Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Ketika Musim Jajanan Tiba di Jogja

5 April 2022   09:48 Diperbarui: 5 April 2022   10:01 428
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kisah Untuk Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Ketika Musim Jajanan Tiba

 Semar mendem, Meniram, Kipo, Legomoro, Satelit, banjar, ukel, krasikan, itu semua, Bestie, adalah nama-nama jajanan khas Jogja. Masih ada puluhan nama lagi, yang tentu saja, Saridin sulit menghafalnya. 

Biasanya, puluhan aneka jajanan dan minuman itu di jajakan di Pasar Ramadhan Kauman (PRK). Bentuknya aneka rupa, rasanya konon juga aneka rasa, warnanya pun aneka ria. 

Hijau, biru, merah muda, jingga, kuning, hijau daun rebus, kecoklatan, kekuningan, merah menyala dan banyak lagi warna-warna menggoda, kabarnya.

Pasar Ramadhan Kauman buka setahun sekali selama satu bulan. Tentu saja di bulan Ramadhan. Lokasinya di Kauman, sepelemparan batu ke arah barat dari titik nol Jogja di Monumen Serangan Oemoem 1 Maret. 

Pintu masuknya di sebuah gang ketjil, tepat di depan Rumah Sakit PKOe Muhammadiyah, Jogja. Pasar Ramadhan Kauman juga bisa diakses dari belakang. Menelusuri labirin kampung tua Kauman dari arah masjid Gede atau dari arah langgar kidul.

Setiap sore, selepas ashar hingga menjelang buka puasa, PRK ramai sekali. Ibaratnya, seluruh orang Jogja tumpah-ruah-melimpah di sana. Parkiran motor juga meluber hingga jauh ke arah barat, timur dan utara. 

Ramadhan menjadi pintu berkah, bagi Ibu rumah tangga yang tetiba mendapat kesempatan membuat jajanan, para pedagang yang hanya menjualkan, juga anak-anak muda lokal yang mengatur parkir.

Tapi yakinlah Bestie, bahwa semua itu hanya katanya. Bertahun-tahun Saridin hidup di Jogja, sekali pun tak pernah berkunjung ke sana. 

Mungkin, sahabat sekaligus seniornya @Yogie Maharesi sering belanja-belanja di sana. Makan enak sambil menenteng tas penuh berisi jajanan. Juga sahabat dan kawan-kawan lainnya, tapi tidak bagi Saridin. Pasar Ramadhan Kauman, yang digemari dan dikunjungi banyak orang,  seolah berubah menjadi mitos baginya. Mitos yang sulit dijamah, dan tak terpikirkan.

Memang, nyaris setiap hari, menjelang senja, dia melewati Pasar Ramadhan Kauman. Tapi bukan untuk berhenti. Hanya lewat saja. Ada perasaan gentar, kecil, dan tak berarti, bahkan untuk sekedar menoleh. Maka, setiap kali melintas, dia tak pernah menoleh. 

Tatapan matanya fokus pada kapan lampu merah akan berubah menjadi hijau. Sehingga, dia kembali boleh melanjutkan perjalanan, yang seudah dekat dengan tujuan: Masjid Gede, Yogyakarta.

Masjid Gede Yogyakarta menjelang buka puasa adalah oase kuliner yang sebenarnya. Setiap setengah lima, ada agenda pengajian menunggu buka puasa. On time. Karena pengajian itu disiarkan langsung oleh Radio Republik Indonesia. Yang menjadi penceramah biasanya para tokoh lokal. Kadang dosen, kadang guru, kadang entah apa. 

Tapi, umumnya penceramah memiliki profesi untuk menopang kebutuhan sehari-hari. Sehingga, tidak menjadikan ceramah sebagai mata pencaharian, melainkan sebagai dakwah-pengabdian kepada Tuhan.

Di situlah Saridin menghabiskan sorenya: buka puasa di masjid Gede. Dengan membawa uang Rp. 500 untuk infaq parkir, dia menghadiri pengajian. Bonusnya: nasi bungkus, kadang lauk telor rebus dan kuah kental, kadang nasi rames dengan ayam. Ditambah 1 gelas kecil motif belimbing teh hangat yang dituang langsung dari teko alumunium. Sehingga tidak perlu heran, jika jamaah pengajiannya adalah tukang becak, pekerja pasar, pedagang asongan, pedagang kecil, dan orang-orang yang lalu-lalang.

Jika bosan buka puasa di Masjid Gede, Saridin memiliki tempat tujuan lain: Masjid Kampus UGM, dan Masjid Syuhada di Kota Baru. Kalau di masjid UGM, biasanya sekalian sholat tarawih. Karena, penceramahnya selalu keren, Bestie. Seperti halnya penceramah tarawih pada tahun ini. Masjid Kampus UGM mengundang semua tokoh potensial Calon Presiden 2024 untuk mengisi ceramah. Beruntun, setiap hari. Selama sekian hari.

Kembali ke Masjid Gede, setiap agenda ceramah, selalu disediakan waktu bagi beberapa orang yang ingin mengajukan pertanyaan. Waktu itu menjelang lebaran. 

Sebuah ormas Islam sudah menghitung dengan metode tertentu yang menentukan bahwa idul Fitri jatuh pada hari A. Sedangkan kalender menunjukkan Idul fitri jatuh pada hari B. Dan hari B itulah kemungkinan besar Idul Fitri versi pemerintah. 

Lantas, ada seorang kakek yang mengacungkan jari, untuk bertanya. Setelah dipersilakan, Beliau bertanya tentang perbedaan hari raya itu, dan diakhiri dengan sebuah kalimat yang mengejutkan Saridin,"Kalau Muhammadiyah lebaran hari Senin dan pemerintah hari Selasa. Lantas, Ngarso dalem lebaran hari apa?"

Tentu maksudnya, Beliau akan mengikuti Ngarso Dalem.* (Bersambung ke seri 4) 

05/04/2022

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun