Mohon tunggu...
Priandita Koswara
Priandita Koswara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Hukum Kesehatan

BKBH GMNI YOGYAKARTA

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Bioetika terhadap Aborsi Pada Korban Perkosaan

21 Oktober 2023   03:00 Diperbarui: 21 Oktober 2023   03:00 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Memahami bioetika adalah kebutuhan bagi para peneliti yang bekerja di bidang ilmu kehidupan. Etika seorang peneliti sangat mempengaruhi penelitiannya, lingkungan dan bahkan dirinya sendiri. Setiap lingkungan memiliki etika tersendiri yang harus dipatuhi oleh para peneliti. Salah satu penerapan etika adalah di bidang kesehatan, yaitu aborsi.

Aborsi adalah sesuatu yang sering diperdebatkan di kalangan masyarakat dan akademisi, termasuk akademisi hukum. Ada berbagai kubu di masyarakat dalam menanggapi isu aborsi. Pro-Lifers tidak setuju dengan aborsi dengan menggunakan pendekatan moral dan agama sebagai dasar argumen. Mereka menganggap bayi yang belum lahir sebagai subyek moral dan memiliki hak untuk hidup dan harus dilindungi. Satu-satunya alasan aborsi diperbolehkan menurut pengertian ini adalah aborsi dengan indikasi medis (abortus provocatus medicalis/therapeutics), yaitu demi menyelamatkan nyawa ibu.

Sementara itu, Pro-Choice adalah mereka yang menyetujui aborsi berdasarkan hak reproduksi perempuan yang mengalami kehamilan yang tidak diinginkan (KTD). Wanita memiliki kendali atas tubuh mereka untuk melanjutkan atau mengakhiri kehamilan dengan alasan apa pun. Pemahaman ini menekankan perhatiannya pada masa depan anak-anak yang tidak diinginkan jika mereka masih lahir, yang sering mengarah pada kekerasan anak.

Untuk menengahi antara kedua kubu ini, ideologi ketiga lahir dari kalangan moderat. Menurut perspektif moderat, aborsi dapat dilakukan dalam kondisi tertentu, yaitu aborsi pada korban perkosaan/incest, jika kehamilan mengancam nyawa ibu, dan jika dokter menyimpulkan bahwa kehamilan dapat mengancam kesehatan ibu atau menyebabkan penyakit serius pada ibu.

Merujuk pada rumusan Pasal 285 KUHP, maka yang dimaksud dengan perkosaan adalah tindakan atau perbuatan laki-laki yang memaksa perempuan agar mau bersetubuh dengannya di luar perkawinan dengan menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan. Menurut    Z.G.    Allen    dan    Charles    F. Hemphill, yang dikutip oleh Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, perkosaan adalah: "an act of sexual intercourse wiyh a female resist  and  her  resistence  is  overcome  by force" (suatu persetubuhan dengan perlawanan  dari perempuan  dan  perlawanannya diatasi dengan kekuatan).  

Perkosaan dapat digolongkan berbagai jenis, yaitu:

  • Sadistic Rape, artinya dalam tipe ini, seksualitas dan agresif bergabung dalam bentuk yang merusak. Pemerkosa tampaknya menikmati kesenangan erotis bukan melalui hubungan seksual, tetapi melalui serangan mengerikan pada alat kelamin dan tubuh korban.
  • Anger Rape, yakni penganiayaan seksual yang ditandai dengan seksualitas yang menjadi sarana untuk mengekspresikan dan melampiaskan perasaan geram dan marah yang ditekan. Tubuh korban di sini tampaknya menjadi objek di mana pelaku memproyeksikan solusi untuk frustrasi, kelemahan, kesulitan, dan kekecewaan hidupnya.
  • Domination Rape, yaitu  suatu  perkosaan  yang  terjadi  ketika pelaku  mencoba untuk gigih atas kekuasaan dan superioritas terhadap korban. Tujuannya adalah  penaklukan  seksual,  pelaku  menyakiti korban, namun  tetap  memiliki  keinginan berhubungan seksual.
  • Seductive Rape, yaitu perkosaan yang terjadi dalam situasi merangsang yang diciptakan oleh kedua belah pihak. Awalnya korban memutuskan bahwa keintiman pribadi harus dibatasi tidak lebih dari hubungan seksual. Pelaku umumnya memiliki keyakinan bahwa paksaan diperlukan, oleh karena itu tanpa itu mereka tidak memiliki perasaan bersalah tentang seks.
  • Victim Precipitated Rape, yaitu perkosaan yang terjadi (terjadi) dengan menempatkan korban sebagai inisiator.
  • Exploitation Rape, yaitu perkosaan yang menunjukkan bahwa pada setiap kesempatan untuk melakukan hubungan seksual laki-laki memperolehnya dengan mengambil keuntungan yang bertentangan dengan posisi perempuan yang bergantung padanya secara ekonomi dan sosial. Misalnya, seorang istri yang diperkosa oleh suaminya atau pembantu rumah tangga yang diperkosa oleh majikannya, sementara pembantunya tidak mempertanyakan atau mengadukan kasus tersebut kepada pihak berwenang.

Aborsi menjadi salah satu aspek yang menyangkut kesehatan reproduksi, melihat pada Pasal 1 Ayat (2) Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi, Kesehatan Reproduksi adalah keadaan sehat secara fisik, mental, dan sosial secara utuh, tidak semata-mata bebas dari penyakit atau kecacatan yang berkaitan dengan sistem, fungsi, dan proses reproduksi. Hak-hak Reproduksi, sebagaimana diatur dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan, hak-hak reproduksi bahwa "setiap orang berhak: a. menjalani kehidupan reproduksi dan seksual yang sehat, aman, serta bebas dari diskriminasi, paksaan dan/atau kekerasan dengan menghormati nilai luhur yang tidak merendahkan martabat manusia sesuai dengan norma agama; b. memperoleh informasi, edukasi, dan konseling mengenai Kesehatan reproduksi yang benar dan dapat dipertanggungjawabkan ; dan c. menerima pelayanan dan pemulihan Kesehatan akibat tindak pidana kekerasan seksual."

Pendekatan bioetika terhadap aborsi sering kali mengacu pada empat prinsip :

1. Auotonomy

Prinsip etika otonomi menyatakan bahwa pasien berhak untuk membuat keputusan tentang perawatan medis mereka sendiri bila mampu. Penghormatan terhadap otonomi diabadikan dalam undang-undang yang mengatur informed consent, yang melindungi hak pasien untuk mengetahui pilihan medis yang tersedia dan membuat keputusan sukarela berdasarkan informasi. Beberapa ahli bioetika menganggap penghormatan terhadap otonomi sama dengan memberikan dukungan tegas terhadap hak untuk memilih aborsi, dengan alasan bahwa jika seorang hamil ingin mengakhiri kehamilannya, negara tidak boleh ikut campur. Menurut salah satu penafsiran pandangan ini, prinsip otonomi berarti bahwa seseorang memiliki tubuhnya dan bebas memutuskan apa yang terjadi di dalam dan padanya.

2. Non-Malficience and Beneficience  

Prinsip etika "jangan menyakiti" melarang dengan sengaja menyakiti atau melukai pasien. Hal ini menuntut perawatan yang kompeten secara medis yang meminimalkan risiko. Non-maleficence sering kali dipadukan dengan prinsip beneficence, yaitu kewajiban untuk memberi manfaat bagi pasien. Secara bersama-sama, prinsip-prinsip ini menekankan pada melakukan lebih banyak kebaikan dari pada keburukan.

Meminimalkan risiko bahaya merupakan hal yang menonjol dalam penolakan World Health Organization (WHO) terhadap larangan aborsi karena orang hamil yang menghadapi hambatan dalam melakukan aborsi sering kali menggunakan metode yang tidak aman, yang merupakan penyebab utama kematian dan kesakitan ibu yang dapat dihindari di seluruh dunia.

3. Justice

Keadilan, yang merupakan prinsip terakhir bioetika, mengharuskan perlakuan serupa pada kasus serupa. Jika moral orang yang hamil dan janinnya sama, banyak yang berpendapat bahwa membunuh janin tersebut tidak adil kecuali untuk membela diri, jika janin tersebut mengancam nyawa orang yang hamil. Yang lain berpendapat bahwa bahkan untuk membela diri, mengakhiri hidup janin adalah tindakan yang salah karena secara moral janin tidak bertanggung jawab atas segala ancaman yang ditimbulkannya.

Namun para pembela aborsi menyatakan bahwa meskipun aborsi mengakibatkan kematian orang yang tidak bersalah, hal tersebut bukanlah tujuannya. Jika etika suatu tindakan dinilai dari tujuannya, maka aborsi mungkin dibenarkan jika tindakan tersebut mewujudkan tujuan etis, seperti menyelamatkan nyawa seorang perempuan atau melindungi kemampuan keluarga dalam merawat anak-anak mereka saat ini.

Tata cara pengecualian aborsi bagi korban tindak pidana perkosaan diatur secara jelas dalam Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi, yang boleh melakukan aborsi maupun dokter yang memiliki surat keterangan melakukan aborsi. Sehingga aborsi dapat dilakukan dengan aman, tepat dan bertanggung jawab. Dan ada beberapa persyaratan pengecualian aborsi, salah satunya adalah usia kehamilan tidak lebih dari 40 hari.

Perlindungan hukum bagi korban tindak pidana perkosaan juga diatur secara jelas dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 tentang Kesehatan Reproduksi. Upaya perlindungan korban tindak pidana perkosaan tidak semata-mata menjadi tugas aparat penegak hukum, tetapi juga merupakan kewajiban masyarakat untuk membantu memulihkan kondisi korban perkosaan dalam kehidupan sosial.

Berdasarkan uraian di atas, kehamilan yang tidak diinginkan akibat perkosaan jelas melanggar hak reproduksi korban perkosaan sebagaimana tercantum dalam Pasal 55 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Korban perkosaan kehilangan hak-hak reproduksi mereka dan kehilangan kesehatan reproduksi mereka secara fisik, mental dan sosial. Setiap perempuan harus memiliki hak untuk menentukan kehidupan reproduksinya secara bebas, termasuk hak untuk menentukan kehamilannya sendiri. Dalam rangka memberikan jaminan dan perlindungan hukum terhadap hak-hak reproduksi korban perkosaan sebagai bentuk hak asasi manusia, sangat tepat dilakukan aborsi legal namun bersyarat bagi perempuan yang hamil akibat perkosaan.

Referensi:

Abdul Wahid dan Muhammad Irfan, (2001), Perlindungan Terhadap Korban Kekerasan Seksual Advokasi Atas Hak Perempuan, Refika Aditama, Bandung.

Angelli Amanti P, Faizal, Regina Zahrani M, Frenky Dio, & Resti Fevria. (2023). Analisis Kasus Aborsi di Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Biologi, 2(2), 304--310. https://doi.org/10.24036/prosemnasbio/vol2/447. 

Raquel Lopez. 2012. "Perspective on Abortion: Pro-Choice, Pro-Life, And What Lies In Between". European Journal of Social Sciences. Vol. 27. No. 4.

Novita Novi,  (2023). Aborsi Terhadap Korban Tindak Pidana Pemerkosaan. Belom Bahadat, 13(1), 41-60. 

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2014 Tentang Kesehatan Reproduksi

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 Tentang Kesehatan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun