Tapi sebaliknya, jika goyangan yang serupa menyebabkan sebuah PLTN padam… bisa bangkrut PLTN itu karena kerjanya hanya menyalakan PLTN yang berkali-kali trip. Apalagi reaktor nuklir itu tidak dapat langsung dinyalakan kembali setelah trip, namun musti menunggu konsentrasi bahan hasil belahnya –yang merupakan bahan penyerap netron- turun terlebih dahulu. Dengan logika angkot yang sama pasti si Mandra teriak “kalau mampus mulu, terus kapan kite nariknyeee Mak....”
Oleh karena itu, pertanyaan saya diatas menjadi relevan “ini yang mau dibangun reaktor daya atau reaktor eksperimental??” Relevan karena keduanya memiliki filosofi desain, prioritas tujuan dan sistem proteksi keselamatan yang berbeda. Jika dipaksakan, hasilnya menjadi tidak akan maksimal. Daya yang dihasilkan menjadi tidak maksimal, atau riset yang bisa dilakukan disitu menjadi terbatas.
Sebagai analogi saja guna mempermudahkan penalaran. Di dunia ini kita mengenal 2 jenis pesawat, yaitu pesawat komersial dan pesawat tempur. Pesawat komersial untuk mengangkut penumpang jumlah banyak (sisi komersial), pada dasarnya long-range tapi tidak lincah untuk main akrobat. Sementara pesawat tempur didisain untuk lincah (fleksibel) dan memungkinkan gerakan akrobatik. Dengan mempergunakan analogi itu, maka pertanyaan yang serupa adalah ini mau buat Pesawat Komersial atau Pesawat Tempur?? Buat saya, jawaban BATAN dengan RDE ini seperti mau buat “Pesawat Tempur Komersial”. Gak jelas….
Kepeningan saya akibat kerancuan berpikir BATAN ini makin tampak ketika saya membaca Kompas, Sabtu 27 Juli 2015. Disitu BATAN menyebut RDE sebagai “bukan reaktor daya karena tidak menghasilkan listrik” dan “bukan juga reaktor eksperimental”. Jadi maksudnya RDE itu apa? Dengan mempergunakan analogi pesawat diatas, buat saya itu seperti “PESAWAT UFO”
NB :
Diluar itu ada reaktor untuk tujuan khusus, seperti produksi isotop. Tapi saya ingin membatasi diskusi ini pada reaktor daya versus reaktor eksperimental, agar fokus sesuai konteks dan tidak melebar kemana-mana.