Belum reda kegeraman publik terhadap sikap pimpinan ponpes Al-Zaitun Indramayu,  kini yang bersangkutan kembali berulah.  Pasca fenomena salat ied bercampur-baur shaf antara laki-laki dan perempuan pada lebaran yang lalu, belum lama ini viral video yang memperlihatkan Panji Gumilang menyanyikan lagu  tradisional Israel di masjid Al-Zaitun.
Bagi umat islam, jelas hal ini merupakan penodaan agama dan peristiwa yang memilikan sekaligus memalukan. Memilukan karena di tengah kondisi kaum muslim Palestina tengah berjuang mati-matian menghadapi gempuran membabi-buta tentara Zionis Israel. Memalukan karena Al-Zaitun dan Panji Gumilang adalah  salah satu ikon keislaman di negeri muslim terbesar. Ponpes Al-Zaitun yang semestinya memberikan teladan dalam mensyiarkan islam, justru mensyiarkan ajaran agama di luar Islam. Jelas ini adalah penodaan agama, tindakan seseorang yang jahil terhadap agamanya.
Namun, inilah fenomena hidup di tengah sistem jahiliyah modern (sekuler). Dalam kamus sekulerisme, tidak ada penodaan agama. Yang ada adalah ekspresi kebebasan beragama. Dalam tafsir sekulerisme, mengamalkan syariat di luar islam maupun tidak mengamalkan syariat islam, kendati dia seorang muslim adalah manifestasi dari hak asasi.
Peristiwa ini adalah bentuk kemungkaran. Dan kemungkaran itu tidak boleh didiamkan oleh umat islam. Namun, yang lebih penting dari itu adalah peran dan hadirnya negara dalam upaya melindungi akidah umat dari kemungkaran berupa praktik-praktik menyimpang berkedok toleransi, hak asasi, dan sebagaianya.
Negara harus  menindak tegas kejadian ini. Negara harus turun tangan meluruskan sebagai wujud tanggung jawab dalam  memelihara akidah umat dengan cara memberikan ketegasan pada Panji Gumilang dan Ponpes Al-Zaitun.
Bukankah Nabi SAW. bersabda, "Kemungkaran adalah bagaikan suatu kaum yang berundi dalam sebuah perahu. Nantinya, ada sebagian berada di bagian atas dan sebagiannya lagi di bagian bawah perahu tersebut. Yang berada di bagian bawah ketika ingin mengambil air, tentu dia harus melewati orang-orang di atasnya. Mereka berkata, 'Andai kata kita membuat lubang saja sehingga tidak mengganggu orang yang berada di atas kita.' Seandainya yang berada di bagian atas membiarkan orang-orang bawah menuruti kehendaknya, niscaya semuanya akan binasa. Namun, jika orang bagian atas melarang orang bagian bawah berbuat demikian, niscaya mereka selamat dan selamat pula semua penumpang kapal itu." (HR Imam Bukhari no. 2493).
Wasiat Nabi Saw. dalam hadis di atas adalah wujud kontrol sosial, yakni agar saling beramarmakruf nahi mungkar sesama umat islam dalam kehidupan bermasyarakat. Semata agar manusia tidak 'binasa' akibat perbuatan dosa dan mereka selamat dari pedihnya azab Allah di akhirat. Dosa akibat menyimpang dari syariat Allah selama di dunia, menyalahi petunjuk, dan berbuat menyerupai orang-orang kafir.
Nahkoda dalam hadis di atas juga berarti ruang hidup beserta sistem kehidupan yang menaunginya. Dalam bingkai kehidupan Islam, tidak dikenal istilah hak asasi yang merujuk pada perbuatan menyimpang dari syariat. Islam mengakui keberagaman namun tidak lantas mencampuradukkan ajaran di luar islam.
Berbeda dengan atmosfer sekulerisme yang diterapkan saat ini  menjadi ruang hidup yang nyaman bagi tumbuhsuburnya berbagai penyimpangan. Paham kebebasan dan hak asasi menjadi asas penopang bagi tegaknya sekularisme. Sehingga, sampai kapanpun, penyimpangan dan praktik penodaan agama itu akan senantiasa ada silih berganti.
Aktivitas mengembalikan yang sesat ke jalan yang benar memang  tidak ringan. Sebab pada umumnya pihak yang sesat tidak merasa sesat, bahkan merasa benar. Di mata pengikut aliran sesat, yang batil tampak  sebagai yang haq, yang buruk tampak  sebagai sesuatu yang indah.
Ingatlah sesungguhnya Allah SWT telah berfirman: "Iblis berkata: 'Ya Tuhanku, oleh sebab Engkau telah memutuskan bahwa aku sesat pasti aku akan menjadikan mereka memandang baik (perbuatan maksiat) di muka bumi, dan pasti aku akan menyesatkan mereka semuanya'," (QS Al-Hijr: 39).