Beberapa waktu terakhir kita menyimak ada geliat politik yang kemudian menjurus kepada ancaman stabilitas keamanan.
Pada era demokrasi yang dinilai kebablasan, maka ulah kegiatan politik sekelompok orang, bila ditelisik, bisa masuk ranah subversi atau makar dan itu dianggap hal yang lumrah.
Demonstrasi mahasiswa di beberapa kota, demo anak-anak STM di Jakarta kemudian berakhir rusuh. Lempar batu, merusak fasilitas umum, bakar mobil ya dianggap bisa dan boleh dilakukan. Polisi anti huru- hara terbatas gerakannya, karena ada rasa khawatir pelanggaran HAM terhadap pendemo. Aparat keamanan dilarang bawa senjata api, pake tungket rotan, tameng dan water canon.
Akibatnya di Wamena terlihat pendemo (pemberontak?) mampu menyandera rakyat tak berdosa, dan membakar hidup-hidup, dibacok, dipanah, sadistis.
Rumah, toko-toko orang Bugis dan Padang dibakar, terjadilah eksodus. Mendatang lalu semuanya keluar, yang akan repot ya rakyat Papua sendiri, belum terlatih jadi pedagang
Antara Subversi dan Makar
Dari kegiatan demo mahasiswa ke DPR dan DPRD, tuntutan pokoknya pembatalan RUU KPK dan RUU KUHAP. Pada perkembangannya, dinilai demo-demo itu sebagai warming up dan akan disusul dengan demo-demo lain yang diharapkan si perancang lebih besar.
Targetnya kini makin gamblang, mau menghalangi pelantikan presiden dan wapres 20 Oktober 2019. Pokoknya si perancang mau menghalangi/menurunkan Pak Jokowi presiden periode 2019-2024.
Dibelakang itu pada era transparansi, terbaca ada kongkalikong beberapa tokoh politik dan pensiunan tentara yang mau menggerakkan masyarakat, mahasiswa, umat Islam dengan tujuan satu, mengagalkan pelantikan dan bahkan memaksa Presiden Jokowi mundur .
Gedung DPR ini dalam sejarah pernah diduduki mahasiswa padap zaman Pak Harto berkuasa, lantas menterinya pada mundur, Pak Harto give up, menyerahkan jabatan kepada wapres pak Habibie. Apakah pola ini yang mau dipakai?
Saat sekolah intel, upaya menjatuhkan sebuah penerintahan yang sah itu disebut subversi dan bisa juga makar. Sarananya seperti, riot (kerusuhan), sabotase, PUSProp, teror, pembunuhan dan lain-lain.
Subversi adalah tindakan-tindakan berupa rencana maupun usaha yang dilakukan dalam rangka menumbangkan kekuasaan yang sah dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan konstitusi negara.
Subversi merujuk kepada pemberontakan dalam merobohkan struktur kekuasaan termasuk negara.
Sasaran yang dituju oleh tindakan subversi biasanya merupakan bidang-bidang yang signifikan seperti militer, ekonomi, politik, sosial, budaya, serta psikologi.
Dalam teori Subversi bila sumber ancaman dari luar negeri, principle luar selalu berkolaborasi dengan sumber ancaman yang bisa diperalatnya dari dalam negeri.
Saat ini penulis membaca sedang terjadi subversi luar, karena intervensi (campur tangan) asing tidak berhasil memengaruhi pemerintah RI khususnya dalam bidang politik. Selain subversi, dari peneropongan yang juga sedang terjadi bisa dilategorikan sebagai makar.
Dari sisi hukum pidana, "makar" adalah bentuk kejahatan yang dapat mengganggu keamanan negara meliputi makar yang dilakukan kepada Presiden Jokowi, wilayah negara, dan pemerintahan seperti yang diatur dalam KUHP pasal 104, 106, dan 107 (Suatu tindakan dapat disebut makar jika kejahatan ditujukan kepada pemimpin sebuah negara seperti presiden dan wakil presiden).
Kedaulatan dan keutuhan NKRI merupakan harga mati yang tidak dapat ditawar lagi. Untuk itu semua usaha yang bertujuan mengganggu kedaulatan akan ditindak tegas dan diancam dengan hukuman yang berat sesuai aturan dalam konstitusi Indonesia.
Karena subversi sangat berbahaya pernah diterbitkan Undang-undang nomor 11/PnPs/Tahun 1963 mengenai pemberantasan kegiatan subversi.
Akan tetapi pada tahun 1999 saat masa reformasi undang-undang ini dicabut karena dianggap bertentangan dengan hak asasi manusia dan asas negara yang berlandaskan hukum. Sementara pada saat ini RUU Keamanan Nasional belum selesai.
Ancaman Pelantikan Presiden
Apa yang sedang terjadi di lapangan? Penulis melihat kini terjadi upaya pengondisian (conditoning), terkait gerakan berbau subversi ataupun makar, yaitu PUSProp (Perang Urat Syaraf dan Propaganda) berupa propaganda plus kegiatan dari lawan Pak Jokowi.
Propaganda dirancang menyampaikan pesan yang benar, tetapi juga menyesatkan di mana isinya hanya menyampaikan fakta-fakta pilihan yang menghasilkan reaksi emosional daripada reaksi rasional. Tujuannya adalah mengubah pikiran kognitif narasi subjek dalam kelompok sasaran untuk kepentingan tertentu.
Teori propaganda "Let them think let them decide" pernah penulis sampaikan pada beberapa artikel terdahulu, dengan pemahaman atau tujuan akhir, "rakyat dibuat berfikir dan rakyat yang akan memutuskan."
Upaya deligimitasi ditiupkan agar rakyat memutuskan bahwa beliau tidak mampu bertindak dan memutuskan dalam kapasitas sebagai presiden
Kesimpulan dan Saran
Upaya pelengseran Presiden Jokowi harus diwaspadai kedua belah pihak. Kini terbentuknya dua kubu berseberangan, pro dan anti semakin masif. Bila tidak hati-hati potensi konflik fisik cukup besar dan berbahaya.
Mengacu tulisan penulis terdahulu, kelompok yang tidak puas serta kelompok ambisi dan pendukung Paslon 02 kini nampaknya lepas kontrol dan diluar Prabowo (begitu?).
Tanpa disadari, siapapun yang anti Jokowi, mereka kini sedang dimanfaatkan principle/intelijen asing untuk kepentingan nasional mereka.
Sebagai Kepala Negara yang sah, Presiden Jokowi dilindungi konstitusi, setiap ancaman kelangsungan pemerintahannya akan sulit digoyang oleh parlemen jalanan. Walau narasi propaganda terus ditiupkan oleh lawan politik, posisinya diperkirakan masih cukup kuat dan tidak perlu diragukan. Counter terapi harus pas.
Menurut analis intelijen AS, bila terjadi turbulensi polkam di Indonesia yang dapat menyelesaikan adalah TNI.
Hambatan pelantikan bisa terjadi apabila kehadiran anggota MPR/DPR tidak mencapai kuorum. Tekanan yang dilakukan menginginkan Pak Jokowi mundur, tetapi yang perlu diingat, "cost"-nya mahal bagi bangsa Indonesia bila ini terjadi. Itulah target yang dikehendaki si principle sebagai akibat efek perkembangan geopolitik kawasan, persaingan AS dengan China.
Sebagai saran penutup, untuk menetralisir ancaman luar negeri dengan mengirim team intelijen strategis Kemhan ke AS. Bila signal kemitraan pemerintah Indonesia ke AS jelas, dan mereka bilang stop, semua yang bergemuruh itu akan berhenti.
Tekanan dalam negeri dengan penerapan law inforcement yang berlaku (teori potong kepala ular). Jangan kita korbankan persatuan dan kesatuan yang ada. Miris bila membuka data base, membaca tulisan2 penulis terdahulu tentang konflik dan kehancuran Syria. Semoga Indonesia dijauhkan dari mara bahaya, Aamiin. (Pray, Old Soldier)
Jakarta, 30 September 2019.
Penulis : Marsda Pur Prayitno Ramelan, Pengamat Intelijen
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H