. Terdapat juga greenwashing yang terjadi karena ketidaksengajaan. Di samping itu, kesadaran publik juga mulai tumbuh dan perusahaan mulai memperhatikan hal itu. Regulasi masih sangat terbatas dan sebagian masih berupa wacana.

Tahun 2000-an ketika akses Internet makin meluas, informasi makin mudah didapatkan. Dengan munculnya Internet 2.0 yang memungkinkan setiap pengguna Internet dapat mengunggah apa pun di Internet, organisasi non-pemerintah yang kritis makin banyak mempublikasikan laporan dan kajian yang mengungkap praktek greenwashing yang dilakukan oleh banyak perusahaan di seluruh dunia. Di sisi lain, perusahan-perusahaan mulai menyadari dampak merugikan fenomena greenwashing yang terungkap ke publik, terhadap reputasi perusahaan mereka yang berujung pada hilangnya kepercayaan publik. Kesadaran masyarakat pada isu lingkungan yang makin tinggi juga menambah tekanan terhadap perusahaan agar lebih memperhatikan dampak aktivitas perusahaan terhadap lingkungan (Nemes, 2022).

Seiring berjalannya waktu, beberapa penelitian mengenai greenwashing menunjukkan bahwa fenomena ini dapat terjadi secara tidak sengaja. Beberapa penelitian mengidentifikasi bahwa greenwashing dapat terjadi karena kurangnya pengetahuan mengenai apa yang diperlukan untuk benar-benar menjadi ramah lingkungan, atau salah dalam menginterpretasikan standar keberlanjutan (Netto, 2020), karena bergantung pada informasi yang tidak lengkap atau salah tentang dampak lingkungan dari produk mereka (Steele, 2015), dan karena kesalahan dalam mengimplementasikan kebijakan (Gatti, et.al., 2019). Greenwashing yang terjadi karena ketidaktahuan memiliki perbedaan dalam hal motiviasi dan intensi yang tidak disengaja atau direncanakan.


Perspektif Teori

Terdapat beberapa teori yang dapat diterapkan dalam menjelaskan dan menganalisis fenomena greenwashing. Gatti et.al. (2019) menyebut teori legitimasi adalah salah satu alasan penting mengapa perusahaan melakukan greenwashing. Menurut teori ini, perusahaan berusaha untuk mendapatkan, memelihara, dan memperbaiki legitimasi mereka di mata pemangku kepentingan. Legitimasi diperoleh ketika tindakan perusahaan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma. Besar kemungkinan perusahaan melakukan greenwashing sebagai upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan legitimasi mereka, terutama ketika ada tekanan dari masyarakat atau regulasi terkait isu lingkungan. Mereka membuat klaim lingkungan untuk menunjukkan bahwa mereka mematuhi ekspektasi sosial, meskipun tindakan nyata mereka mungkin tidak sesuai dengan klaim tersebut.

Misalnya, sebuah perusahaan yang beroperasi dalam industri yang berdampak tinggi terhadap lingkungan, seperti perminyakan, mengklaim bahwa mereka adalah pemimpin dalam energi terbarukan meskipun investasi mereka dalam energi terbarukan sesungguhnya adalah minimal. Klaim semacam itu bisa dimaksudkan untuk mempertahankan legitimasi di mata pemangku kepentingan yang prihatin dengan perubahan iklim. Contoh kasus yang sangat fenomenal adalah Volkswagen Emission Scandal atau sering disebut dengan Dieselgate.

Yang kedua adalah teori sinyal atau signaling theory, yang menyatakan bahwa dalam situasi ketika terjadi asimetri informasi (ketidaksejajaran penguasaan/kepemilikan informasi), maka pihak yang memiliki informasi lebih baik atau lebih lengkap (penyedia sinyal, atau emitter) akan mengirimkan informasi kepada pihak yang memiliki informasi terbatas atau penerima sinyal. Gati dan Seele (2015) menjelaskan bahwa perusahaan seringkali menggunakan klaim lingkungan sebagai sinyal untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan kepada pemangku kepentingan. Greenwashing terjadi ketika sinyal ini tidak didukung oleh tindakan nyata, sehingga berkemungkinan menyesatkan penerima sinyal seperti regulator, konsumen, investor, dan lain-lain. Contoh kasus: klaim ramah lingkungan pakaian Conscious Collection dari H&M.

Berikutnya adalah teori pemangku kepentingan atau stakeholders theory, yang menyatakan bahwa perusahaan harus mempertimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengambilan keputusan, bukan hanya kepentingan pemegang saham. Perusahaan harus dapat memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan harapan para pemangku kepentingannya. Menurut Netto (2020), berdasar teori ini perusahaan melakukan greenwashing untuk memenuhi ekspektasi berbagai pemangku kepentingan seperti konsumen, investor, pemerintah, dan komunitas lokal, meskipun tindakan nyata mereka tidak sejalan dengan klaim lingkungan. Misalnya, perusahaan mengimplementasikan program daur ulang yang terbatas atau secara simbolis saja, sekedar untuk memuaskan tuntutan pemangku kepentingan eksternal tanpa benar-benar berkomitmen untuk mengurangi dampak lingkungan operasinya. Tujuannya adalah untuk menampilkan citra positif dan memuaskan tuntutan eksternal tanpa melakukan perubahan yang substantif. Contoh: klaim Nestle bahwa botol yang mereka gunakan ramah lingkungan (Nestlé Bottled Water) tanpa bukti memadai.

Keempat, teori instittusi (institutional theory) yang berfokus pada bagaimana praktik dan struktur organisasi dipengaruhi oleh tekanan sosial, budaya, dan regulasi dari lingkungan institusional di mana mereka beroperasi. Nemes (2022) menjelaskan bahwa perusahaan mungkin melakukan greenwashing sebagai respon terhadap tekanan institusional untuk menunjukkan kepatuhan terhadap norma dan standar lingkungan, meskipun realitasnya tidak cukup mendukung klaim tersebut. Jika ada tren yang meningkat di masyarakat yang menghargai keberlanjutan, perusahaan cenderung merespons dengan kampanye iklan yang menonjolkan komitmen lingkungan, yang tidak sesuai dengan kanyataan dan sekedar untuk memenuhi harapan sosial tersebut dan menghindari sanksi dari masyarakat. Contoh kasusnya adalah apa yang dikenal dengan Shell’s Renewable Energy Claims. Komitmen besar Shell terhadap energi terbarukan, tapi nilai investasi mereka di bidang itu sangat kecil.

Teori manajemen impresi (Impression management theory) berfokus pada proses di mana individu atau organisasi mencoba mempengaruhi persepsi publik dengan menonjolkan aspek positif dan kinerja mereka, sambil menyembunyikan aspek negatifnya. Gati dan Seele (2015) menjelaskan bahwa teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa perusahaan mencoba memproyeksikan citra ramah lingkungan yang mungkin tidak sepenuhnya benar. Atau, perusahaan yang mempromosikan inisiatif keberlanjutan yang tampak mengesankan pada peluncuran produk baru untuk menciptakan kesan positif, sementara inisiatif tersebut tidak memiliki dampak nyata atau berkelanjutan pada lingkungan. Berdasar teori ini, dampak greenwashing dapat berupa kerusakan reputasi perusahaan, kehilangan kepercayaan publik, dan menjadi penghambat upaya keberlanjutan.

Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh British Petroleum sesudah mengalami bencana tumpahan minyak Depwater Horizon tahun 2010. BP menggunakan teknik manajemen impresi untuk meminimalkan kerusakan reputasi mereka dengan menampilkan diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap lingkungan. Namun, ini menjadi greenwashing karena tindakan nyata mereka dalam mengurangi dampak lingkungan sangat tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.


Penutup

Dengan makin dipahaminya fenomena greenwashing dalam konteks konseptual teoritis maupun praktek di lapangan, regulator diharapkan lebih dapat mengikuti perkembangan yang ada. Sementara bagi pelaku bisnis, harus lebih berhati-hati dan tidak lagi mencoba melakukan greenwashing karena risikonya sangat tinggi mengingat makin kritisnya masyarakat, kelompok peduli lingkungan, akademisi. Sangat mudahnya informasi menyebar – lepas dari benar tidaknya atau akurat tidaknya – perlu diantisipasi dan ditangani dengan bijak supaya tidak merusak citra dan reputasi perusahaan.

 

 Daftar Pustaka

Canup, B. (2023). Trade Finance Global. Report: Greenwashing incidents up 70% globally in 2023.   https://www.tradefinanceglobal.com/posts/report-greenwashing-incidents-up-70-globally-2023/

Ferrer, M. What Is Greenwashing and Why Is It a Problem? Euronews, 2020. https://www.euronews.com/green/2020/09/09/what-is-greenwashing-and-why-is-it-a-problem

Gatti, L., Seele, P., and Rademacher, L., (2019) "Grey zone in - greenwash out. A review of greenwashing research and implications for the voluntary-mandatory transition of CSR" in International Journal of Corporate Social Responsibility. 4:6.
https://doi.org/10.1186/s40991-019-0044-9

Lyon, T.P.; Montgomery, A.W. The Means and End of Greenwash. Organ. Environ. 2015, 28, 223–249. https://journals.sagepub.com/doi/10.1177/1086026615575332

Naderer, B., Schmuck, D., & Matthes, J. (2017). 2.3 Greenwashing: Disinformation through Green Advertising. Commercial Communication in the Digital Age, 105–120. doi:10.1515/9783110416794-007

Nemes, N.; Scanlan, S.J.; Smith, P.; Smith, T.; Aronczyk, M.; Hill, S.; Lewis, S.L.; Montgomery, A.W.; Tubiello, F.N.; Stabinsky, D. An Integrated Framework to Assess Greenwashing. Sustainability 2022, 14, 4431. https://doi.org/10.3390/su14084431.

Neto, SVF., Sobral, MFF., Ribeiro, ARB., Soares, GRL. (2020). “Concepts and forms of greenwashing: a systematic review” dalam Journal of Environmental Science Europe. 32:19. https://doi.org/10.1186/s12302-020-0300-3

Peters, A. (2022). Fast Company. 68% of U.S. excess admit their companies are guilty of greenwashing.  https://www.fastcompany.com/90740501/68-of-u-s-execs-admit-their-companies-are-guilty-of-greenwashing.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun