LOLODA---Dari pesisir pantai Igo hingga Bosala terdengar suara merdu tiupan angin. Angin itu bertolak dari hamparan lautan teduh. Memanjakan dedaunan di tebing, tanjung dan Gunung Sembilan dataran tertinggi itu. Burung Kenari cantic mengudara dan terbang kompak. Suatu pertunjukkan yang tidak bisa terkatakan lagi mantapnya.
Mata ini juga kerap menganga takjub tatkala melihat Pulau Doi, Pulau Bersaudara itu. Di sana, ikan-ikan kecil tampak berenang mendekati bibir pantai. Ia begitu menghibur para nelayan, bahkan terkadang membuat mereka lupa untuk pulang.Â
Ditambah lagi kehadiran mentari sore yang menghiasi permukaan lautan. Para anak dan remaja terlihat riang bermain. Dengan polosnya, mereka saling kejar-kejaran menyusuri garis bibir pantai. Lalu, beranjak ke rumah dengan menggandeng sebakul ikan segar yang siap di masak mama.Â
Para petani dengan riang gembira menggarap lahan kebunnya. Pergi-pulang kebun adalah pekerjaan keseharian. Mereka pulang ke rumah dengan tersisip doa dan harapan, agar hari-hari esok lebih baik lagi. Adalah ucapan syukur atas berkat dan pemberian Tuhan atas bumi huniannya. Â
Pemukiman masyarakat layaknya hiasan gambar warna-warni dengan batasan tanjung yang membentenginya. Membuat diri ini bangga memandangnya. Pepohonan cengkeh, pala dan kelapa tumbuh dengan dedaunan yang tertata rapi. Di bawah daratan tersimpan batu berwarna kuning-keemasan dan minyak bumi. Tuhan begitu baik memberikannya!
Ah, bahagiaku terasa lengkap sudah untuk hidup di bumi Ngara Mabeno. Serpihan surga yang tersembunyi di jazirah utara pulau Halmahera ini. Itulah Loloda, pesonanya mampu menarik perhatian turis untuk datang berkunjung melihatnya.Â
Namun, kebahagiaan ini tidak selamanya bertahan. Kenikmatan itu mulai tersinggkir bersamaan dengan kehadiran tambang. Tambang tidak hanya menggusur alam dan keindahannya, tetapi lebih daripada itu memberi jaminan malapetaka di masa depan. Namun anehnya, sebagian masyarakat masih menaruh keyakinan besar terhadapnya. Ada harapan, bahwa Tuhan tetap ada untuk mereka yang selalu berharap "benar".
Hasilnya saat ini, tanahku terjepit malang dibabat sedikit demi sedikit tanpa ampun. Lautku terlihat ganas memberontak dan memukul keras ke arah bibir pantai.Terumbu karang hancur berantakan.Â
Ikan-ikan kecil itu ketakutan dan pergi menjauh, tak mau bersahabat lagi dengan nelayan. Paras cantik Gunung Sembilan tampak murung karena sebagian tubuhnya telah dihantam besi baja yang begitu panas dan merusak. Dedaunan cantik yang tumbuh di atasnya sekejap hilang entah kemana.
Seakan-akan alam sedang menangis dan hendak meminta damai dengan manusia. Namun, apalah daya, tambang telah merombak nurani manusia. Tawarannya bertaburan uang dan menyasar kepada para pencari suaka yang tidak pernah puas. Tatapan senyum pemodal berhasil mengelabui para pemimpin, lalu selanjutnya merayu para nelayan dan petani. Masyarakat tercerai-berai. Logika kemanusiaan tergantikan dengan logika transaksional. Miris jadinya!
Amati saja, buah dari keserakahan yang telah melahirkan "bayi malapetaka" yang terus tumbuh-kembang memusnahkan alamku. Kini, bencana mulai berdatangan satu per satu. Kalangan pribumi kehilangan daya dan tersungkur. Merasa terasing di atas tanahnya sendiri. Moyangku pasti marah!
Kita kalah dan mati berulang kali. Suara tuntutan dan permohonan keadilan di bungkam oleh pengadilan. Aparat yang dulunya mengayomi, kini menjadi pemburu berwajah ganas. Bersembunyi di balik seperangkat aturan yang dibuatnya sendiri.
Padahal, semenjak tahun 1220, Loloda sebagai kerajaan tertua di Maluku sudah begitu terkenal oleh dunia. Di dalamnya ada perjuangan dan keberhasilan melawan penjajah yang waktu itu hendak menyita segala kekayaan yang ada. Bahkan, dunia pun memahami Sang Kapita Sikuru, yang pernah membunuh Menteri Perpajakan Pemerintahan Belanda.Â
Alam telah menjadi saksi bisu bagi perjuangan kami. Kami terus diajak untuk disogok agar memberi kekayaan alam kami untuk digodok melalui pemerintah yang bobrok. Inilah target dan incaran mereka dengan dukungan investor. Kami akan tetap bertahan dan berlawan untuk alam kami yang terus dikeroyok. Berjuta serangan fisik maupun psikis berupaya masuk dan melumpukan seluruh ruang gerak rakyat. Jangan biarkan!!
Kami tetap berada di garis perjuangan. Bahwa bentuk-bentuk perjuangan yang kami lakukan adalah untuk masyarakat dan alam kami. Akhirnya, kami menitipkan air mata kami kepada para tuan tanah untuk terus berjuang bersama-sama!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H