Integrasi risiko ESG dalam pengambilan keputusan
Mengintegrasikan risiko ESG ke dalam proses pengambilan keputusan sebuah perusahaan adalah bentuk nyata dari komitmen keuangan berkelanjutan dan tanggungjawab sosial perusahaan. Kuzmina et al. (2023) menyebutkan bahwa bank harus mengembangkan kerangka kerja yang komprehensif untuk mengelola risiko. Kerangka kerja ini mencakup identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pelaporan risiko ESG. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa semua risiko yang relevan, diperhitungkan dalam proses pengambilan keputusan. Kuzmina menekankan pentingnya menggunakan data ESG sebagai variabel penting dalam peramalan data keuangan termasuk biaya langsung, biaya eksternalitas, dan biaya peluang dalam penilaian aset dan manajemen portofolio.
Pengambilan keputusan yang mengintegrasikan risiko ESG pada umumnya diawali dengan pengembangan kebijakan ESG yang komprehensif yang selaras dengan visi dan misi perusahaan serta mencakup komitmen terhadap keberlanjutan dan tanggungjawab sosial. Integrasi holistik risiko ESG lebih dari sekedar membantu dalam mengelola risiko namun juga dalam memenuhi harapan pemangku kepentingan (Kuzmina et al., 2023).
KPMG (2021) juga menyarankan pendekatan holistik dalam mengelola risiko ESG dalam seluruh proses manajemen risiko bank. Risiko ESG harus harus diidentifikasi dan dinilai dalam konteks keseluruhan risiko yang dihadapi bank, termasuk risiko kredit, pasar, likuiditas, dan operasional, termasuk penggunaan teknik pengukuran dan penilaian risiko. Setelah risiko teridentifikasi, kemudian dinilai dampaknya terhadap kinerja bank. Alat stress testing penting digunakan untuk mengevaluasi dampak potensial risiko ESG. Alat ini juga dapat membantu bank dalam memahami bagaimana risiko ESG dapat memengaruhi kinerja keuangan. KPMG juga mempunyai alat analitis Climate IQ dan desain risiko transisi untuk membantu bank dalam memahami dan mengelola risiko ESG dalam protofolio mereka. KPMG menilai bahwa dengan mengelola risiko ESG yang efektif, bank dapat meningkatkan nilai jangka panjang bagi pemangku kepentingan.
Sedangkan McKinsey & Company (2022) menyarankan agar bank mengembangkan peta jalan data ESG yang seimbang antara solusi jangka pendek dengan strategi visi jangka panjang. Hal ini termasuk penetapan model data terpusat yang terpadu dengan data keuangan dan risiko yang ada, serta memastikan bahwa data ESG telah dikumpulkan, diintegrasikan, dan dilaporkan secara lengkap dengan penerapan teknologi AI dan big data. ESG juga harus diselaraskan dengan strategi bisnis inti. Misalnya penyesuaian dengan alur kerja yang ada, termasuk dalam proses persetujuan kredit. Bank harus menginformasikan persyaratan ESG di seluruh bagian, dan memperbarui data yang ada untuk mematuhi ketentuan persyaratan ESG. Pengetahuan dan keterampilan karyawan mengenai risiko ESG harus selalu diperbarui, termasuk melibatkan pemangku kepentingan internal dan eksternal.
Hal yang cukup menggembirakan adalah terbitnya dua buku panduan oleh Otoritas Jasa Keuangan terkait dengan risiko iklim, yaitu Panduan Climate Risk Stress Testing Perbankan tahun 2023, dan Climate Risk Management & Scenario Analysis Perbankan tahun 2024. Buku yang yang pertama disusun untuk membantu bank dalam mengelola risiko terkait perubahan iklim. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi, mengukur, dan mengelola risiko perubahan iklim yang dapat mempengaruhi kinerja keuangan bank.berisi tentang panduan untuk membantu bank dalam melakukan uji ketahanan terkait risiko iklim. Dalam buku kedua, diinformasikan bahwa OJK bahkan telah memulai tahap awal penerapan Climate Risk Stress Testing (CRST) pada tahun 2023 yang melibatkan 11 bank KBMI 3 dan KBMI 4 (Otoritas Jasa Keuangan, 2024).
Sekalipun target pelaporan CRST pada Juli 2024, namun beberapa bank telah menyampaikan insiasi tersebut dalam laporan keberlanjutan mereka di tahun 2023. Misalnya, Dalam Laporan Keberlanjutan BNI tahun 2023 disebutkan bahwa BNI mendukung pemerintah dalam menjalankan uji ketahanan terkait risiko iklim dan lingkungan. BNI melakukan fase awal dari CRST dengan menggunakan metodologi Network for Greening the Financial System (NGFS) yang mencakup skenario Orderly (net zero pada 2050; di bawah 2oC); Disorderly (transisi yang tertunda, net zero dengan kondisi tertentu), dan Hot House (dengan kebijakan yang ada sekarang, dan sesuai dengan NDC - dokumen kontribusi dan komitmen aksi iklim nasional). Cakupan portofolio dalam tahap awal ini menggunakan tiga sektor ekonomi, yaitu batu bara termasuk PLTU, perkebunan kelapa sawit, dan pulp & paper. Pada ketiga skenario, sektor batu bara menunjukkan dampak tertinggi, sementara sektor perkebunan kelapa sawit dan pulp & paper juga terdampak pada skenario "Disorderly" dan "Hot House World” (Bank Negara Indonesia, 2023, hal, 41-42).
Bank Mandiri juga menerapkan skenario iklim dari NGFS yang mengeksplorasi asumsi berbeda tentang bagaimana kebijakan iklim, emisi, dan peningkatan suhu akan berdampak pada ekonomi (Bank Mandiri, 2023). Sementara itu Bank Rakyat Indonesia melakukan simulasi stress testing setidaknya sekali tiap triwulan untuk mengevaluasi kerentanan yang mungkin tidak terlihat pada kondisi normal namun dapat menjadi risiko yang signifikan pada saat terjadi kondisi ekstrim. Ini adalah bagian dari proses manajemen risiko yang mencakup identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendalian risiko (Bank Rakyat Indonesia, 2023, hal. 57).
Menuju laporan keberlanjutan yang lebih berkualitas
Mengingat pemangku kepentingan laporan keberlanjutan yang sangat beragam (mulai dari karyawan, investor, mitra bisnis, debitur, regulator, masyarakat, organisasi masyarakat sipil, media, dan sebagainya), maka terdapat perbedaan kepentingan terhadap isi laporan keberlanjutan. Hal ini menyebabkan sulitnya dirumuskan acuan atau standar dan kerangka kerja yang berlaku secara umum untuk semua pengguna laporan keberlanjutan. Akibatnya, bank seringkali menggunakan beberapa standar internasional agar dapat memenuhi kepentingan para pengguna laporan keberlanjutan. Namun, apa pun standar dan kerangka kerja yang digunakan oleh bank dalam laporan keberlanjutan seharusnya tidak sulit dipahami, akurat, berimbang, kredibel, dan benar-benar dimanfaatkan sebagai sarana komunikasi dengan pemangku kepentingan.
Oleh karena laporan keberlanjutan memiliki ragam pengguna yang bervariasi, maka mau tidak mau isi dan penyajiannya harus jelas, mudah diakses, dan mudah dipahami dalam konteks teknologi, bahasa, dan tidak menggunakan istilah atau jargon yang asing dan sulit dipahami. Slogan atau tema yang diusung dalam laporan keberlanjutan harus benar-benar tercermin dalam isi laporan. Isi dan penyajian laporan juga perlu menyesuaikan dengan kemampuan pengguna, termasuk visualisasi data dalam bentuk grafik atau tabel yang memudahkan siapa pun yang membaca laporan dalam memahami dan memanfaatkan isinya.