Pada dewasa ini, Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 23-24 April 2024 memutuskan untuk menaikkan BI-Rate sebesar 25 bps menjadi 6,25%, suku bunga Deposit Facility sebesar 25 bps menjadi 5,50% dan suku Bungan Lending Facility sebesar 25 bps menjadi 25 bps menjadi 7,00%. Kenaikan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global serta sebagai Langkah pre-emptive dan Dengan pandangan ke depan, upaya dilakukan untuk menjaga inflasi dalam kisaran sasaran 2,51% pada tahun 2024 dan 2025, sejalan dengan arah kebijakan moneter yang mendukung stabilitas. Di sisi lain, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran akan tetap berfokus pada pertumbuhan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Hal ini dilakukan sebagai Langkah antisipatif dinamika ekonomi keuangan global berubah karena risiko dan ketidakpastian meningkat karena perubahan arah kebijakan moneter AS, memberuknya ketegangan geopolitik Timur-Tengah, dan juga gangguan eknomi di Uni Eropa. Mendorong Bank Indonesia untuk mengambil langkah antisipasi untuk meningkatkan daya tahan rupiah yang jika nilainya jatuh maka kejadian seperti tahun 1998 akan Kembali terulang (Bank Indonesia, 2024).
Bedasarkan alasan diatas perhari ini telah terjadi PHK massal yang terjadi dalam kurun waktu 2022-2024. Bisa dilihat dari data berikut:
Dengan jumlah PHK yang tercatat pada 3 tahun tercatat bahwa terdapat 115,101 jumlah karyawan yang di PHK terakhir menunjukan ekonomi Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Indonesia hari ini memiliki angka pengangguran tertinggi se-ASEAN dengan angka pengangguran 7,195,000 pengangguran atau orang. ketakutan adanya meningginya dampak-dampak sosial lainnya seperti meningkatnya kriminalitas membayang-bayangi masalah sosial ini.
Dampak daripada kejatuhan kelas menengah ini adalah kehilangan Indonesia dalam menghadapi daripada bencana-bencana nasional seperti tahun-tahun sebelumnya. Pada tahun 2008 dan 2019 Indonesia menjadi salah satu negara yang tidak menghadapi bencana ekonomi yang besar saat pandemi COVID-19 seperti yang lalu. Golongan kelas menengah secara signifikan tidak terlalu berdampak pada permasalahan global karena mayoritasnya tidak menggunakan utang luar negeri seperti dollar ataupun menggunakan suku bunga bank dalam transaksinya namun jika adanya penurunan jumlah lapangan kerja akan berdampak buruk pada ekonomi Makro yang berimbas terhantamnya ekonomi para kelas menengah. Hal ini terlihat Penduduk kelas menengah Indonesia pada 2019 berjumlah 57,33 juta orang dengan kontribusi 43,3% terhadap total konsumsi rumah tangga. Angkanya terus menyusut hingga 48,27 juta orang pada 2023, dengan sumbangan hanya 36,8% ke konsumsi. Penyusutan ini akan menghilangkan ketahanan ekonomi yang selama ini mampu menyelamatkan Indonesia dari banyak krisis (Nicky Aulia Widadio & Viriya Singgih, 2024).
Bedasarkan penjabaran diatas menunjukkan betapa rentannya kelas menengah dan calon kelas menengah Indonesia untuk "turun kelas" dan dampak buruk yang menghantui turun kelasnya masalah ini menjadi sebuah alasan. Bahwa kenaikan BBM yang dalam waktu dekat akan menjadi katalisator terbesar untuk jatuhnya ekonomi masyarakat menengah dan Indonesia akan kehilangan ketahanan ekonomi yang dimiliki selama ini.
Transisi Energi di Indonesia
Indonesia masih bergantung pada sumber energi tidak terbarukan, khususnya Bahan Bakar Minyak (BBM) yang berasal dari pengolahan minyak mentah. BBM digunakan dalam berbagai sektor, termasuk transportasi, industri, dan rumah tangga. Total konsumsi BBM nasional mencapai sekitar 1,63 juta barel per hari. Dengan bertambahnya jumlah penduduk dan peningkatan produktivitas masyarakat, konsumsi BBM diperkirakan akan terus meningkat. Ketidakcocokan antara konsumsi minyak dan produksi nasional dapat menyebabkan ancaman kelangkaan sumber energi minyak, yang ditandai dengan mulai langkanya BBM, kenaikan harga BBM, terhambatnya aktivitas industri, dan penurunan devisa negara. Oleh karena itu, untuk memenuhi kebutuhan minyak dalam negeri, Indonesia terpaksa melakukan impor minyak. Ancaman-ancaman ini dapat mempengaruhi ketahanan energi nasional, sehingga perlu dilakukan upaya penghematan energi (konservasi energi) (Rosyid Ridlo Al Hakim, 2020).
Pemerintah Republik Indonesia bertanggung jawab untuk mencari solusi dalam memenuhi kebutuhan energi nasional, yang mencakup kebijakan pengembangan energi baru dan terbarukan, efisiensi energi, konservasi energi, serta diversifikasi sumber energi. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 5 Tahun 2006 mengatur tentang Kebijakan Energi Nasional (KEN) dan bauran energi di dalamnya. Mengingat tingginya konsumsi energi tidak terbarukan (dari sumber fosil), Undang-Undang No. 30 Tahun 2007 tentang Energi diterbitkan pada tahun 2007 untuk mengatur pemanfaatan energi secara nasional. Indonesia memiliki banyak potensi sumber energi baru dan terbarukan yang dapat digunakan untuk menggantikan ketergantungan pada energi tidak terbarukan yang berasal dari produk fosil (minyak) (Silitonga & Ahmad, 2020). Energi alternatif baru dan terbarukan adalah jenis energi yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan dan tersedia di alam. Penggunaan energi ini telah diatur oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden No. 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional untuk periode 2006-2025, yang menetapkan bahwa 17% dari pasokan energi harus berasal dari sumber energi terbarukan. Di Indonesia, bentuk energi baru dan terbarukan (EBT) yang tersedia meliputi panas bumi, air, biomassa, dan energi surya. Selain itu, perkembangan energi baru terbarukan yang sedang dikembangkan di Indonesia juga disajikan. Potensi Indonesia dalam bidang energi terbarukan antara lain.
Transisi menuju energi ramah lingkungan memerlukan biaya yang sangat besar, diperkirakan mencapai USD 50 miliar untuk transformasi Energi Baru Terbarukan (EBT) dan USD 37 miliar untuk sektor kehutanan, penggunaan lahan, dan karbon laut (Bisnis Indonesia, 5 Juni 2023). Menurut Institute for Essential Services Reform (IESR), pemerintah membutuhkan biaya antara USD 100 miliar hingga USD 125 miliar, dengan sektor kelistrikan saja memerlukan investasi sebesar USD 20 miliar setiap tahunnya. Sementara itu, International Renewable Energy Agency (IRENA) mengungkapkan bahwa Indonesia membutuhkan investasi sebesar USD 314,5 miliar dalam periode 2018-2030, atau rata-rata sekitar USD 17,4 miliar per tahun (katadata.co.id, 2023). Namun, realisasi investasi untuk pengembangan Energi Baru Terbarukan (EBT) masih sangat rendah. Pada tahun 2017, investasi mencapai USD 2 miliar, tetapi mengalami penurunan menjadi hanya USD 1,6 miliar pada tahun 2022. Upaya transisi energi ini sangat penting, mengingat sektor energi ditargetkan untuk mengalami penurunan yang paling signifikan dibandingkan sektor-sektor lainnya. Tulisan ini menganalisis tantangan- tantangan yang dihadapi dalam investasi untuk transisi energi di Indonesia (Sony Hendra Permana, 2023). Hal ini menjadi tantangan bagi permasalahan energi di Indonesia karena tanpa uang transisi energi akan mustahil untuk dicapai, masalah lainnya adalah Investasi dalam bidang energi bukanlah hal mudah karena waktu dalam investasi energi terbarukan bukanlah hal yang cepat.
Negara-negara yang seperti Swedia butuh 8 tahun untuk mencapai 50% penggunaan energi terbarukan dan proyeksinya adalah 100% dicapai pada tahun 2040. Negara seperti Jerman membutuhkan waktu sampai dengan 2034 untukmencapai penggunaan 100% pada energi terbarukan (Climate Council, 2022). Negara dengan ekonomi terbesar di asia hanya mampu memproyeksikan untuk bisa mencapai di tahun 2060 dengan proyeksi sekitar 70% yang berhasil ditransisikan dari mesin yang berbasis karbon (dnv, 2024). Sedangkan negara tetangga seperti Malaysia memproyeksikan di tahun 2050 untuk melakukan transisi energi terbarukan. Hal ini menandakan selain daripada kekurangan energi Indonesia juga harus memiliki konsistensi dalam memajukan energi terbarukan.
Penutup