Mohon tunggu...
Pipit Agustin
Pipit Agustin Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

Seniman Tepung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Ketika Dispensasi Nikah Mewabah

17 Januari 2023   13:21 Diperbarui: 17 Januari 2023   13:25 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Wabah dispensasi menikah pada usia remaja yang melanda negeri ini patut menjadi keprihatinan bersama. Menikah yang dipilih sebagai 'jalan keluar' menyisakan problematik lanjutan. Meski telah banyak regulasi digagas untuk mengatasi persoalan menikah dini ini, nyatanya tak sanggup menyelesaikan dengan paripurna. Lantas bagaimana seharusnya?

Bila ditelisik lebih dalam, problem yang muncul dari pernikahan dini di dunia islam khususnya adalah akibat fatal pengadopsian paham sekuler. Selain itu, kemampuan literasi umat terhadap ajaran islam juga rendah. Hal ini berestafet dengan penerapan sistem pendidikan sekuler yang gagal total mendewasakan pemikiran. Ditambah lagi sistem sosial yang kacau karena justru secara massif menstimulus rangsangan seksual melalui platform digital. Parahnya, semua itu dipayungi oleh negara lewat undang-undang yang bias makna atas nama kebebasan. Sungguh ambyar, bukan?

Bukankah telah sangat jelas, alasan yang dikemukanan di atas bahwa kebanyakan peristiwa menikah dini pada pelajar perempuan ini akibat pergaulan bebas. Mereka anak-anak yang minus kasih sayang dan kehadiran orang tua teladan. Minim ilmu agama tentang halal-haram, dan lain-lain. Ini di satu sisi.

Sementara di sisi lain, orang tua yang seharusnya hadir secara utuh dan penuh, harus banting tulang mencari cuan demi keberlangsungan kehidupan  keluarga. Ayah saja seringnya tak cukup sehingga sang ibu pun harun turun gunung mencari tambahan. Kalau dipikir-pikir, ya memang tidak ada salahnya mereka 'berjuang' sedemikian karena kondisi mengharuskan demikian. Berarti masalahnya adalah, negara tidak hadir sebagai pelindung rakyat dalam mencukupi kebutuhan primernya. Penyedia lapangan kerja itu adalah tugas utama negara, apapun bentuk dan ideologinya. Itu idealnya, bukan?

Tetapi, sistem ekonomi kapitalisme telah memaksa jutaan ibu bertarung di dunia kerja di negara asing dan meninggalkan anak-anak mereka. Lapangan pekerjaan seolah terkunci bagai para pria di negeri mereka. Jutaan keluarga dibuat sibuk mencukupi kebutuhan primer mereka, ditambah pajak dan aneka pungutan lainnya yang hukumnya wajib dari negara. Sistem ekonomi kapitalis memusatkan kekayaan pada segelintir orang dan menyebarkan kemiskinan bagi mayoritas rakyat. Sistem ini memang cacat dalam banyak hal terutama distribusi dan pengelolaan sumber daya alam.

Belum lagi sistem pendidikan yang jauh dari pementukan kepribadian para pelajar. Minus unggah-ungguh (adab) menjadi fenomena umum di kalangan pelajar kita. Meskipun telah baligh, mereka belumlah menjadi akil. Barangkali ini yang menjadi landasan kategori 'anak' sebagaimana tercantum dalam UU perkawinan. Meskipun telah baligh, mereka masih dianggap 'anak-anak'. Ini adalah mindset sekuler yang tidak jelas standar kedewasaannya.

Oleh karena itu, selama sekularisme masih memenuhi ruang pikir kita, selama itu pula masalah terus menimpa, hilir mudik tanpa solusi yang paripurna. Kita membutuhkan sistem hidup alternatif non sekularisme, yakni islam. Islam adalah harapan ketika agama adalah satu-satunya cahaya di tengah gelapnya dunia sekuler, jahilnya sistem ekonomi kapitalistik, dan buntunya politik demokrasi.

Harapan

Andai kebutuhan primer rakyat tercukupi semuanya, yakni sandang, pangan, tempat tinggal, pendidikan, kesehatan, keamanan, misalnya, tentu beban rakyat tak seberat sekarang. Orang tua, khususnya ibu, bisa fokus mengasuh dan mendidik buah hatinya.

Andai literasi umat tentang ajaran islam berada pada level baik, niscaya paham sekuler tidak akan bertengger. Tapi sulit menemukan regulasi yang 'berbau-bau' agama di sistem sekuler seperti hari ini. Tuhan Allah memang disembah, lewat salat dan sejumlah iabadah ritual lainnya. Tetapi aturan Tuhan tentang kehidupan sosial tidak pernah dianggap ada. Lantas manusia-manusia sekuler itu berupaya mencipta sebuah aturan kehidupan yang dikatakan 'terbaik' dari yang terburuk melalui pemufakatan jahil.

Semoga kondisi ini semakin membuka pikiran kita tentang pentingnya nilai-nilai agama dalam mengatur kehidupan, tidak hanya individu dan keluarga, tetapi juga kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Islam sepanjang sejarahnya memiliki kredibilitas dalam mengatur kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Bahkan, peradaban islam di sepanjang era Kekhalifahan adalah peradaban paling luhur yang pernah ada di dunia. Peradaban inilah yang kita dambakan kehadirannya di era sekarang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun