Mohon tunggu...
Pipit Agustin
Pipit Agustin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seniman Tepung

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Hari Sumpah Pemuda: Bersama Majukan Bangsa; dengan Apa?

28 Oktober 2023   17:49 Diperbarui: 28 Oktober 2023   17:52 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi by: piput Agustin. Sumber gambar: kemenpora.go.id

Hari Sumpah Pemuda 28 Oktober terkait erat dengan penyelenggaraan Kongres Pemuda yang kedua, pada 27-28 Oktober 1928. Gagasan ini diinisiasi oleh Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), sebuah organisasi pemuda yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Kongres Pemuda ini bertujuan memperkuat rasa persatuan dan kebangsaan Indonesia.

Selain perhimpunan pelajar, Kongres ini juga diikuti oleh perkumpulan-perkumpulan pemuda berdasarkan kesukuan, seperti Jong Java (Pemuda jawa), Jong Soematra (Pemuda Sumatra), Jong Bataks Bond (Pemuda Batak), Jong Celebes, Pemoeda Kaoem Betawi, dll. Hasil kongres tersebut merupakan sebuah ikrar dari para pemuda, yang tertuang dalam tiga poin. Pertama, Kami putra dan putri Indonesiamengaku bertumpah darah satu, tanah air Indonesia. Kedua,  Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa satu, bangsa Indonesia. Ketiga, Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia.

Istilah Sumpah Pemuda sendiri melekat pada hasil kongres tersebut. Maknanya agar para pemuda Indonesia senantiasa mencintai tanah air, menjaga dan merawat persatuan sebagai satu bangsa, serta menjunjung tinggi penggunaan bahasa Indonesia dalam kehidupan sehari-hari.Sumpah Pemuda bermakna untuk mmbangkitkan kesadaran seluruh rakyat Indonesia sebagai bangsa yang satu. Dengan begitu, perjuangan rakyat tidak lagi bersifat kedaaerahan, melainkan menjadi kesatuan yang kuat.

Tahun ini, peringatan Hari Sumpah Pemuda mengusung tema "Bersama Majukan Indonesia". Sebelumnya, pemerintah menetapkan Visi Indonesia Maju 2045. Harapannya, di usia seabad Indonesia merdeka, Indonesia bisa menjadi bangsa yang berdaulat, maju, adil, dan Makmur. Bahkan, Jokowi menargetkan Indonesia menduduki ranking empat atau lima dunia dengan perekonomian terbesar. Terkait dengan hal itu, pemuda diharapkan turut berperan mewujudkan Indonesia Maju 2045.

Dalam pidato amanatnya pada upacara peringatan hari Sumpah Pemuda, Menpora berpesan kepada para pemuda agar serius dalam menguasai teknologi dan informasi serta literasi digital. Menpora juga mengatakan bahwa setiap pemuda perlu mempunyai visi, visi, dan peran strategis untuk 30 tahun mendatang agar pembangunan dapat berlari lebih cepat. Strategi paling ampuh adalah dengan tolong-menolong lintas generasi dan gotong-royong lintas sektor.

Mengawang-awang

Visi Indonesia Maju yang dicanangkan pemerintah terkesan mengawang-awang. Apalagi bertumpu salah satunya pada investasi (asing) yang tak lain adalah utang dan  peningkatan ekspor. Kalau kita baca, pemerintah berambisi mengejar angka pertumbuhan ekonomi, bukan kesejahteraan orang per orang.

Padahal, kesejahteraan dan kemakmuran itu bukan soal angka rata-rata, melainkan kondisi aktual di lapangan. Seringnya, angka-angka pertumbuhan ekonomi itu hanya diwakili segelintir orang, sedangkan mayoritas menunjukkan kebalikannya. Gap antara kaya dan miskin  makin lebar. Kaum pemodal bisa menguasai kekayaan dan meraup keuntungan ekonomi yang besar, sedangkan rakyat kebanyakan hanya memperoleh tetesan dan remahan.

Mengenai peningkatan ekspor, hal ini pun tak ubahnya retorika semata. Justru pemerintah rajin impor sana-sini termasuk untuk bahan pokok seperti beras dan gula hingga daging. Kapan swasembadanya kalua seperti ini. Wajar jika banyak kalangan menilai, Visi Indonesia Maju 2045 hanyalah mimpi yang utopis.

Pemuda Hari ini

 

Posisi pemuda hari ini ada pemegang tongkat estafet kepemimpinan bangsa. Karenanya, mereka harus ditempa dengan pendidikan yang mumpuni agar para pemuda siap memimpin negeri. Harapannya, di antara mereka nanti ada para ahli di bidangnya, pakar yang andah dan kompeten, politikus ulung, negarawan hebat, jendral yang disiplin dan tangguh, dll. Ternyata, fakta berbicara lain. Mas Menteri menggagas sebuah kurikulum merdeka belajar dan program Pendidikan vocasi yang diarahkan untuk mencetak peserta didik menjadi tenaga terampil untuk mengisi industri (baca: buruh). Padahal kita tahu, industri yang ada hari ini dikuasai kaum pemilik modal (baca: kapitalis). Lulusan perguruan tinggi yang seharusnya menjadi SDM andal, nyatanya sekadar menjadi pengisi dunia kerja. Realitas ini  dipahami oleh para pelajar dan mahasiswa bahwa sekolah itu untuk mencari kerja. Akhirnya, tujuan mulia Pendidikan untuk mencerdaskan bangsa agar terbebas dari segala bentuk penjajahan menjadi sirna.

Pemuda dan pelajar kita tumbuh dalam bingkai sekularisme yang menjauhkan nilai-nilai agama (Islam) dalam kehidupan. Akhirnya, mereka tumbuh dan berkembang dengan kadar keimanan yang tipis. Mudah larut dalam serbuan gaya hidup bebas, mengejar popularitas dan hal-hal viral tanpa nilai yang berarti. Gemerlapnya dunia hiburan telah menggeser kekhusyu'an dalam mendalami ilmu. Kita saksikan, acara pengajian sepi peminat sedangkan konser musik pesertanya membludak. Lantas bagaimana memikirkan kondisi bangsa, sedangkan mereka sibuk dengan  diri sendiri?

Berubah Bersama

 

Sudah waktunya pemuda menyadari ada yang salah dengan visi misi negeri ini. Sejak digaungkannya, belum muncul tanda-tanda ke arah tujuan, justru negeri ini dan pemudanya, tenggelam dalam kubangan persoalan tanpa bisa dientaskan. Kebodohan, kemiskinan, hingga persoalan adab dan moral. Semuanya ambyar di tangan kebijakan yang diterapkan.

Kesalahan visi dan misi itu adalah akibat kesalahan paradigma yang dimiliki. Paradigma sekuler harusnya diubah ke paradigma islam yang visioner. Bukan isapan jempol, Islam telah lebih dulu sukses membangun peradaban gemilang belasan abad lamanya. Di bawah pengasuhan islam, berbagai bangsa dibebaskan dari keterjajahan, kebodohan, dan kejahiliyahan.

Oleh karena itu, pemuda muslim hari ini, perlu menilik Islam sebagai way of life dalam mewujudkan cita-cita bangsanya. Semata agar kesuksesan itu bisa diraih sebagaimana yang pernah diraih oleh generasi sebelumnya. Terlebih, bangsa ini mayoritas muslim, selayaknya menjadikan islam sebagai asas perjuangan. Saatnya berikrar menjadikan Islam sebagai ikatan persatuan. Wallahua'lam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun