Mohon tunggu...
Wiwiek Prihandini
Wiwiek Prihandini Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Akuntansi pada Perbanas Institute

Meminati masalah keuangan berkelanjutan, akuntansi lingkungan, dan Indonesia Emas.

Selanjutnya

Tutup

Financial Pilihan

Pengungkapan Risiko ESG dalam Laporan Keberlanjutan Bank di Indonesia (Bagian 1)

8 Juli 2024   19:08 Diperbarui: 8 Juli 2024   21:11 218
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Orasi ilmiah oleh Wiwiek Prihandini di Perbanas Institute, 3 Juli 2024. 

RINGKASAN

Pembahasan mengenai pengungkapan risiko ESG di sebuah lembaga jasa keuangan, belum banyak dilakukan. Persoalan yang terkait dengan ketersediaan data, pengumpulan data, dan pengolahan data; tingkat kesadaran yang belum merata; terbatasnya tenaga ahli; dan beragamnya standar pelaporan, masih menjadi kendala utama. Namun beberapa bank dalam kelompok modal inti besar di Indonesia, sudah memulai hal itu. Konteksnya bukan sekedar memenuhi ketentuan regulasi namun juga untuk memenuhi kepentingan pemangku kepentingan -- terutama investor yang memiliki kesadaran tentang dampak ESG, juga sebagai perwujudan dari komitmen penerapan keuangan berkelanjutan dan peningkatan reputasi. Hal itu dapat dikaji melalui laporan keberlanjutan yang mereka terbitkan setiap tahun, yang sekalipun belum ideal namun dari waktu ke waktu telah menunjukkan adanya perkembangan yang signifikan. 

Beragamnya laporan keberlanjutan perusahaan terbuka dan lembaga jasa keuangan bank perlu mendapatkan perhatian dari regulator agar keterbatasan yang ada tidak menyebabkan terjadinya greenwashing. Seiring dengan perkembangan dan tuntutan yang ada, regulasi mengenai penerapan dan pengungkapan risiko ESG pada perusahaan terbuka dan lembaga jasa keuangan, perlu terus dilengkapi dan diperketat agar sesuai atau mendekati standar internasional. Profesi akuntan memiliki peran penting dan strategis dalam mendukung peran dunia bisnis dalam penciptaan nilai yang bermanfaat bagi kehidupan manusia.

Pendahuluan

Perubahan iklim dalam beberapa tahun belakangan benar-benar telah terjadi dan dirasakan akibatnya oleh banyak orang di berbagai belahan dunia. Ini sudah bukan lagi merupakan fenomena tapi sudah menjadi semacam rutinitas yang terjadi berulang seperti perubahan suhu yang ekstrim, kekeringan, peningkatan muka laut akibat es di kutub mencair, curah hujan ekstrim yang menyebakan bencana seperti banjir dan tanah longsor, dan sebagainya. Perubahan iklim itu terutama terjadi karena adanya emisi gas rumah kaca yang menyelimuti bumi dan memerangkap panas matahari. Penggunaan bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak dan gas, merupakan kontributor utama yang menyumbang 75% emisi gas rumah kaca, dan hampir 90% dari seluruh emisi karbon dioksida (UN Climate Change). Negara-negara G20 berkontribusi sebesar kurang lebih 75% bagi terjadinya emisi gas rumah kaca global (UNEP, 2022).

Keprihatinan mengenai situasi bumi yang makin tidak bersahabat sudah lama disuarakan. Industrialisasi dan bisnis yang mendorong perekonomian global lebih berorientasi profit dan kurang memperhatikan emisi gas rumah kaca, dituntut untuk berubah ke perekonomian rendah karbon yang ramah lingkungan.

Pada tahun 2015, Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) mengadopsi Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang merupakan ajakan dunia untuk mengakhiri kemiskinan, melindungi planet bumi, dan untuk memastikan pada tahun 2030 semua orang dapat menikmati perdamaian dan kesejahteraan. Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan masa kini tanpa mengorbankan hak pemenuhan kebutuhan generasi yang akan datang.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan komitmennya untuk mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan bersama dengan sektor swasta, sektor publik, dan seluruh unsur masyarakat (Bappenas, 2021). Praktek bisnis yang konvensional harus diubah menjadi bisnis berkelanjutan dengan mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG). Saat ini di Indonesia sudah makin banyak perusahaan terbuka, industri jasa keuangan, dan emiten yang menerapkan keuangan keberlanjutan dan melaporan kinerja keberlanjutan mereka kepada pemangku kepentingan. Hal ini tidak sekedar untuk mematuhi regulasi saja namun sudah tampak inisiatif dari korporasi yang menerbitkan laporan keberlanjutan lebih awal dari ketentuan dalam regulasi dan dengan menerapkan standar dan kerangka kerja internasional yang tidak diwajibkan.

Laporan Keberlanjutan dan ESG

Global Reporting Initiative (GRI) mendefinisikan laporan keberlanjutan sebagai praktik organisasi yang melaporkan secara publik dampak ekonomi, lingkungan, dan/atau sosial, dan kontribusinya baik positif maupun negatif terhadap tujuan pembangunan berkelanjutan (GRI, 2016). Selain istilah laporan keberlanjutan, di banyak negara Eropa dan Amerika Serikat serta beberapa negara maju lainnya makin banyak yang menggunakan istilah 'Laporan ESG' yang pada dasarnya memuat tentang bagaimana kepedulian perusahaan, dan risiko yang ditimbulkan dalam aspek ESG yaitu environement, social, governance (ingkungan, sosial, dan tata kelola). Istilah laporan keberlanjutan seringkali juga dipertukarkan dengan laporan ESG, meskipun antara keduanya tidak identik benar.

Otoritas Jasa Keuangan melalui POJK 51 tahun 2017 telah mewajibkan penerbitan Laporan Keberlanjutan oleh lembaga jasa keuangan dan perusahaan terbuka. Kepatuhan pada ketentuan dalam POJK tersebut, pada dasarnya adalah perwujudan dari kontrak sosial dengan masyarakat dan kepatuhan perusahaan pada sistem nilai sosial yang berlaku. Perusahaan berusaha mendapatkan legitimasi dari regulator maupun masyarakat, sebagaimana dijelaskan dalam legitimacy theory (lihat Zharfpeykan, 2023). Di sisi lain, penerbitan laporan keberlanjutan juga merupakan implementasi dari pemenuhan kebutuhan informasi para pemangku kepentingan tentang berbagai hal mengenai sebuah perusahaan. Perusahaan akan berusaha mengakses sumberdaya yang dimiliki oleh para pemangku kepentingan misalnya dengan cara pengungkapan informasi perusahaan. Oleh karena itu para pemangku kepentingan juga dilibatkan dalam penyusunan laporan keberlanjutan. Hal ini sesuai dengan prinsip dalam stakeholders theory (lihat Manetti et.al, 2012, Fusco et.al, 2024). Misalnya, investor sebagai salah satu pemangku kepentingan yang memerlukan informasi mengenai kinerja ESG sebuah perusahaan, sebagai dasar dalam menentukan pilihan investasinya.

International Finance Corporation mendefinisikan ESG sebagai serangkaian faktor lingkungan, sosial, dan tata kelola yang dipertimbangkan oleh perusahaan ketika mengelola operasinya, dan investor ketika melakukan investasi, sehubungan dengan risiko, dampak, dan peluang yang berkaitan dengan pada:

  • Isu lingkungan hidup: perubahan potensial atau aktual terhadap lingkungan fisik atau alam (misalnya polusi, dampak keanekaragaman hayati, emisi karbon, perubahan iklim, penggunaan sumber daya alam);
  • Masalah sosial: perubahan potensial atau aktual pada masyarakat sekitar dan pekerja (misalnya kesehatan dan keselamatan, rantai pasokan, keberagaman dan inklusi); Dan
  • Tata Kelola: struktur dan proses tata kelola perusahaan yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan (misalnya struktur dan keberagaman dewan direksi, perilaku etis, manajemen risiko, pengungkapan, transparansi), termasuk tata kelola kebijakan dan prosedur utama di bidang lingkungan dan sosial (IFC, 2021). 

Paparan ini akan berfokus pada bagaimana aspek ESG dan risiko ESG diungkapkan dalam sebuah laporan keberlanjutan bank di Indonesia. Dalam hal ini, ada dua sisi yang perlu dilaporakan oleh bank. Pertama, melaporkan tentang bagaimana bank mengelola aspek ESG dalam operasionalnya sehari-hari baik di kantor pusat maupun cabang dan divisi. Kedua, laporan mengenai kebijakan dan kegiatan pembiayaan yang mereka berikan kepada debitur dengan mengacu pada prinsip keuangan berkelanjutan dengan penekanan pada aspek ESG. Laporan keberlanjutan dunia usaha di Indonesia mau tidak mau harus mengikuti dan menyesuaikan dengan tatanan internasional, agar dapat dipercaya dan menarik perhatian investor dari dalam dan terutama luar negeri. Investasi luar negeri dan perdagangan internasional masih sangat diperlukan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Mengapa paparan ini berfokus pada bank, karena bank adalah salah satu institusi yang sangat menjaga kepercayaan masyarakat, memiliki prinsip kehati-hatian yang dijunjung tinggi. Bagi bank, keberlanjutan bukan hanya sekedar persoalan etis, bank juga harus mengelola risiko-risiko ESG secara holistik ketika memasukkannya ke dalam kerangka manajemen risiko mereka (KPMG, 2021). Selain itu, mengingat pembiayaan untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan dan biaya mitigasi perubahan iklim sangat besar jumlahnya, maka bank juga dituntut untuk berperan dalam pembiayaan yang mereka berikan. Bank harus lebih selektif dan memperioritaskan penyaluran kredit/pembiayaan kepada sektor hijau. Selama ini, pembiayaan bank untuk energi fosil masih jauh lebih besar ketimbang pembiyaan untuk energi terbarukan.

Dalam Roadmap Keuangan Berkelanjutan Tahap II oleh Otoritas Jasa Keuangan ditegaskan bahwa aspek-aspek ESG diterapkan dalam ekosistem keuangan berkelanjutan. Selain itu, industri jasa keuangan dapat memanfaatkan kemajuan teknologi dalam mempermudah pemberian layanan pembiayaan hijau, peningkatan efisiensi proses bisnis, dan inovasi produk yang ramah lingkungan. Dalam hal pelaporan industri jasa keuangan, pemanfaatan teknologi akan meningkatkan efisiensi dan akurasi informasi, mempermudah proses pengawasan, serta memudahkan investor dalam mengakses informasi tentang risiko lingkungan, sosial, dan tata kelola (ESG) dalam pengambilan keputusan investasi (OJK, 2021).

Saat ini, Indeks penerapan ESG Indonesia berada pada peringkat ke-36 dari 47 pasar modal di dunia 2019 di bawah Malaysia, Singapore, Philippine (Corporate Knights, 2019). Selain itu, 40% perusahaan di Indonesia masih belum sepenuhnya menyadari pentingnya penerapan ESG dalam operasional mereka. Dengan mengadopsi praktik ESG yang lebih baik, perusahaan di Indonesia dapat memperkuat daya saing mereka di pasar global, menarik investasi dari investor yang berorientasi keberlanjutan, serta turut berkontribusi pada pembangunan sosial dan lingkungan yang berkelanjutan.

(Bersambung ke bagian 2)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun