Nah, dengan tiga contoh kasus diatas, apakah kita sependapat dengan istilah intelijen kecolongan? Sel teror yang aktif, walaupun kecil akan tetap menjadi ancaman potensial. Tiga serangan dalam tiga bulan terakhir di luar Timur Tengah menunjukkan bahwa kelompok ini telah tumbuh menjadi lebih kuat. Simpatisannya menjadi lebih masif. Perubahan signifikan dalam strategi negara-negara Barat yang terlibat dalam konflik Suriah telah mampu menekan ISIS di Suriah dan Irak. Koalisi pimpinan AS akan memulai operasi militer skala penuh untuk menghentikan teroris mengancam "oposisi moderat" di Suriah, mengerahkan pasukan darat NATO dan mengambil kendali dari infrastruktur minyak dan logistik penting.
Kini yang perlu kembali dianalisis oleh aparat intelijen, terorisme adalah sebuah fenomena yang sulit untuk dimengerti. Seseorang tanpa pendidikan yang berarti dapat melakukan aksi spektakuler dan bahkan menyebabkan goyahnya stabilitas keamanan sebuah negara. Aksi yang dlakukan teroris mempunyai dimensi yang kuat dan dapat memberikan tekanan kepada pemerintah dimana aksi tersebut berlangsung.
Intelijen dan terorisme berdiri pada sisi yang sama sebagai pengetahuan tetapi dalam implementasinya counter terrorism adalah badan yang berusaha meniadakan aksi/serangan teror. Di beberapa negara penanganan teror umumnya dilakukan oleh badan intelijen serta penegak hukum.
Di Indonesia, operasi penanggulangan terorisme kini lebih dikenal masyarakat dilakukan oleh satuan khusus Densus 88 Mabes Polri sebagai ujung tombaknya. Selain itu terdapat institusi lain yang juga aktif menangani aksi teror yaitu BIN (Badan Intelijen Negara), BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme), Bais TNI serta beberapa institusi-institusi lainnya yang memiliki organisasi intelijen. Densus 88 merupakan ujung tombak taktis terdepan yang ditugasi melakukan operasi penangkalan serangan teror. Sementara BNPT lebih sebagai badan strategis dalam penanggulangan terorisme. Apakah ini cukup? AS sebagai negara besar saja kini resah dan kemudian membentuk gugus tugas kontra teror di Homelend Security yang dipimpin oleh seorang pejabat dari intelijen, dengan anggotanya dari 11 departemen.
 [caption caption="Ilustrasi, ancaman terhadap masyarakat seperi ini oleh sel ISIS akan semakin potensial dan nyata, dan Presiden Jokowi menekankan: " Intelijen perlu bersinergi dan menghilangkan egosentrisme (Foto : cnnindonesia)"]
Â
Menangkal terorisme bukan pekerjaan satuan intelijen taktis saja, tetapi akan lebih sukses apabila dilakukan oleh beberapa institusi intelijen strategis yang yang jauh lebih komprehensif dan tetap bersinergi dengan satuan taktis. Tuduhan intelijen kecolongan memang tidak mengenakkan disaat aparat telah melakukan upaya keras penanggulangan. Karena itu langkah yang lebih terstruktur dan teratur kini menjadi tuntutan yang tidak dapat ditunda lagi. Aparat keamanan perlu melakukan evaluasi kontra teror dari sisi Undang-Undang, aliran dana, sistem baru perekrutan serta manajemen operasi.
Intelijen tidak perlu menjawab atau membela diri dari tekanan atau tuduhan publik, karena intelijen adalah badan tertutup yang bekerja secara clandestine. Pejabat institusi intelijen tidak perlu memunculkan diri di publik atau media. Sistem pengawasannya sudah ada. Yang terpenting adalah membuktikan mampu menggagalkan setiap rencana aksi teror. Seperti dikatakan Presiden Jokowi, sudah saatnya kontra teror bersinergi untuk menggulung mereka. Apabila dalam waktu dekat tidak terlaksana, masih ada sel-sel lain binaan Bahrumsyah dan Bahrun Naim atau mungkin tokoh ISIS lainnya, yang terkompartmentasi secara clandestine siap menyerang setiap saat, kembali terjadi tanpa diketahui.
Penulis : Marsda TNI (Pur) Prayitno Ramelan, Analis Intelijen www.ramalanintelijen.net
Artikel terkait :