Pertanyaannya: seberapa kuatkah kita, dari sisi anggaran, proses pembelian, diplomasi untuk merealisasikan Su-35? Menurut kabar, imbal beli dengan komoditas sulit dilaksanakan, jelas Menkeu dalam kondisi saat ini keberatan kalau harus membayar penuh US$1,14 miliar. Nampaknya Menhan dan Menlu tetap 'kekeuh", ataukah ada anggaran pos lain yang alan dikorbankan?
Sebagai purnawirawan TNI AU, penulis jelas sangat mendukung TNI AU punya Su-35, seperti yang ditulis. Akan tetapi kalau dari persepsi intelijen terbaca kita harus berhadapan dengan AS sebagai super power (agak die hard), rasanya kecil bisa menang. Kalau perlu kita minta kompensasi ke AS, tapi siapa pejabat politik yang mereka bisa dengar? Rasanya belum ada yang mampu menembus birokrasi khusus.
Mungkin presiden dapat mengutus pejabat tinggi yang dinilai netral oleh AS, paham soal politik, diplomasi dan pertahanan sebagai "duta" negara mewakili presiden ke AS. Waktu cukup pendek, sebelum Amerika menerapkan langkah lama containtment strategy, stick and carrot.
Pada artikel Februari 2016 di bawah ini penulis mengulas Sukhoi-35 dari beberapa persepsi, sengaja dibuat versi WA di bagian pentingnya. Selamat membaca, semoga bagi yang kurang paham ancaman intelijen clandestine menjadi jelas dan tidak keliru menilai analisis penulis sebagai insan udara "the blues."
Baca: DENGAN MEMILIKI SUPER FLANKER SU-35, INDONESIA JELAS MAKIN DISEGANI
Oleh: Marsda Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H