Mohon tunggu...
Wiwiek Prihandini
Wiwiek Prihandini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Akuntansi pada Perbanas Institute

Meminati masalah keuangan berkelanjutan, akuntansi lingkungan, dan Indonesia Emas.

Selanjutnya

Tutup

Financial

Perspektif Teoritis Greenwashing

26 Juli 2024   12:17 Diperbarui: 26 Juli 2024   12:36 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Terdapat beberapa teori yang dapat diterapkan dalam menjelaskan dan menganalisis fenomena greenwashing. Gatti et.al. (2019) menyebut teori legitimasi adalah salah satu alasan penting mengapa perusahaan melakukan greenwashing. Menurut teori ini, perusahaan berusaha untuk mendapatkan, memelihara, dan memperbaiki legitimasi mereka di mata pemangku kepentingan. Legitimasi diperoleh ketika tindakan perusahaan sesuai dengan nilai-nilai dan norma-norma. Besar kemungkinan perusahaan melakukan greenwashing sebagai upaya untuk meningkatkan atau mempertahankan legitimasi mereka, terutama ketika ada tekanan dari masyarakat atau regulasi terkait isu lingkungan. Mereka membuat klaim lingkungan untuk menunjukkan bahwa mereka mematuhi ekspektasi sosial, meskipun tindakan nyata mereka mungkin tidak sesuai dengan klaim tersebut.

Misalnya, sebuah perusahaan yang beroperasi dalam industri yang berdampak tinggi terhadap lingkungan, seperti perminyakan, mengklaim bahwa mereka adalah pemimpin dalam energi terbarukan meskipun investasi mereka dalam energi terbarukan sesungguhnya adalah minimal. Klaim semacam itu bisa dimaksudkan untuk mempertahankan legitimasi di mata pemangku kepentingan yang prihatin dengan perubahan iklim. Contoh kasus yang sangat fenomenal adalah Volkswagen Emission Scandal atau sering disebut dengan Dieselgate.

Yang kedua adalah teori sinyal atau signaling theory, yang menyatakan bahwa dalam situasi ketika terjadi asimetri informasi (ketidaksejajaran penguasaan/kepemilikan informasi), maka pihak yang memiliki informasi lebih baik atau lebih lengkap (penyedia sinyal, atau emitter) akan mengirimkan informasi kepada pihak yang memiliki informasi terbatas atau penerima sinyal. Gati dan Seele (2015) menjelaskan bahwa perusahaan seringkali menggunakan klaim lingkungan sebagai sinyal untuk menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan kepada pemangku kepentingan. Greenwashing terjadi ketika sinyal ini tidak didukung oleh tindakan nyata, sehingga berkemungkinan menyesatkan penerima sinyal seperti regulator, konsumen, investor, dan lain-lain. Contoh kasus: klaim ramah lingkungan pakaian Conscious Collection dari H&M.

Berikutnya adalah teori pemangku kepentingan atau stakeholders theory, yang menyatakan bahwa perusahaan harus mempertimbangkan kepentingan semua pemangku kepentingan (stakeholders) dalam pengambilan keputusan, bukan hanya kepentingan pemegang saham. Perusahaan harus dapat memenuhi kebutuhan, kepentingan, dan harapan para pemangku kepentingannya. Menurut Netto (2020), berdasar teori ini perusahaan melakukan greenwashing untuk memenuhi ekspektasi berbagai pemangku kepentingan seperti konsumen, investor, pemerintah, dan komunitas lokal, meskipun tindakan nyata mereka tidak sejalan dengan klaim lingkungan. Misalnya, perusahaan mengimplementasikan program daur ulang yang terbatas atau secara simbolis saja, sekedar untuk memuaskan tuntutan pemangku kepentingan eksternal tanpa benar-benar berkomitmen untuk mengurangi dampak lingkungan operasinya. Tujuannya adalah untuk menampilkan citra positif dan memuaskan tuntutan eksternal tanpa melakukan perubahan yang substantif. Contoh: klaim Nestle bahwa botol yang mereka gunakan ramah lingkungan (Nestlé Bottled Water) tanpa bukti memadai.

Keempat, teori instittusi (institutional theory) yang berfokus pada bagaimana praktik dan struktur organisasi dipengaruhi oleh tekanan sosial, budaya, dan regulasi dari lingkungan institusional di mana mereka beroperasi. Nemes (2022) menjelaskan bahwa perusahaan mungkin melakukan greenwashing sebagai respon terhadap tekanan institusional untuk menunjukkan kepatuhan terhadap norma dan standar lingkungan, meskipun realitasnya tidak cukup mendukung klaim tersebut. Jika ada tren yang meningkat di masyarakat yang menghargai keberlanjutan, perusahaan cenderung merespons dengan kampanye iklan yang menonjolkan komitmen lingkungan, yang tidak sesuai dengan kanyataan dan sekedar untuk memenuhi harapan sosial tersebut dan menghindari sanksi dari masyarakat. Contoh kasusnya adalah apa yang dikenal dengan Shell’s Renewable Energy Claims. Komitmen besar Shell terhadap energi terbarukan, tapi nilai investasi mereka di bidang itu sangat kecil.

Teori manajemen impresi (Impression management theory) berfokus pada proses di mana individu atau organisasi mencoba mempengaruhi persepsi publik dengan menonjolkan aspek positif dan kinerja mereka, sambil menyembunyikan aspek negatifnya. Gati dan Seele (2015) menjelaskan bahwa teori ini dapat digunakan untuk menjelaskan mengapa perusahaan mencoba memproyeksikan citra ramah lingkungan yang mungkin tidak sepenuhnya benar. Atau, perusahaan yang mempromosikan inisiatif keberlanjutan yang tampak mengesankan pada peluncuran produk baru untuk menciptakan kesan positif, sementara inisiatif tersebut tidak memiliki dampak nyata atau berkelanjutan pada lingkungan. Berdasar teori ini, dampak greenwashing dapat berupa kerusakan reputasi perusahaan, kehilangan kepercayaan publik, dan menjadi penghambat upaya keberlanjutan.

Contohnya adalah apa yang dilakukan oleh British Petroleum sesudah mengalami bencana tumpahan minyak Depwater Horizon tahun 2010. BP menggunakan teknik manajemen impresi untuk meminimalkan kerusakan reputasi mereka dengan menampilkan diri sebagai perusahaan yang bertanggung jawab dan berkomitmen terhadap lingkungan. Namun, ini menjadi greenwashing karena tindakan nyata mereka dalam mengurangi dampak lingkungan sangat tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.


Penutup

Dengan makin dipahaminya fenomena greenwashing dalam konteks konseptual teoritis maupun praktek di lapangan, regulator diharapkan lebih dapat mengikuti perkembangan yang ada. Sementara bagi pelaku bisnis, harus lebih berhati-hati dan tidak lagi mencoba melakukan greenwashing karena risikonya sangat tinggi mengingat makin kritisnya masyarakat, kelompok peduli lingkungan, akademisi. Sangat mudahnya informasi menyebar – lepas dari benar tidaknya atau akurat tidaknya – perlu diantisipasi dan ditangani dengan bijak supaya tidak merusak citra dan reputasi perusahaan.

 

 Daftar Pustaka

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun