Sejak pertama kali Rapunga main ke sanggar Penyair IBS di Bintaran, mereka menjadi akrab. Hangat. Tujuan pertama Rapunga untuk belajar menulis pun lenyap. Hanya sekali dia konsultasikan naskah cerpennya, setelah itu: selesai. Habis perkara soal dunia sastra. Diganti dengan  kehangatan relasi yang aneh.Â
Usia Rapunga dan Penyair IBS selisih 32 tahun. Seperti lama berkuasa Pak Harto di Indonesia. Tapi, Rapunga memanggil Penyair IBS dengan sebutan "Mas". Dan sepertinya, Penyair IBS juga menemukan Rapunga sebagai: mungkin anaknya, mungkin adiknya. Tapi, dia jadi tempat Mas Iman menumbuhkan benih kasih sayangnya.
      "Motormu kuat nyang Wonosari, Ra?" tanya Mas Iman sambil membuka bungkus Paramex.
      Sanex, produksi China.
      "Kuat, Mas," jawab Rapunga lekas-lekas.
      'Pie nek awake dewe nyang Wonosari?"
      "Kapan, Mas?"
      Penyair IBS mengambil tjangkir, menelan pil lantas mendorongnya dengan kopi.
      "Loh, Mas! Ora popo to, Mas? Rapunga terkejut melihat Penyair IBS minum pil sakit kepala bersama kopi.
      "Halah! Ora popo. Aku kenek jantung. Aku nyang dokter dinasehati ojo ngrokok, ojo ngopi, ojo macem-macem. Lha aku ki nyang dokter. Tugase dokter ki mung ngobati. Ora usah nasehati."
      Mereka terkekeh. Sebab, Rapunga juga menyimpan obat sakit kepala di tasnya. Yang kemana-mana selalu dia bawa. Poldan Mig. Yang setelah sore itu, sekali dua kali dia telan sambil minum kopi.  Â