Mohon tunggu...
Prayitno Ramelan
Prayitno Ramelan Mohon Tunggu... Tentara - Pengamat Intelijen, Mantan Anggota Kelompok Ahli BNPT

Pray, sejak 2002 menjadi purnawirawan, mulai Sept. 2008 menulis di Kompasiana, "Old Soldier Never Die, they just fade away".. Pada usia senja, terus menyumbangkan pemikiran yang sedikit diketahuinya Sumbangan ini kecil artinya dibandingkan mereka-mereka yang jauh lebih ahli. Yang penting, karya ini keluar dari hati yang bersih, jauh dari kekotoran sbg Indy blogger. Mencintai negara dengan segenap jiwa raga. Tulisannya "Intelijen Bertawaf" telah diterbitkan Kompas Grasindo menjadi buku. Website lainnya: www.ramalanintelijen.net

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Artikel Utama

Serangan Cyber Model Baru Tidak Hanya Meretas Komputer Pemerintah, tapi Meretas Pikiran Publik

20 Desember 2020   17:06 Diperbarui: 21 Desember 2020   04:21 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi cyber attack. (sumber: pixabay)

Mengutip dari Washington Post, disebutkan bahwa Badan intelijen Rusia baru-baru ini diyakini berada di balik peretasan sistem komputer di Departemen Keuangan dan lembaga federal lainnya. 

Dikatakan peretasan  ke lusinan jaringan komputer paling kritis di Amerika, dan  yang secara luas dikaitkan dengan Rusia. Kontra intelijen menyebutnya, semakin jelas bahwa peretasan itu masif, belum pernah terjadi sebelumnya, dan melumpuhkan.  

Tom Bossert, yang menjabat sebagai penasihat keamanan dalam negeri untuk Presiden Trump, menulis, "Perlu waktu bertahun-tahun untuk mengetahui dengan pasti jaringan mana yang dikendalikan Rusia dan mana yang baru saja mereka kuasai dan kendalikan."

Alex Stamos dari Stanford menggambarkannya sebagai "salah satu kampanye peretasan terpenting dalam sejarah".  

David E. Sanger dari The New York Times, yang pernah menulis beberapa buku tentang cyber sebagai senjata, ikut menulis artikel dan menyebutkan, pelanggaran secara clandestine  itu, "Di antara kegagalan intelijen terbesar di zaman modern".

Pada tahun 2016, dua sarjana di Rand Corp. menulis makalah yang menggambarkan model propaganda "firehose of falsehood" Rusia.

Model ini adalah teknik propaganda di mana sejumlah besar pesan disiarkan dengan cepat, berulang-ulang, dan terus menerus melalui berbagai saluran (seperti berita dan media sosial) tanpa memperhatikan kebenaran atau konsistensi. 

Sejak 2014, ketika berhasil digunakan oleh Rusia selama aneksasi Krimea, model ini telah diadopsi oleh gerakan politik lain di seluruh dunia, yang pernah dipergunakan.

Di Indonesia model pengondisian itu telah diungkap saat pilpres 2019, dimana Pak Jokowi terus  diserang secara masif. Tidak bermaksud membuka lama, tetapi perlu disebut sebagai role model dalam analisis serta prediksi dan  langkah kontra fungsi intelijen (pengamanan informasi).

Saat ini model operasi conditioning oleh organisasi intelijen sangat berbeda dari propaganda era Perang Dingin. Pendekatan perusakan model Rusia saat ini bekerja disesuaikan dengan perkembangan jaman dengan teknologi dan platform media sosial yang berlaku.  

Ada dua fitur utama "Jumlah saluran dan pesan yang tinggi dan kesediaan yang tidak tahu malu untuk menyebarkan kebenaran parsial atau fiksi secara  langsung", tidak ada upaya pada konsistensi atau kredibilitas.  

Mengutip seorang pengamat intelijen, "Propaganda model Rusia  baru, menghibur, membingungkan, dan membanjiri penonton dan pembaca di medsos, bertumpu pada prinsip bahwa orang akan diyakinkan ketika mereka mendengar pesan yang sama berkali-kali dari berbagai sumber, tidak peduli seberapa bias.  

Ditambahkan pemahaman intuitif tentang cara kerja media sosial. Berbeda dengan teori penggalangan masa lalu saat penulis mengikuti sekolah intelijen , pengondisian tidak dibenarkan secara terus menerus, karena akan terjadi aliran 'pukul balik' ke pembuat.

Model Rusia saat ini, dikatakan, "Jika Anda membuat klaim yang benar-benar keterlaluan, itu akan menarik perhatian, di mana perhatian itu akan menyebar semakin jauh dan meluas dan memastikan bahwa orang yang mendengarnya berulang kali seiring dengan berjalannya waktu mulai mempercayainya".

Kebenaran yang membosankan akan mati di Twitter, sementara kebohongan sensasional menjadi viral dan (yang paling mengganggu) dari waktu ke waktu menjadi setengah kebenaran. Kebohongan yang sensasional jauh lebih efektif daripada kebenaran yang rumit.

Berita dengan sensasi parah makin di sukai oleh media mainstream, elektronik dan penggiat medsos di Indonesia yang jumlahnya sudah diatas 130 juta orang, mayoritas millenial.

Pandemi covid-19  yang cukup menimbulkan stress, mungkin telah mempercepat kecenderungan keberhasilan disinformasi tersebut. Gadget semakin maju teknologinya dan merupakan santapan dan hiburan hati dan pikiran setiap saat.

Fakta yang paling mengejutkan  pada tahun 2020 ini terlihat di AS, dimana setelah kalah dalam pilpres melawan Biden, bukan berita baru bahwa Trump akan berusaha membalikkan hasil pemilu dengan model cipkon model Rusia tersebut.  

Banyak ahli strategi  cipta kondisi di Amerika yang  memperkirakan dia pasti akan mencobanya.  

Tetapi yang  menakjubkan adalah, dari hasil  jajak pendapat, ada 60 juta orang Amerika Serikat yang percaya pernyataan Trump itu serta serangkaian kebohongan yang mendukungnya.

Jadi masalahnya, bukan hanya Rusia yang telah meretas sistem komputer Amerika.  Tampaknya juga telah meretas pikiran masyarakat Amerika.

Untuk Indonesia, para ahli conditioning pihak pemerintah maupun lawan pemerintah pasti sudah paham dan mengikuti model-model cipta kondisi seperti di atas.

Masalahnya, banyak yang hanya percaya bahwa kekeruhan yang terjadi di Indonesia hanyalah ulah dari dalam negeri. Secara miniatur mungkin ada, tetapi grand strategi ada di luar sana.

Banyak dari kita (elit, middle class dan grass root) terkena pengondisian  tidak tahu atau tidak paham adanya operasi intelijen clandestine dari luar dengan model Rusia yang melakukan pressure ke pemerintah dan memengaruhi publik.

Siapa? Badan-badan intelijen kita, penulis yakini sudah paham, sehingga kontra intelijen lebih efektif. Semoga bermanfaat sebagai penambah wawasan. Pray Old Soldier.

Penulis: Marsda TNI (Pur) Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun