Mohon tunggu...
Himawan Pridityo
Himawan Pridityo Mohon Tunggu... Editor - Alumnus Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta

Mempelajari agama dan sejarahnya lewat kajian modern.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pergeseran Paradigma dalam Agama

2 Januari 2025   08:13 Diperbarui: 2 Januari 2025   08:38 189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Agama dan Transformasi Sosial

Dalam rentang seribu tahun antara era Daud dan Isa, masyarakat mengalami paradoks yang menarik: sementara aspek material kehidupan relatif statis, transformasi spiritual-religius justru berlangsung secara revolusioner. Kehidupan sehari-hari masih dicirikan dengan pola pastoral tradisional - penggunaan hewan tunggangan seperti keledai dan unta, peralatan tembikar sederhana, dan cara berpakaian yang hanya mengalami perubahan minor. Namun, dalam dimensi spiritual, perubahan fundamental tengah berlangsung.

Transformasi religius yang paling signifikan terlihat dalam evolusi konsep ketuhanan. Di masa Daud, masyarakat Yahudi masih mempraktikkan bentuk kepercayaan politeistik atau monolatri - penyembahan kepada satu deity utama tanpa menafikan eksistensi deity lainnya. Konsepsi eskatologis seperti surga dan neraka belum berkembang, dan terminologi "setan" masih digunakan dalam konteks politik-militer, bukan sebagai entitas spiritual antagonistik.

Pada masa Isa, masyarakat Yahudi telah terbagi menjadi tiga aliran utama: Saduki, Farisi, dan Esenes. Kelompok Saduki, yang paling konservatif, berpegang teguh pada interpretasi literal Torah dan menolak konsep kehidupan setelah kematian. Sebaliknya, Farisi dan Esenes telah mengadopsi konsep-konsep dari tradisi Zoroastrianisme, termasuk gagasan tentang surga, neraka, dan kebangkitan. Periode ini menandai pergulatan intensif antara tradisionalisme Yahudi dengan pengaruh pemikiran Persia, yang akhirnya menghasilkan sintesis baru dalam pemahaman keagamaan.

Lima abad yang memisahkan era Isa dan Muhammad membawa perubahan paradigmatik berikutnya. Praktik penebusan dosa melalui persembahan korban dalam tradisi Yahudi mulai digantikan dengan sistem peribadatan yang lebih sistematis. Monoteisme telah menjadi arus utama di sebagian besar wilayah Timur Tengah, meskipun dengan variasi teologis yang beragam. Kantong-kantong politeisme hanya bertahan di beberapa wilayah seperti Harran, Arabia, dan Iraq.

Paradigma dan Pergeseran dalam Agama

Konsep pergeseran paradigma pertama kali diperkenalkan oleh Thomas Kuhn dalam konteks sejarah dan filosofi sains. Menurut Kuhn, perkembangan sains tidak selalu berjalan linear dan akumulatif, melainkan melalui revolusi-revolusi yang mengubah cara pandang fundamental para ilmuwan. Kuhn membedakan antara "sains normal" - periode di mana ilmuwan bekerja dalam kerangka pemahaman yang mapan - dan "revolusi sains" yang terjadi ketika anomali-anomali tidak dapat lagi dijelaskan oleh paradigma yang ada.

Contoh klasik dari pergeseran paradigma dalam sains adalah Revolusi Copernicus, yang mengubah pemahaman tentang alam semesta dari model geosentris Ptolemeus ke model heliosentris. Perubahan ini tidak hanya tentang perhitungan astronomis, tetapi mengubah secara fundamental cara manusia memahami posisinya dalam kosmos.

Gagasan pergeseran paradigma ini dapat diterapkan untuk memahami transformasi besar dalam sejarah agama. Sebagaimana dalam sains, agama juga mengalami periode "normal" di mana praktik dan pemahaman keagamaan berjalan dalam kerangka yang established. Namun, ketika masyarakat menghadapi krisis yang tidak dapat dijawab oleh paradigma keagamaan yang ada, muncul kebutuhan akan cara pandang baru.

Transformasi paradigma keagamaan seringkali dipicu oleh dua faktor utama: krisis sosial-politik yang tidak mampu dijawab oleh institusi keagamaan konvensional, dan asimilasi konsep-konsep dari tradisi eksternal. Hal ini terlihat jelas dalam evolusi Yudaisme kuno, di mana pergulatan antara mazhab Saduki yang konservatif dengan Farisi yang lebih adaptif terhadap pengaruh Zoroastrianisme, khususnya dalam adopsi konsep eskatologis, mencerminkan dinamika pergeseran paradigma.

Muhammad menghadapi situasi serupa di Arabia. Ketidakmampuan sistem kepercayaan tribal Quraisy dalam mengatasi masalah sosial dan moral masyarakat menciptakan kondisi yang Kuhn sebut sebagai "krisis". Respons Muhammad adalah melakukan reformasi radikal - mengintegrasikan elemen-elemen Judeo-Kristiani ke dalam struktur kepercayaan Arab, mentransformasi afiliasi kesukuan menjadi konsep ummah yang lebih universal, dan memperkenalkan monoteisme yang lebih sistematis melalui Islam. Ini merupakan contoh sempurna dari pergeseran paradigma keagamaan, di mana cara pandang lama tentang realitas spiritual dan sosial digantikan oleh framework pemahaman yang baru.

Modernitas, Sekularisme, dan Masa Depan Agama

Era modern membawa tantangan yang unik bagi institusi keagamaan. Jika di masa lalu perubahan material berjalan lambat sementara transformasi spiritual berlangsung revolusioner, kini kita menyaksikan fenomena sebaliknya. Revolusi teknologi dan digital telah mengubah secara radikal cara manusia hidup, bekerja, dan berinteraksi, namun institusi keagamaan seringkali terlihat kesulitan merespons perubahan ini dengan transformasi paradigmatik yang setara.

Pengalaman modernisasi di berbagai belahan dunia menawarkan wawasan berharga. Di Eropa Barat, sekularisasi muncul sebagai konsekuensi dari Pencerahan dan revolusi industri, menghasilkan pemisahan yang relatif jelas antara otoritas agama dan negara. Beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok mengambil jalur berbeda - mereka berhasil mengintegrasikan metodologi ilmiah dan rasionalitas modern sambil mempertahankan elemen-elemen tradisi spiritual mereka dalam bentuk yang telah ditransformasi.

Dunia Muslim menghadapi dinamika yang lebih kompleks. Revolusi teknologi percetakan di Mesir dan India pada abad ke-19 mengawali perubahan fundamental dalam transmisi pengetahuan keagamaan. Sistem sanad yang bersifat personal dan hierarkis mulai tergeser oleh democratization of knowledge melalui teks cetak. Namun, demokratisasi pengetahuan ini tidak serta-merta menghasilkan pembaruan paradigma keagamaan yang substantif.

Fenomena ini menimbulkan pertanyaan krusial tentang hubungan antara modernitas material dan transformasi spiritual. Mengapa di era ketika manusia telah menguasai teknologi yang bahkan tidak terbayangkan dua abad lalu - dari pesawat jet hingga kecerdasan buatan - kita belum menyaksikan pergeseran paradigma keagamaan yang setara dengan yang terjadi di masa Daud ke Isa, atau dari Isa ke Muhammad?

Jawaban bagi pertanyaan ini mungkin terletak pada karakteristik unik dari krisis kontemporer. Di masa lalu, pergeseran paradigma keagamaan seringkali dipicu oleh ketidakmampuan institusi agama dalam mengatasi masalah sosial-politik yang relatif langsung dan terlihat. Saat ini, tantangan yang dihadapi lebih kompleks dan sistemik - dari krisis lingkungan global hingga kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, dari alienasi digital hingga krisis makna di tengah masyarakat konsumtif. Hal serupa juga ditemukan pada saat ini. Perbedaannya hanyalah, sekulerisme dan metodologi ilmiah menjadi pilihan tepat bagi pergesran di era modern, karena menawarkan tools yang powerful untuk memahami dan mengatasi berbagai tantangan kontemporer.

Namun, pengalaman modernitas juga menunjukkan bahwa pendekatan yang sepenuhnya sekular memiliki batasan, terutama dalam memberikan makna dan orientasi moral bagi kehidupan manusia. Tantangan ke depan, karenanya, bukanlah memilih antara tradisi religius atau modernitas sekular, melainkan bagaimana mengembangkan sintesis kreatif antara keduanya. Sejarah pergeseran paradigma keagamaan mengajarkan bahwa transformasi yang berhasil selalu melibatkan dialog produktif antara tradisi yang mapan dengan elemen-elemen eksternal yang adaptif terhadap tuntutan zaman.

Momentum untuk pergeseran paradigma mungkin sudah matang ketika kita menyaksikan institusi keagamaan yang sibuk dengan ritual namun kesulitan menjawab isu-isu mendasar seperti korupsi, ketidakadilan ekonomi, atau krisis ekologi. Sebagaimana sistem politeisme tribal tidak lagi adequate bagi masyarakat Arab abad ke-7, paradigma keagamaan yang terlalu terfokus pada ritual dan dogma mungkin tidak lagi sufficient untuk menghadapi kompleksitas abad ke-21.

Dengan demikian, keberanian intelektual dan spiritual untuk melakukan reformulasi agama secara fundamental sangat diperlukan- bukan untuk meniadakan tradisi, melainkan untuk mereinterpretasinya dalam light of contemporary challenges. Seperti mengintegrasikan wawasan dari sains modern, metodologi kritis, dan etika global ke dalam framework pemahaman keagamaan, sambil tetap mempertahankan insight spiritual yang telah teruji waktu.

Hanya dengan cara inilah agama dapat kembali menjadi kekuatan untuk melakukan transformasi positif sebagaimana yang pernah terjadi di masa Isa dan Muhammad.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun