Beberapa hari yang lalu penulis mengulas tentang terhambatnya realisasi kontrak pembelian 11 pesawat tempur Rusia Su-35 antara Rusia dengan Indonesia.Â
Diutarakan, Amerika tidak suka pembelian alutsista canggih dari Rusia ini, bahkan mengancam dengan UU CAATSA terhadap orang perorang di negara yang berhubungan dibidang pertahanan dan intelijen dengan Rusia. Menhan Prabowo dan Presiden Jokowi masuk yang bisa dibidik
Sukhoi-35 ini secara teknis telah dipilih TNI AU untuk menggantikan pesawat tempur F5E Tiger II (Skadton 14) yang sudah habis masa pakainya. Kontrak yang sudah ditandatangani Menhan RI tahun 2017 hingga kini tetap belum dapat direalisasikan.
Pada 15 Februari 2016, Pray menulis artikel --di website Ramalan Intelijen-- saat itu terlihat Australia sangat gundah kalau TNI AU memiliki Su-35.
Kini terbukti bahwa 11 Super Flanker itu akan mengubah balance of power kawasan. Mirip situasi tahun 1961, saat AURI punya pesawat pembom strategis TU-16 dan TU-16KS. Australia gundah dan terancam, akhirnya terpaksa membeli F-111 untuk mengimbangi.Â
Diplomasi pertahanan Indonesia (Bung Karno) saat itu sukses, Belanda atas saran AS kemudian melepas Irian Barat ke Indonesia
Nah, dalam perkembangan geopolitik dan geostrategi saat ini, AS menyatakan sekutunya di Asia Pasifik adalah Jepang, India, dan Australia. Musuh utamanya Rusia dan China.Â
Amerika dengan konsep IndoPacific (hire road) ingin Indonesia menjadi mitranya, tetapi dengan kebijakan politik LN bebas dan aktif Indonesia, AS menilai soal kemitraan belum di respons pihak Indonesia.
Di sinilah muncul hambatan pengadaan Alutsista Rusia untuk TNI AU. Untuk melindungi psikogis Australia sebagai sekutunya, AS akan terus mengunci Indonesia jangan sampai punya Su-35.Â
Bahkan orang perorangan (pejabat) diancam dengan UU CAATSA. Sementara dari sisi kepentingan lainnya, pemerintah AS jelas ingin Indonesia membeli pesawat tempur F-16 Viper mereka.
Kini Presiden Jokowi ataupun Menhan Prabowo sebaiknya kembali berhitung tetap melanjutkan membeli Su-35 atau menunda dan bisa mungkin membatalkan dan memikirkan alternatif lain.
Pertanyaannya: seberapa kuatkah kita, dari sisi anggaran, proses pembelian, diplomasi untuk merealisasikan Su-35? Menurut kabar, imbal beli dengan komoditas sulit dilaksanakan, jelas Menkeu dalam kondisi saat ini keberatan kalau harus membayar penuh US$1,14 miliar. Nampaknya Menhan dan Menlu tetap 'kekeuh", ataukah ada anggaran pos lain yang alan dikorbankan?
Sebagai purnawirawan TNI AU, penulis jelas sangat mendukung TNI AU punya Su-35, seperti yang ditulis. Akan tetapi kalau dari persepsi intelijen terbaca kita harus berhadapan dengan AS sebagai super power (agak die hard), rasanya kecil bisa menang. Kalau perlu kita minta kompensasi ke AS, tapi siapa pejabat politik yang mereka bisa dengar? Rasanya belum ada yang mampu menembus birokrasi khusus.
Mungkin presiden dapat mengutus pejabat tinggi yang dinilai netral oleh AS, paham soal politik, diplomasi dan pertahanan sebagai "duta" negara mewakili presiden ke AS. Waktu cukup pendek, sebelum Amerika menerapkan langkah lama containtment strategy, stick and carrot.
Pada artikel Februari 2016 di bawah ini penulis mengulas Sukhoi-35 dari beberapa persepsi, sengaja dibuat versi WA di bagian pentingnya. Selamat membaca, semoga bagi yang kurang paham ancaman intelijen clandestine menjadi jelas dan tidak keliru menilai analisis penulis sebagai insan udara "the blues."
Baca: DENGAN MEMILIKI SUPER FLANKER SU-35, INDONESIA JELAS MAKIN DISEGANI
Oleh: Marsda Pur Prayitno Wongsodidjojo Ramelan, Pengamat Intelijen.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H