Mohon tunggu...
Prayogi R Saputra
Prayogi R Saputra Mohon Tunggu... Dosen - I am Nothing

I am nothing

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Obituari: Penyair Iman Budhi Santosa

11 Desember 2020   20:55 Diperbarui: 11 Desember 2020   21:14 234
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dunia Semata Wayang Penyair Iman

Bagian 1. Surat Kecil

Sore itu, seperti hari-hari lainnya, Rapunga Atua sedang mengalami Kuldesak (gabut-red). Anak muda itu pun, seperti biasanya, berusaha menghibur diri dengan jalan-jalan ke pasar buku shopping center. Musim hujan sudah tiba. Langit Jogja sedikit mendhung. Udara menjadi lembab. 

Rapunga bergegas mengayuh sepeda gazelle palsunya dari Kadipiro gang lima ke arah timur. Menuju benteng tua Vredeberg di pusat kota. Jalanan Jogja ramai. Motor berlalu-lalang. Mobil-mobil membunyikan klakson. Bus kota berlari ugal-ugalan meninggalkan jejak asap yang membuat hidung tersengat.

Rapunga pun keliling shopping center. Masih dengan mengenakan topi bucket hat yang dibeli di Malioboro. Menyembuyikan rambut keritingnya yang mulai panjang. Pindah dari satu kios ke kios lain. 

Sekedar melihat-lihat judul buku yang berlimpah, tanpa niat untuk membeli satu buku pun. Hingga pada sebuah kios buku semi permanen yang menghadap ke utara, dia menemukan satu buku yang bersampul hijau tosca, dengan judul: Profesi Wong Cilik. Dia menimang-nimang buku itu. Tergoda untuk membelinya. 

Tapi, apa boleh buat, uang tak ada. Bukan judul itu yang menarik hatinya, tapi penulisnya. Nama penulisnya: Iman Budhi Santosa. Lahir: Magetan. Hati anak muda dari desa itu melonjak girang demi membaca si penulis lahir di Magetan. Berarti, dia memiliki teman di Jogja ini. Sama-sama dari Magetan.

Diam-diam, dia pun menghapalkan alamat si penulis yang dicantumkan di halaman terakhir buku. Kemudian, dia mengembalikan buku hijau tosca itu. Dia selipkan pada tumpukan buku di tempat tersembunyi. 

Agar tak mudah ditemukan orang. Karena dia berjanji dalam hati, minggu depan, ketika kiriman uang dari desa sudah datang, buku hijau tosca itu akan dia pinang.

Sembari pulang, di tempat parkir, pada sebuah pohon disematkan poster acara pembacaan puisi dan diskusi budaya. Tempatnya di gedung Purna Budaya. Narasumbernya: Iman Budhi Santosa. "Pasti bukan kebetulan," gumam Rapunga. Dia pun mencatat jadwal kegiatan itu di buku tulis yang selalu dia bawa. Lantas, kembali lanjut bersepeda. Entah kemana.

Di malam yang dijadwalkan. Gerimis tipis turun mengusap Kota Jogja. Rapunga buru-buru mengayuh sepedanya menuju gedung Purna Budaya, di sebelah shopping center. Sudah berhari-hari dia memendam kegembiraan untuk segera bertemu dengan penyair Iman Budhi Santosa. Sepanjang jalan, dadanya berdegup kencang. 

Seperti tak sabar, untuk segera bertemu dengan kekasih hati. Rasanya, dia ingin mengayuh sepedanya tanpa berhenti. Tanpa terhalang lampu merah Wirobrajan, perempatan Ngampilan dan kemacetan sepanjang jalan Kiai Haji Ahmad Dahlan.

Tapi, betapa ngungunnya Rapunga. Dalam kondisi baju yang sedikit basah, nafas yang terengah-engah, dan sakit kepala sebelah yang mulai menyerang, dia menemukan Purna Budaya yang baru jadi itu sepi. Hanya satu dua orang yang duduk-duduk di teritisan gedung yang didesain mirip bangunan zaman Romawi. 

Nampaknya, mereka para gelandangan, yang tak akan paham ketika ditanya tenntang acara. Rapunga pun duduk di situ. Di lantai yang kotor. Dan dingin. Gerimis semakin menjadi-jadi. Akhirnya, hujan turun. Dengan lebat. Rapunga beringsut, merapat ke dinding.

Tak lama, hujan reda. Tapi, Rapunga memilih bertahan di situ. Menahan sakit kepala sebelah kanan akibat selalu terlambat makan. Hingga lewat tengah malam. Ketika jalan Sriwedani di depannya mulai ramai dengan para pedagang sayur. Dan kendaraan pengangkut sayur lalu-lalang. 

Dia baru beranjak pulang. Tapi, sebenarnya dia tak pernah merasa pulang. Karen tempat paling nyaman bukan di rumah kontrakannya. Tapi, entah dimana, dia belum menemukan.

Keesokan harinya, Rapunga menulis sepucuk surat kecil dan dikirimkan melalui pos kepada Penyair Iman Budhi Santoso, di sanggarnya di Bintaran. Dan kira-kira satu minggu kemudian, dia mendapatkan surat balasan.

 Rapunga gemetar menerima surat itu. Surat dari Seorang Penyair. Rasanya melebihi mendapatkan surat dari seorang pacar, yang memang tak juga dia dapatkan. Biasanya, Seorang Penyair hanya dia tahu dari buku-buku. Kini, ada salah satu Penyair Jogja yang mengirimkan surat pribadi kepadanya. Rasanya, dia ingin meledak.

Surat itu diketik dengan rapi. Lurus margin kanan kiri seperti diatur dengan penggaris. Rapunga teringat, di desa, dia sering menggunakan mesin ketik Brother yang dibawa pulang Ayahnya dari sekolahnya. Dibacanya surat itu. 

Dengan jantung yang mendesak ingin melompat keluar. Surat itu ada dua lembar. Satu berisi surat. Sementara yang lain berisi denah dan jalan yang bisa dilalui untuk mencapai sanggar Sang Penyair yang dibuat dengan penggaris. Dan di bagian akhir, ada catatan bahwa penyair menunggu kehadiran Rapunga. Lantas, tandatangan: IBS.

Bagian 2. Kopi Blended Paramex 

Seperti biasanya, menjelang pukul 4 sore, hampir semua penghuni kos-kosan Biadab Lare Alit yang berjumlah 40 kamar itu berbondong-bondong menuju stadion Teater of  Drim yang terletak di dalam kompleks Sekolah Luar Biasa, Kalibayem. 

Beberapa ratus meter arah barat warung Soto Kadipiro. Teater of  Drim versi Kalibayem ini sejatinya sebuah tanah lapang kecil, sedikit lebih luas dari lapangan futsal, di dalam kompleks SLB. Di sore hari, sekolah sepi. Penjaga sekolah juga tak ada. Maka, jadilah tanah lapang itu tempat rekreasi anak-anak kos Biadab Lare Alit. 

Nyaris setiap hari mereka bermain bola. Sepanjang tahun. Di musim kemarau yang berdebu. Di musim hujan yang becek. Mereka bergembira. Berfoya-foya dengan bola.

Juga, sore itu. Musim kemarau yang terik. Debu beterbangan, mengapung di udara, disapu kaki para remaja yang sedang heboh bermain bola. Pada suatu detik, tanpa disadari siapa pun, seseorang datang dan duduk di selasar antar gedung di pinggir teater of Drim. Lelaki paruh baya, tampan, berbadan tegap, dan berambut putih itu mengamati para remaja yang sedang bermain bola.

Mungkin, hatinya turut melonjak girang melihat bola ditendang ke "gawang". Mungkin sedih. Atau dendam. Karena di masa kecilnya, kakek lelaki paruh baya itu melarang dia turut bermain bola. Di alun-alun Magetan. Dua ratus meter dari rumahnya. Di jalan Kemasan.

Sampai, seorang teman memanggil Rapunga. Rapunga menoleh. Bola berseliweran di samping Rapunga. Dikejar teman-temannya. Teman itu menunjuk dengan gerakan kepala kearah lelaki paruh baya.

"Mas Iman," gumam Rapunga. Dia pun menepi. Mendekati lelaki paruh baya itu. Lelaki itu duduk dengan latar belakang Yamaha 75 merah kesayangannya. Belum sempat duduk, lelaki itu sudah mencegah Rapunga.

"Terusno. Aku tak nang kene," kata lelaki paruh baya itu.

Rapunga sedikit ragu. Antara duduk menemani Mas Iman atau kembali bermain bola. Rupanya, lelaki paruh baya itu sedikit memaksa. Rapunga pun segera  segera paham, mungkin Mas Iman memang ingin menikmati menonton anak-anak bermain sepakbola. Mengenang masa kecilnya. Mungkin, dengan luka yang menganga di dada. Rapunga pun kembali masuk ke lapangan. Berlarian. Bertabrakan. Menendang bola. Berpeluh. Gembira.

Hingga menjelang maghrib, permainan selesai. Mereka kembali ke kos. Berduyun-duyun. Menyeberang jalan. Lantas istirahat minum es teh di kedai Mas Johan. Dengan mengutang. Tapi, Rapunga lanjut jalan. Ke belakang SMP 1 Kasihan. Bersama Mas Iman.

Sampai di kamar kos, Rapunga menggulingkan galon isi ulang, menjerang air dengan teko plastik listrik, menyeduh kopi, dan menghidangkan kepada Mas Iman. Dengan tjangkir seng yang dia beli dari toko Remujung. Rapunga tahu belaka selera kopi Mas Iman. 

Lalu, dia pergi ke mata air, 20 meter di depan kamarnya. Mandi. Kali ini, tidak bersama teman-teman kos-nya. Yang masih menikmati es tah utang-utangan di Mas Johan. Penyair IBS menunggu di kamar. Sembari mungkin melihat judul-judul buku. Di rak kayu. 

Sejak pertama kali Rapunga main ke sanggar Penyair IBS di Bintaran, mereka menjadi akrab. Hangat. Tujuan pertama Rapunga untuk belajar menulis pun lenyap. Hanya sekali dia konsultasikan naskah cerpennya, setelah itu: selesai. Habis perkara soal dunia sastra. Diganti dengan  kehangatan relasi yang aneh. 

Usia Rapunga dan Penyair IBS selisih 32 tahun. Seperti lama berkuasa Pak Harto di Indonesia. Tapi, Rapunga memanggil Penyair IBS dengan sebutan "Mas". Dan sepertinya, Penyair IBS juga menemukan Rapunga sebagai: mungkin anaknya, mungkin adiknya. Tapi, dia jadi tempat Mas Iman menumbuhkan benih kasih sayangnya.

            "Motormu kuat nyang Wonosari, Ra?" tanya Mas Iman sambil membuka bungkus Paramex.

            Sanex, produksi China.

            "Kuat, Mas," jawab Rapunga lekas-lekas.

            'Pie nek awake dewe nyang Wonosari?"

            "Kapan, Mas?"

            Penyair IBS mengambil tjangkir, menelan pil lantas mendorongnya dengan kopi.

            "Loh, Mas! Ora popo to, Mas? Rapunga terkejut melihat Penyair IBS minum pil sakit kepala bersama kopi.

            "Halah! Ora popo. Aku kenek jantung. Aku nyang dokter dinasehati ojo ngrokok, ojo ngopi, ojo macem-macem. Lha aku ki nyang dokter. Tugase dokter ki mung ngobati. Ora usah nasehati."

            Mereka terkekeh. Sebab, Rapunga juga menyimpan obat sakit kepala di tasnya. Yang kemana-mana selalu dia bawa. Poldan Mig. Yang setelah sore itu, sekali dua kali dia telan sambil minum kopi.    

            "Ada perlu apa, Mas ke Wonosari?"

            "Aku ngimpi, Ra. Ngimpi @##!^%$*&^ ^&&^$^*^&&*&*&. Lah arep tak takokne nang Nyai &*^%$%%^%. Omahe jare nang&^%#$@%^$."

            "Pie nek sok emben?"

            "Nggih, Mas. Siap!"

Bagian 3. Pokok Jati (Hati) Meranggas di Wonosari

............................

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun