Mohon tunggu...
ono Prayetno
ono Prayetno Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai semua Ciptaan Tuhan tanpa membeda bedakan

Bekerja sebagai Pramuwisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sudah Tau Haram Kok Diterima?

21 Maret 2019   06:32 Diperbarui: 21 Maret 2019   07:59 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suatu hari aku berjumpa dengan seorang teman, kami bercerita banyak tentang pekerjaan kami masing-masing. Namanya cerita tentang pekerjaan sudah pasti juga bercerita tentang penghasilan. Dan ketika kami saling tukar informasi tentang gaji dia bilang, "kalo gaji kami kecilnya."

"Tapi uang masuknya yang banyak." katanya pada suatu hari.

Uang masuk di sini bisa diartikan sebagai uang yang didapat dengan cara tidak wajar mulai dari upaya kongkalikong dengan sesama pekerja atau membuat bon belanjaan fiktif, bon minyak fiktif, praktik mark-up dan tindakan-tindakan kurang baik lainnya yang bisa merugikan orang lain maupun perusahaan bahkan Negara melalui praktik korupsi.

Dan biasanya para pelaku baik yang langsung maupun pelaku tak langsung mereka saling menjaga dan saling mengerti untuk sama-sama menjaga kerahasiaannya agar tidak diketahui oleh orang lain di sekitarnya.

Yang lucunya uang-uang hasil dari tindakan curang ini bagi sebagian orang dianggap uang haram, tapi kok diterima juga?

Kawanku berkisah menurutnya uang-uang hasil dari kegiatan curang ini biasanya dia tidak berikan ke rumah karena dia tidak mau kalau anak isterinya "dinafkahi" dengan menggunakan uang yang didapat dari hasil yang curang.

Jadi untuk itu dia selalu menyisihkan uang tersebut di selipan-selipan dompetnya.

Dan uang itu digunakannya untuk membeli pakaian atau aksesoris mobilnya juga untuk pergi ke salon perawatan kulit, juga kalau ada pengemis dia selalu memberikannya dengan menggunakan "uang haram" itu tadi.

Dalam hatiku, "ternyata masih ada juga nilai nilai kebaikan yang melekat di hatinya."

Tapi kenapa hatinya tidak bisa membedakan antara tindakan yang salah dan yang benar?

Antara yang haram dan yang halal?

Padahal tadi di dompetnya dia sudah melakukan pemisahan itu dengan membuat batas-batas kalau uang dari hasil kecurangan tak boleh diberikan ke rumah.

Hal hal seperti ini memang menjadi sebuah ironi di masyarakat kita di mana kejujuran merupakan sesuatu yang langka. "Banyak orang pintar tapi sedikit yang jujur."

Padahal setelah uang itu didapat dia pun bingung dan gelisah mau disimpan di mana.

Kalau untuk pegawai kelas-kelas bawah mungkin masih bisa diselipkan di dompet atau di tas kerja seperti yang dilakukan oleh kawanku itu agar tidak diketahui oleh istri.

Tapi kalau sudah sekelas pejabat yang "uang masuknya" ratusan juta bahkan miliaran mau taruh di bank takut ketahuan PPATK, bawa ke rumah kalau punya istri yang kritis pasti ditanya uang itu asalnya dari mana.

Akhirnya karena bingung mau taruh di mana, uang itu kemudian didiamkan atau disimpan di dalam ruangan kantor.

Ketika kasusnya terbongkar uang hasil kejahatan yang belum sempat dinikmati tadi pun akhirnya disita oleh KPK.

Seperti yang baru saja terjadi di Kementerian Agama Republik Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun