Hal ini menimbulkan kekhawatiran tentang betapa mudahnya regulasi tingkat tinggi diubah tanpa melalui mekanisme legislasi yang semestinya. Jika praktik seperti ini terus terjadi, dikhawatirkan akan melemahkan supremasi hukum dan menciptakan preseden buruk dalam proses legislasi.
Bagian 2: Substansi Kebijakan PPN 12%
Kebijakan PPN 12% sebagaimana diatur dalam PMK No. 131/2024 diterapkan secara spesifik untuk barang-barang mewah. Barang-barang ini meliputi produk yang dianggap memiliki nilai tinggi dan tidak termasuk dalam kebutuhan pokok masyarakat. Sebagai contoh, rumah mewah, kapal pesiar, pesawat pribadi, hingga kendaraan mewah merupakan jenis barang yang terkena PPN 12%. Peraturan ini juga tetap mempertahankan penerapan PPnBM (Pajak Penjualan atas Barang Mewah) dengan tarif tambahan 15% untuk kategori barang mewah, sehingga menambah beban pajak barang mewah secara kumulatif.Â
Namun, tidak semua barang dikenakan tarif ini. Barang-barang non-mewah atau yang termasuk dalam kategori kebutuhan pokok tetap dikenakan tarif PPN 11%, sesuaiÂ
Skema unik PMK No. 131/2024:
Ada yang menarik jika membaca PMK No. 131/2024 pasal 5, dimana skema perhitungannya tetap menggunakan tarif 12% dari dasar pengenaan pajak berupa berupa nilai lain. Nilai lain dimaksud adalah 11/12 dari nilai impor, harga jual, atau penggantian. Atau dapat dilihat pada tabel berikutÂ
Artinya, untuk kategori bukan barang mewah PPN tetap seperti sebelumnya yaitu 11%. Akan tetapi kemungkinan pada struk pembelian, akan tetap tertulis "PPN 12%", tetapi nilai sesungguhnya adalah 11%. Jika penjual menerapkan tarif penuh 12% tanpa koefisien 11/12, pembeli berhak untuk mengajukan keluhan.
Pastinya hal tersebut nantinya akan menimbulkan banyak polemik (khususnya antara penjual dan pembeli). Pengalaman tersebut pernah saya rasakan ketika saya membeli parfum dari rekan dengan harga under 100k, saya mendapati bahwa harga parfum meningkat akibat penerapan tarif PPN 12%. Padahal parfum tidak tergolong barang mewah dan seharusnya tetap dikenai tarif 11%. Hal ini menunjukkan minimnya pemahaman pelaku usaha terhadap aturan baru.
Bagian 3: Analisis Data dan Masa Transisi
Pasal 5 PMK No. 131/2024 mengatur bahwa selama 1--31 Januari 2025, PPN terutang dihitung dengan tarif 12 persen dikalikan nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual. Ini berarti tarif efektifnya tetap 11 persen, meskipun tarif PPN dinaikkan menjadi 12 persen.
Mulai 1 Februari 2025, tarif penuh 12 persen berlaku untuk semua transaksi. Masa transisi di Januari 2025 ini bertujuan memberi waktu adaptasi bagi masyarakat dan pelaku usaha.
Ketentuan ini hanya berlaku untuk transaksi barang mewah di tingkat konsumen akhir, seperti pembelian mobil atau rumah dari dealer. Sementara itu, transaksi dari produsen ke retail sudah menggunakan tarif penuh 12 persen sejak 1 Januari 2025.
Bagian 4: Edukasi dan Sosialisasi
Edukasi dan sosialisasi sangat penting untuk: