Pengalaman modernisasi di berbagai belahan dunia menawarkan wawasan berharga. Di Eropa Barat, sekularisasi muncul sebagai konsekuensi dari Pencerahan dan revolusi industri, menghasilkan pemisahan yang relatif jelas antara otoritas agama dan negara. Beberapa negara Asia seperti Jepang, Korea, dan Tiongkok mengambil jalur berbeda - mereka berhasil mengintegrasikan metodologi ilmiah dan rasionalitas modern sambil mempertahankan elemen-elemen tradisi spiritual mereka dalam bentuk yang telah ditransformasi.
Dunia Muslim menghadapi dinamika yang lebih kompleks. Revolusi teknologi percetakan di Mesir dan India pada abad ke-19 mengawali perubahan fundamental dalam transmisi pengetahuan keagamaan. Sistem sanad yang bersifat personal dan hierarkis mulai tergeser oleh democratization of knowledge melalui teks cetak. Namun, demokratisasi pengetahuan ini tidak serta-merta menghasilkan pembaruan paradigma keagamaan yang substantif.
Fenomena ini menimbulkan pertanyaan krusial tentang hubungan antara modernitas material dan transformasi spiritual. Mengapa di era ketika manusia telah menguasai teknologi yang bahkan tidak terbayangkan dua abad lalu - dari pesawat jet hingga kecerdasan buatan - kita belum menyaksikan pergeseran paradigma keagamaan yang setara dengan yang terjadi di masa Daud ke Isa, atau dari Isa ke Muhammad?
Jawaban bagi pertanyaan ini mungkin terletak pada karakteristik unik dari krisis kontemporer. Di masa lalu, pergeseran paradigma keagamaan seringkali dipicu oleh ketidakmampuan institusi agama dalam mengatasi masalah sosial-politik yang relatif langsung dan terlihat. Saat ini, tantangan yang dihadapi lebih kompleks dan sistemik - dari krisis lingkungan global hingga kesenjangan ekonomi yang semakin melebar, dari alienasi digital hingga krisis makna di tengah masyarakat konsumtif. Hal serupa juga ditemukan pada saat ini. Perbedaannya hanyalah, sekulerisme dan metodologi ilmiah menjadi pilihan tepat bagi pergesran di era modern, karena menawarkan tools yang powerful untuk memahami dan mengatasi berbagai tantangan kontemporer.
Namun, pengalaman modernitas juga menunjukkan bahwa pendekatan yang sepenuhnya sekular memiliki batasan, terutama dalam memberikan makna dan orientasi moral bagi kehidupan manusia. Tantangan ke depan, karenanya, bukanlah memilih antara tradisi religius atau modernitas sekular, melainkan bagaimana mengembangkan sintesis kreatif antara keduanya. Sejarah pergeseran paradigma keagamaan mengajarkan bahwa transformasi yang berhasil selalu melibatkan dialog produktif antara tradisi yang mapan dengan elemen-elemen eksternal yang adaptif terhadap tuntutan zaman.
Momentum untuk pergeseran paradigma mungkin sudah matang ketika kita menyaksikan institusi keagamaan yang sibuk dengan ritual namun kesulitan menjawab isu-isu mendasar seperti korupsi, ketidakadilan ekonomi, atau krisis ekologi. Sebagaimana sistem politeisme tribal tidak lagi adequate bagi masyarakat Arab abad ke-7, paradigma keagamaan yang terlalu terfokus pada ritual dan dogma mungkin tidak lagi sufficient untuk menghadapi kompleksitas abad ke-21.
Dengan demikian, keberanian intelektual dan spiritual untuk melakukan reformulasi agama secara fundamental sangat diperlukan- bukan untuk meniadakan tradisi, melainkan untuk mereinterpretasinya dalam light of contemporary challenges. Seperti mengintegrasikan wawasan dari sains modern, metodologi kritis, dan etika global ke dalam framework pemahaman keagamaan, sambil tetap mempertahankan insight spiritual yang telah teruji waktu.
Hanya dengan cara inilah agama dapat kembali menjadi kekuatan untuk melakukan transformasi positif sebagaimana yang pernah terjadi di masa Isa dan Muhammad.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H