Bagaikan Niccolo Machiavelli yang memberikan "sang pangeran/sang penguasa/the prince/il principe" kepada Lorenzo di Piero de Medici, atau Ibnu Khaldun yang memberikan "Muqqadimah" kepada Abu al Abbas, saya mempersembahkan tulisan singkat ini kepada seorang calon legislatif di kota saya tinggal, yaitu kota Malang. Mungkin tulisan sangat singkat ini tidak bisa dibandingkan dengan il principe maupun Muqqadimah, karena selain singkat, kemampuan analisa politik maupun teknis politik saya sangatlah rendah dibandingkan Machiavelli maupun Ibnu Khaldun. Makadari itu, saya harapkan pembaca mampu memberikan kritik membangun kepada tulisan singkat ini.
Kepada Politisi-Politisi pascamodern di Indonesia,
Pascamodern, sebenarnya istilah ini mungkin tidak asing kita dengar. Beberapa hari ini, ada seorang tokoh Indonesia yaitu Ridwansyah Yusuf banyak membahas tentang masyarakat pascamodern, dilihat dari sudut pandang partisipasi dalam politik (dalam hal ini lebih mengkaitkan pada pemilu), maupun gerakan mahasiswa pascamodern (perbandingan mahasiswa "pascamodern" dengan mahasiswa aktivis).
Diskursus masyarakat pascamodern dalam hal ini, saya sempitkan dalam masyarakat umum yang berupa WNI, sudah mampu memilih calon legislatif atau eksekutif, dan dari pandangan politik manapun, politis maupun apolitis dan tinggal di kota.
Menurut saya, masyarakat pascamodern (walau memang terbagi dalam banyak jenis stratifikasi), dapat dibagi menjadi masyarakat kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. nah, masing-masing kelas tentunya memiliki karakteristik sendiri.
Lalu, masyarakat pascamodern diidentikkan dengan budaya politik yang sangat parokial di satu sisi, partisipan di satu sisi, sesuai dengan political awareness mereka, kekayaan mereka maupun latar belakang pendidikan mereka.
Gampangnya, orang dengan political awareness rendah, apapun latar belakang pendidikannya, mereka akan rentan untuk golput atau asal memilih dengan ngawur.
Namun, hipokritisme masyarakat pascamodern sangatlah tinggi, di satu sisi mereka memiliki keinginan-keinginan tertentu, dan suka untuk mengolok pemerintah ketika kebijakan publik yang dibuat tidak sesuai dengan apa yang mereka harapkan, namun di satu sisi mereka memiliki fear of freedom yang sangat tinggi, mereka lebih memilih untuk menyerahkan politik kepada orang-orang yang dianggap mampu atau mau saja, sederhananya, tukang gosip kebijakan, tp disuruh demo/bicara langsung ke pemerintah, atau masuk politik untuk memperbaiki kebijakan-kebijakan tersebut secara terperincipun tidak mau.
Politik transaksional juga terjadi di dalam masyarakat kelas bawah, di satu sisi kaum proletar, petani maupun lumpen-proletar memiliki keinginan agar negara bisa maju, di satu sisi mereka juga menggunakan sikap "wani piro" kepada calon politisi yang akan maju di kancah perpolitikan. Akhirnya dalam negara kita tercinta ini tercipta plutarki, dengan semboyannya "vox populi vox argentum".
Pada masyarakat kelas atasnya, ada orang-orang yang terjebak dalam hedonisme di satu sisi, dan ada orang-orang yang mengaku sebagai pejuang ideologis di satu sisi dan fetishisme mereka akan ideologi yang dirasa keren, tanpa melihat sedikitpun sudut pandang dari orang yang "dibela" mereka, yaitu rakyat kecil, dirasa pandangan normatif, teoritis dan kompleks ala kaum borjuasi intelektual ini adalah pandangan kaum miskin, padahal sebenarnya kaum miskin pikirannya tidak serumit itu, hanya ingin mencari makan, bukan kompleks semacam sosiologi politik, negara agama, kebebasan pasar, chauvinisme maupun ekonomi makro kenegaraan. Ya dalam kalimat disebelah, saya rasa secara tersirat saya berusaha membangunkan kaum-kaum intelektual yang beronani dalam fetishisme ideologisnya ini untuk berinteraksi langsung dengan orang miskin, biar tahu sesimpel apa pikiran mereka, bukan seperti "sudut pandang kaum miskin" dalam buku-buku teori politik yang kompleks. Saya rasa, teori politik merupakan "cara" untuk mewujudkan apa yang diinginkan mereka, tetapi yang menjalankan adalah kaum intelegentsia, dan kita perlu untuk membangun kesadaran politik baik kaum atas maupun bawah, ditambah dengan kesadaran untuk bermanfaat bagi orang lain.
Saya rasa saya tidak akan membahas masyarakat pascamodern secara rinci dalam tulisan ini, dikarenakan memang ditujukan untuk para kader partai politik maupun politisi dan calon politisi, saya rasa, mengutip teori fictie, mereka sudah memahami setidaknya pembagian masyarakat pascamodern berdasarkan ciri-ciri sosial, pola sosial, maupun status dan peran yang dilakukan, singkatnya, sudah melek sosiologi dan memahami norma-norma yang ada di masyarakat dimana mereka bernaung.