Mohon tunggu...
Pricilya Maharani Putri Ayub
Pricilya Maharani Putri Ayub Mohon Tunggu... Mahasiswa - Akuntansi

Nama : Pricilya Maharani Putri Ayub - NIM : 43220010059 - Mata Kuliah : Teori Akuntansi - Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak, CIFM, CIABV, CIBG - UNIVERSITAS MERCU BUANA

Selanjutnya

Tutup

Money

TB2_Teori Akuntansi Pendekatan Semiotika

23 Mei 2022   18:51 Diperbarui: 25 Mei 2022   08:17 2227
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Gambar Pohon Beringin -- Contoh Mitos dari Roland Bathers-Sumber: behance.net)

       TUGAS BESAR 2 MATA KULIAH TEORI AKUNTANSI

"TEORI AKUNTANSI PENDEKATAN SEMIOTIKA--ROLAND BHATERS"

                                        Disusun oleh

Nama                          : Pricilya Maharani Putri Ayub

NIM                            : 43220010059

Dosen Pengampu : Apollo, Prof. Dr, M.Si.Ak, CIFM, CIABV, CIBG

A. Pengertian Semiotika

Kata semiotika berasal dari bahasa Yunani, yaitu "semeion" yang berarti tanda atau sign. Menurut Gordon (2002:14), semiotika adalah bidang ilmu yang mempelajari tanda-tanda, sistem tanda, dan bagaimana tanda-tanda dapat mewakili hal-hal selain tanda itu sendiri. 

Kita sering menemukan contoh dari berbagai tanda tersebut dalam kehidupan sehari-hari, misalnya rambu lalu lintas, grafik, ekspresi wajah, teks, angka atau gejala alami. 

Sedangkan menurut Preminger (dalam Sobur, 2009), ilmu mempelajari tanda-tanda yang disebut semiotika. Semiotika ini mempelajari tentang sistem, aturan, dan aturan yang membuat tanda menjadi bermakna, misalnya fenomena sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat dapat dievaluasi sebagai tanda-tanda. Semiotika dapat diartikan juga sebagai sebuah studi yang menggambarkan tentang makna dalam keputusan. Dimana, studi ini membahas mengenai tanda dan proses tanda (semiosis), indikasi, analogi, simbolisme, makna serta komunikasi.

Adapun definisi semiotika yang dijelaskan oleh Ferdinand de Saussure dalam Course in General Linguistics, bahwa semiotika adalah ilmu yang mempelajari peran tanda sebagai bagian dari kehidupan sosial sehingga tanda juga merupakan bagian dari aturan-aturan sosial yang berlaku. Dalam hal ini, Saussure berbicara mengenai kesepakatan dalam sosial, seperti pemilihan, pengkombinasian dan penggunaan tanda-tanda dengan cara tertentu, sehingga tanda tersebut mempunyai makna dan nilai sosial (dalam Sobur, 2006: vii).

Semiotika signifikasi merupakan semiotika yang mempelajari hubungan unsur-unsur tanda di dalam sebuah sistem berdasarkan aturan dan konvensi tertentu. Saussure mengembangkan semiotika signifikasi sebagai kesatuan yang tak dapat dipisahkan dari dua bidang, yakni bidang penanda (signifier) untuk menjelaskan bentuk atau ekspresi, dan bidang petanda (signified) untuk menjelaskan konsep atau makna. Hubungan antara penanda (signifier) dan petanda (signified) dibagi menjadi tiga, yaitu :

  1. Ikon, merupakan tanda yang memunculkan kembali benda atau realitas yang ditandainya, misalnya foto atau peta.
  2. Indeks, merupakan tanda yang kehadirannya menunjukkan adanya hubungan dengan yang ditandai, misalnya asap adalah indeks dari api.
  3. Simbol, merupakan sebuah tanda dari hubungan antara penanda dan petanda, misalnya masalah konvensi, kesepakatan dan peraturan.

Untuk mengkaji terapan semiotika lebih lanjut, kita bisa mengkajinya lewat sejumlah bidang terapan semiotika. Dalam artian, semiotika dapat digunakan untuk banyak bidang terapan dengan prinsip yang tidak terbatas terkait fungsinya masing-masing, mulai dari pemberitaan media massa, komunikasi periklanan, film, komik-kartun, sastra, musik, budaya, hingga tanda-tanda nonverbal.

Suatu disiplin ilmu hanya bisa diakui secara resmi sebagai suatu disiplin ilmu, jika ilmu tersebut dapat diakui dan dihargai oleh suatu perkumpulan ilmiah, diterbitkan dalam majalah ilmiah serta dapat dilakukan penelitian dari ilmu tersebut oleh suatu institusi akademis (misalnya universitas). Dalam hal ini, semiotika sebagai ilmu tanda sejak tahun 1969 secara resmi memiliki suatu perkumpulan ilmiah yaitu Asosiasi Internasional untuk Studi Semiotika (IAAS) yang mengakui semiotika sebagai suatu disiplin ilmu dan sebuah majalah. Kemudian, pada tahun 1988 didirikan Institut Semiotika Internasional Semiotika, Institut Teknologi Semiotika Internasional, dan Universitas Teknologi Kaunas yang berbasis di Lithuania, dengan tujuan untuk mempelajari dan mengembangkan lebih lanjut semiotika di berbagai bidang.

Menurut Pateda (dalam Sobur, 2004), sampai saat ini sekurang-kurangnya terdapat sembilan macam semiotik yang dikenal sekarang, antara lain semiotik analitik, diskriptif, faunal (zoosemiotic), kultural, naratif, natural, normatif, sosial, struktural.

  1. Semiotik analitik, yaitu semiotik yang menganalisis sistem tanda dengan berobjekan tanda menjadi sebuah ide dan makna. Ide dapat dikaitkan sebagai lambang, sedangkan makna yang dimaksud adalah beban dalam lambang yang mengacu kepada objek tertentu.
  2. Semiotika deskriptif, yaitu semiotika yang memperhatikan sistem tanda yang dialami sekarang dan tanda tersebut masih tetap disaksikan sekarang walaupun sudah ada sejak dulu. Misalnya, langit yang mendung menandakan bahwa hujan tidak lama lagi akan turun, dari dahulu hingga sekarang tanda tersebut tetap saja seperti itu.
  3. Semiotika faunal (zoosemiotic), yaitu semiotika yang khusus memperhatikan sistem tanda yang dihasilkan oleh hewan. Biasanya hewan menghasilkan 17 tanda untuk berkomunikasi antara sesamanya, namun hewan juga sering menghasilkan tanda yang dapat ditafsirkan oleh manusia.
  4. Semiotika kultural, yaitu semiotika yang khusus mempelajari sistem tanda yang berlaku dalam kebudayaan masyarakat tertentu.
  5. Semiotioka naratif, yaitu semiotika yang mempelajari sistem tanda dalam pemaparan yang berwujud mitos dan cerita lisan (folklore).
  6. Semiotika natural,  yaitu semiotika yang khusus mempelajari sistem tanda yang dihasilkan oleh alam, misalnya air sungai keruh menandakan di hulu telah turun hujan, daun pepohonan yang menguning lalu gugur.
  7. Semiotika normatif, yaitu semiotika yang khusus mempelajari sistem tanda yang dibuat oleh manusia dalam bentuk norma-norma, misalnya rambu-rambu lalu lintas.
  8. Semiotika sosial, yaitu semiotika yang khusus mempelajari sistem tanda yang dihasilkan oleh manusia dalam wujud lambang, baik lambang berwujud kata maupun dalam satuan yang disebut kalimat.
  9. Semiotika struktural, yaitu semiotika yang mempelajari sistem tanda yang diwujudkan melalui struktur bahasa.

B. Pendekatan Semiotika Roland Barthes

Pendekatan semiotika yang dikemukakan oleh Roland Barthes berpijak dari pendapat Ferdinand de Saussure tentang langue, yang merupakan sistem tanda dengan mengungkapkan gagasan, ada pula sistem tanda alphabet bagi tuna wicara, simbol-simbol dalam upacara ritual serta tanda dalam bidang militer. Namun pada tahun 1956 setelah Roland Barthes membaca karya Saussure yang berjudul "Cours de linguistique gnrale", Barthes melihat adanya kemungkinan menerapkan semiotik ke bidang-bidang lain, sehingga Barthes mempunyai pandangan yang bertolak belakang dengan Saussure mengenai kedudukan linguistik sebagai bagian dari semiotik. Menurut Barthes, semiotik merupakan bagian dari linguistik karena tanda-tanda dalam bidang lain tersebut dapat dipandang sebagai bahasa, yang mengungkapkan gagasan (artinya, bermakna).

Sebagian besar hasil pemikiran Barthes tentang semiotika dipengaruhi oleh Saussure. Jika Saussure mengintroduksi istilah signifier dan signified berkaitan dengan lambang-lambang atau teks dalam suatu paket pesan, maka Barthes menggunakan istilah denotasi dan konotasi untuk menunjuk tingkatan-tingkatan dari sebuah makna. Sistem denotasi adalah sistem pertanda tingkat pertama (first order) yang memiliki makna bersifat objektif terhadap lambang-lambang, yakni dengan mengaitkan secara langsung antara lambang dan realitas atau gejala yang ditunjuk. Sedangkan sistem konotasi merupakan sistem penanda tingkat kedua (second order) dari petanda pada sistem denotasi, dengan memiliki makna yang dapat diberikan pada lambang-lambang dengan mengacu pada nilai-nilai budaya.

Kemudian, Roland Barthes meneruskan pemikirannya dengan menekankan korelasi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya serta interaksi antara teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Pandangan Barthes ini dikenal dengan sebutan "two order of signification", mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman budaya dan personal).

Selain itu, Barthes juga telah banyak menulis buku, yang beberapa diantaranya telah menjadi bahan referensi penting untuk studi semiotika di Indonesia. Salah satu karya pokok Barthes yaitu : Le degree zero de l'ecriture atau " Nol Derajat di Bidang Menulis ". Sedangkan untuk karya-karya semiotika lainnya yang mengikuti tradisi Saussure pada umumnya menggunakan metode dan prinsip yang sama, yaitu dikembangkan di dalam linguistik untuk bidang-bidang kebudayaan lainnya, terutama bidang kesusasteraah, antropologi, film, karya seni, arsitektur, musik, mode dan iklan, sehingga yang dimaksudkan dengan semiotik dalam hal ini adalah : yang pertama, suatu cara penyampaian melalui objek-objek lain dengan anggapan sebagai tanda, dan yang kedua yaitu bekerja dengan penyampaian secara fakta dari semua ilmu pengetahuan budaya.

C. Mitos menurut Roland Barthes

(Gambar - Bagan Signifikasi dan Mitos Roland Barthes/dokpri)
(Gambar - Bagan Signifikasi dan Mitos Roland Barthes/dokpri)

Mitos dalam pemahaman Roland Barthes adalah pengkodean makna dan nilai-nilai sosial sebagai sesuatu yang dianggap alamiah. Mitos menjelaskan bagaimana suatu kebudayaan atau individu tertentu bisa memahami beberapa aspek tentang realitas atau gejala alam yang ada di lingkungan sekitarnya. Di dalam mitos, terdapat pola tiga dimensi yang merupakan bagian dari suatu sistem pemaknaan. Pola tiga dimensi tersebut yakni : penanda, petanda, dan tanda sebagai sistem yang unik.

Sedangkan pandangan Barthes dengan konsep mitos pada umumnya adalah bahasa yang menjadi sebuah sistem komunikasi dalam penyampaian pesan. Berdasarkan uraiannya, Barthes mengemukakan bahwa mitos dalam pengertian umum ini merupakan perkembangan dari konotasi pemaknaan tingkat pertama. Dalam kerangka Barthes sendiri, konotasi berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. Barthes melihat bahwa aspek dari makna mitos ini telah menjadi ciri masyarakat.

(Gambar Pohon Beringin -- Contoh Mitos dari Roland Bathers-Sumber: behance.net)
(Gambar Pohon Beringin -- Contoh Mitos dari Roland Bathers-Sumber: behance.net)

Misalnya, pohon beringin yang rindang dan lebat menimbulkan konotasi keramat karena dianggap sebagai hunian para makhluk halus. Konotasi keramat ini kemudian berkembang menjadi asumsi umum yang melekat pada simbol pohon beringin, sehingga pohon beringin yang keramat bukan lagi menjadi sebuah konotasi tetapi berubah menjadi denotasi pada pemaknaan tingkat kedua. Dalam hal ini, pohon beringin yang keramat akhirnya dianggap sebagai sebuah mitos.

Pengertian mitos disini juga bukan hanya mengarah pada pengertian yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari seperti halnya cerita-cerita tradisonal, melainkan pada sebuah cara pemaknaan dalam bahasa Barthes yaitu tipe wicara, yang mempelajari perilaku komunikasi normal atau abnormal yang dipergunakan untuk memberikan terapi pada penderita gangguan perilaku komunikasi, seperti kelainan kemampuan bahasa, bicara, suara, irama atau kelancaran, sehingga penderita mampu berinteraksi dengan lingkungan secara baik dan wajar.

D. Teori Akuntansi Semiotika

Dalam setiap periode akuntansi, suatu perusahaan akan memberitahukan atau melaporkan kinerja keuangannya dengan membuat pelaporan keuangan sebagai sarana pertanggungjawaban atas apa yang telah dilakukan administrator dengan sumber daya pemilik serta sebagai alat pengambilan keputusan bagi pengguna laporan keuangan.

Pelaporan keuangan perusahaan pada awalnya berfokus pada penyajian laporan keuangan. SFAC No. 1 menyatakan bahwa tujuan pelaporan keuangan tidak terbatas pada isi dari pelaporan keuangannya saja, tetapi juga pada media pelaporan lainnya. Oleh karena itu, pelaporan keuangan dalam perkembangannya diwujudkan dalam bentuk Laporan Tahunan untuk memperhitungkan dan menyajikan kebutuhan informasi kualitatif, yang berisi gambaran mengenai kondisi operasional perusahaan, laporan kinerja keuangan perusahaan dan prospek ke depannya.

Komponen citra laporan tahunan merupakan bagian yang memegang peranan penting bagi perusahaan dalam mengkomunikasikan dan memperhatikan berbagai manfaat yang ada. Hal ini sesuai dengan fungsi laporan tahunan, yaitu sebagai perangkat retoris yang digunakan untuk membentuk citra perusahaan dan menyampaikan maksud dari perusahaan tersebut melalui laporan tahunan yang telah dibuat.

Teori akuntansi semiotika merupakan teori yang menjelaskan sebuah tanda dan simbol dalam bidang linguistik. Dalam hal ini, semiotika dan linguistik memiliki keterkaitan yang sangat erat dikarenakan semiotika mempelajari dan membahas tentang sebagian besar struktur dan bidang kajian ilmu bahasa seperti fonetik, gramatika, morfologi dan makna kata ungkapan. Selain itu, terdapat juga tiga tanda non linguistic yang dipelajari oleh semiotika, yaitu :

  1. Semantika    merupakan hubungan antara tanda dan hal yang dilihat,
  2. Sintaktika     merupakan hubungan antara tanda dalam struktur formal,
  3. Pragmatika merupakan hubungan antar tanda dan tanda menggunakan agen.

Dengan demikian, pemahaman teori akuntansi dapat diperoleh dengan mengidentifikasi teori akuntansi atas dasar tataran semiotika. Tataran semiotika menunjukkan bahwa penyusun akuntansi berteori pada tiga tataran yang telah disebutkan sebelumnya, yakni semantik, sintaktik dan pragmatik. Berikut penjelasan mengenai tiga tataran tersebut yang digunakan untuk menghasilkan suatu struktur pelaporan keuangan :

1.  Teori Semantik

Teori semantik merupakan sebuah kegiatan menerjemahkan teori semiotika kedalam simbol-simbol, dimana simbol-simbol ini dapat digunakan untuk membantu menyajikan sebuah informasi bagi pembaca laporan keuangan. Akun aset merupakan salah satu bagian simbol penerjemahan dari teori semantik yang dapat digunakan untuk menjelaskan tentang sebuah transaksi akuntansi.

2.  Teori sintaktik

Teori sintaktik merupakan sebuah kegiatan mentransfer simbol yang sudah ditentukan oleh perusahaan ke dalam teori semiotika untuk menghasilkan sebuah laporan keuangan atau laporan akuntansi. Laporan akuntansi ini dapat membantu seorang akuntan dalam bereaksi pada hasil laporannya. Selain itu, simbol-simbol ini juga dapat menghasilkan sebuah laporan seperti laporan laba rugi dan lainnya.

3.  Teori Pragmatik

Teori pragmatik ini berkaitan dengan para pengguna atau para pembaca laporan akuntansi dalam bereaksi. Teori pragmatik terbagi menjadi dua bagian, yaitu :

  1. Teori pragmatik psikologi

Teori pragmatik psikologi ini mengamati respon dari pembaca laporan keuangan. Laporan akuntansi yang sudah dibaca dapat disimpulkan oleh para pembaca dan dapat diartikan sebagai informasi yang valid atau dapat dipercaya ketika para pembaca mereaksi hasil laporan akuntansinya, sehingga dapat diketahui bagaimana para pembaca laporan menghasilkan sebuah keputusan, apakah mereka akan melakukan invetasi atau lainnya.

       2. Teori pragmatik deskripsi

Teori prakmatik deskripsi akan mengamati secara terus menerus para pelaku akuntasi untuk meniru prosedur dan prinsip akuntansinya. Teori ini dapat bermanfaat dalam mengembangkan teori akuntansi.

Penerapan teori akuntansi semiotika menekankan pada pengaruh informasi terhadap sebuah perilaku pemakai laporan keuangan, menegaskan pengaruhnya laporan keuangan dan ikhtisar akuntansi terhadap perilaku serta pengambilan keputusan.

Menurut Meitasari dan Istikhoroh (2021), tanda atau simbol bahasa dari semiotika dapat menciptakan sebuah ungkapan bahasa yang sebagaimana dijadikan sebagai media komunikasi untuk akuntansi. Dalam penelitian Meitasari dan Istikhoroh (2021), menjelaskan bahwa analisa laporan keuangan mempunyai tujuan untuk memperhitungkan kewajiban laporan keuangan yang akan disajikan pada suatu entitas. Kegunaan laporan keuangan tersebut, antara lain :

  1. Memberikan informasi yang mendalam tentang laporan keuangan,
  2. Dapat mengungkapkan hal-hal yang sifatnya tidak konsisten dalam hubungan dengan laporan keuangan,
  3. Para pengambil keputusan dapat dengan mudah mengambil keputusan karena terbantu dengan hasil laporan keuangan tersebut,
  4. Hasil dari laporan keuangan tersebut dapat dijadikan sebuah pembanding dengan kompetitor atau perusahaan lain,
  5. Dapat dengan mudah membaca situasi dan kondisi perusahaan saat ini,
  6. Dapat memprediksi kondisi perusahaan dimasa yang akan datang.

Menurut Rahmawati dalam bukunya yang berjudul "Tinjauan Menyeluruh Teori Akuntansi", menjelaskan bahwa terdapat tiga bagian dalam tataran semiotika akuntansi tetap, yaitu semantik, sintatik dan pragmantik. Semantik merupakan kesimpulan dari kegiatan atau sebuah realitas fisik yang menjadi sebuah simbol sistematik keuangan. Sintatik membahas pengukuran keuangan, pengakuan dan penyajian sebuah elemen dalam statement keuangan serta struktur akuntansi, dan yang terakhir pragmantik membahas apakah sebuah informasi keuangan efektif dapat bermanfaat bagi pemakai laporan keuangan dalam perekayasaaan akuntasi dan apakah informasi tersebut dapat mempengaruhi perilaku pemakainya atau tidak.

Dari sekian banyak simbol, salah satu simbol akuntansi yang dapat dikomunikasikan melalui laporan keuangan untuk merepresentasikan realitas tertentu sebagai bentuk pertanggungjawaban dan penyajian informasi secara transparan adalah simbol "laba". Mattessich (2003, 452) menyatakan bahwa semua simbol akuntansi yang meliputi kata dan angka selalu memiliki hubuungan dengan realitas referensialnya, namun realitas referensial dari simbol-simbol akuntansi tersebut bisa berada pada tingkatan yang berbeda-beda.

 Khusus untuk simbol laba (income) misalnya, realitas referensial atas simbol laba tersebut tidak berada pada tingkatan realitas fisik, tetapi berada pada tingkatan realitas sosial (social reality), dalam artian realitas tersebut menjadi ada karena kesepakatan yang terjadi dalam kelompok akuntansi. Hubungan antara simbol laba dengan realitas referensialnya ini menggambarkan adanya peluang akan timbulnya perbedaan interpretasi laba akuntansi dalam sebuah ruang komunikasi, yang mana jika perbedaan interpretasi laba akuntansi ini terjadi maka tentu akan mempengaruhi efektivitas komunikasi informasi laba itu sendiri yang mempengaruhi pengkomunikasian laba akuntansi sehingga respon terhadap informasi tersebut akan diragukan.

Penafsiran laba sebagai identitas perubahan realitas ekonomik perusahaan menunjukkaan bahwa dalam persepsi akuntan, laba bukanlah hasil usaha bersih yang jika sudah didapatkan langsung dinikmati atau dikonsumsi. Sari Kusuma (akuntan publik) mempertegas hal ini dengan menyatakan bahwa laba akuntansi akan menjadi riil jika setelah akun laba ditutup ke akun modal atau laba tidak dibagi.

Menurut pemahaman akuntan, pendapatan dan beban diukur berdasarkan pendekatan neraca (balance sheet approach) bukan pendekatan laba-rugi (income statement approach). Oleh karena itu, akuntan mengatakan bahwa penafsiran atas laba akuntansi harus dilakukan dalam wilayah akuntansi saja, karena akuntansi memiliki kesepakatan atau aturan tertentu yang berbeda dengan wilayah lainnya.

Dalam semiotika struktural, fakta-fakta empiris menunjukkan secara jelas bahwa dalam praktiknya, penafsiran atas laba akuntansi belum berujung pada realitas yang sama. Fakta empiris juga membawa pesan yang konsisten dengan pernyataan Azra (2005: 151) semiotika struktural atas laba akuntansi sebagai teks setidaknya mengungkapkan beberapa hal berikut :

  1. Kesamaan penafsiran pada tataran sintaktik, yaitu laba akuntansi merupakan selisih dari penghasilan dan beban.
  2. Pluralitas penafsiran pada tataran semantik, yaitu laba akuntansi merupakan representasi dari aliran kas masuk neto secara fisik pada periode pelaporan dan identitas dari perubahan realitas ekonomik pada periode pelaporan tanpa dikaitkan dengan ada atau tidak adanya aliran kas masuk neto pada periode tersebut.
  3. Ambivalensi penafsiran pada tataran pragmatic. Pernyataan-pernyataan para informan memberikan gambaran bahwa laba akuntansi dipandang :
  4. bermanfaat sebagai alat bantu untuk memahami perubahan realitas ekonomi perusahaan,
  5. bermanfaat sebagai dasar pengambilan berbagai keputusan keuangan.

Konsep laporan keuangan pada semiotika memahami dua sistem tanda yaitu signifier dan signified sebagai hubungan yang bersifat asosiasi antara suatu bentuk penanda (signifier) dan sebuah ide atau petanda (signified). Penanda (signifier) adalah aspek material dari bahasa yaitu apa yang dikatakan atau didengar dan apa yang di tulis atau di baca. Sedangkan petanda (signified) adalah gambaran mengenai mental, pikiran, atau konsep dari bahasa. Dalam hal ini, laporan keuangan dapat diinterpretasikan dengan semiotika pada teori komunikasi untuk membentuk mekanisme komunikasi dari laporan keuangan tersebut.

Simbol yang ada pada laporan keuangan ditujukan untuk menemukan makna yang terkandung dalam tanda dan menafsirkan makna tersebut sebagai bentuk pertanggungjawaban atas kinerja keuangan selama satu periode tertentu serta ditujukan kepada para pemakai laporan keuangan sebagai bentuk informasi. Simbol-simbol tersebut misalnya, aset, kewajiban, modal, pendapatan, dan laba. Dengan demikian, simbol dihadirkan sebagai wujud yang penting dan pengakuan dari para pemangku kepentingan. Adapun simbol lain yang berupa sifat kinerja keuangan perusahaan, yang diukur dengan indikator seperti rasio kas, rasio aktivitas, rasio leverage, rasio profitabilitas, dan lain-lain.

E. Inti Pemikiran Roland Bathers

Inti pemikiran dari Roland Bathers tertuang didalam beberapa bukunya, yakni :

1.   Mythologies

Buku Roland Barthes yang berjudul Mythologies terdiri atas dua sub bab, yakni : Mythologies dan Myth Today.

Pada bagian pertama buku Mythologies, Barthes mengungkapkan topik-topik kontemporer semacam dunia gulat, romantisme dalam film, anggur dan susu, irisan steak, wajah Garbo, otak Einstein, manusia Jet, masakan ornamental, novel dan anak-anak, mainan (toys), mobil Citron, plastik, fotografi, tarian striptease, dan topik-topik pop lainnya. Sebagaimana dinyatakan dalam pengantarnya pada cetakan pertama (1957), Barthes menyatakan bahwa tulisan-tulisannya dalam buku ini merupakan sejumlah esai tentang topik-topik masa itu yang ia tulis setiap bulan untuk sejumlah media massa. Topik-topik yang menarik perhatiannya ini tidak lain merupakan refleksi atas mitos-mitos baru dari masyarakat Prancis kontemporer. Lewat berbagai analisisnya tentang peristiwa-peristiwa yang ditemuinya dalam artikel surat kabar, fotografi dalam majalah mingguan, film, pertunjukan, ataupun pameran, Barthes mengungkapkan sejumlah mitos-mitos modern yang tersembunyi di balik semua hal itu. Mitos inilah yang Barthes sebut sebagai second order semiotic system, yang harus diungkap signifikansinya. Jabarannya mengenai konsep mitos-mitos masa kini sebagai kajian sistem tanda dibicarakan pada sub bab kedua yang berjudul Myth Today.

2.  The Fashion System

Dalam buku The Fashion System, Barthes membicarakan banyak hal mengenai dunia mode. Sebagaimana bukunya yang terdahulu, dalam buku ini Barthes membicarakan operasi struktur penanda (signifier) mode, struktur petanda (signified)-nya, dan struktur sign atau signifikansinya. Pada dasarnya, kajian mode atau fashion Barthes tidak terlepas dari bidang semiotika yang selama ini dikembangkannya. Misalnya pada perkembangan berikutnya, model pakaian seseorang harus disesuaikan juga dengan fungsinya sebagai tanda, yang membedakan antara pakaian untuk kantoran, olahraga, liburan, berburu, upacara-upacara tertentu, bahkan untuk musim-musim tertentu. Manusia pengguna pakaian yang mengikuti trend akan mengejar apa yang tengah menjadi simbol status kelas menengah atas, dan yang tidak mengikuti arus dunia mode akan dikatakan manusia yang tidak fashionable alias ketinggalan mode.

Dengan demikian, busana tidak lagi menjadi sekedar pakaian tetapi juga telah menjadi mode, menjadi peragaan busana serta menjadi simbol status kehidupan. Hal ini tidak hanya terjadi di dunia barat saja, tetapi juga tengah melanda di Indonesia. Barthes tidak salah mengembangkan aspek ini, yakni mode sebagai salah satu kajiannya. Begitulah, salah satu topik pembicaraan Barthes tentang aspek kebudayaan massa yakni tentang dunia mode. Dunia yang kini penuh dengan kemewahan para model yang memperagakannya di sejumlah catwalk pusat-pusat peragaan busana di berbagai kota metropolis, sehingga status seseorang dalam masyarakat seringkali dicitrakan melalui merk dan rancangan siapa pakaian yang dikenakannya.


DAFTAR PUSTAKA

  • Aerts, W. and Cormier, D. (2008), "Media legitimacy and corporate environmental communication", Accounting, Organizations and Society, Vol. 34 No. 1, pp. 1-27.
  • Ambar. (2017). Teori Semiotika Roland Barthes. (https://pakarkomunikasi.com/teori-semiotika-roland-barthes).
  • Lustyantie Ninuk. (2012). Pendekatan Semiotik Model Roland Barthes Dalam Karya Sastra Prancis. Artikel Seminar Nasional FIB UI.
  • Riduwan Akhmad. (2010). Semiotika Laba Akuntansi. Jurnal Akuntansi dan Keuangan Indonesia, Volume 7 No. 01, 38-60.
  • Trabaut Jurgen. (1996), Dasar-dasar Semiotik (Elemente der Semiotik), ISBN : 979-459-646-9. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan,.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun