Mohon tunggu...
ono Prayetno
ono Prayetno Mohon Tunggu... Freelancer - Mencintai semua Ciptaan Tuhan tanpa membeda bedakan

Bekerja sebagai Pramuwisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pengalaman Pertamaku Mengenal Kopi di Tanah Gayo

21 Februari 2018   21:08 Diperbarui: 16 Oktober 2018   08:00 803
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto: Tribunnews.com

Pagi itu dari Medan kami berangkat pukul 6.00 sesuai appointment yang sudah disepakati dengan groupku yang terdiri dari delapan orang dari berbagai Negara ada yang dari Canada, Amerika dan dua orang dari mexico bahkan ada yang dari Spanyol.

Tujuan kami adalah kota Takengon dari mana kopi gayo berasal.

Kami harus berangkat cepat takut kemalaman karena jarak antara Medan dan Takengon lebih dari 380 km kalau dihitung dengan waktu lebih kurang 12 s/d 14 jam.

Sebelum sampai di Takengon kami ada berhenti beberapa kali sekali di Langsa dan sekali lagi Lhokseumawe untuk makan siang.

Orang orang didalam group ini adalah para roaster sekaligus mereka juga pengusaha kede kopi di negeri asalnya. Semuanya Dari ke delapan orang ini adalah mereka yang tergabung dalam sebuah koperasi yang disebut Cooperative coffee yang berpusat di Montreal Canada yang sudah sejak lama menjalin kerjasama dengan koperasi kopi disekitar kabupaten gayo lues,  Takengon dan Bener meriah.

Tugasku kali ini adalah sebagai penterjemah, antara anggota beberapa koperasi kopi disini dengan Cooperative Coffee.

Awalnya aku agak kaku juga menghadapi wajah wajah polos para petani kopi disini tapi kemudian setelah meminum kopi pertamaku disebuah gedung koperasi dimana pertemuan diadakan akhirnya perasaan rileks itu muncul juga mungkin dikarenakan effect kafein yang kuminum.

Didalam gedung pertemuan kulihat ada beberapa Mangkok atau Cawan besar berwarna putih yang sudah berisi Kopi yang awalnya kupikir untuk dihidangkan kepada para tetamu yg juga adalah calon buyers.

Tak taunya ternyata itu adalah untuk sampel "Coffee Cupping" atau uji rasa kopi.

Dari sinilah awal pertama kali aku tahu ternyata kegiatan"Coffee Cupping" ini adalah sebuah prosesi untuk mengetahui kualitas dan karakter rasa kopi dan berbagai aspek  lainnya.

Dari  sini pula kemudian, para roaster sekaligus calon pembeli bisa langsung memesan jenis kopi yang yang diinginkan karena kulihat setelah mereka mengujinya dengan cara mencicipi kopi sampel tadi kemudian memuntahkannya balik.

Lantas mereka masing masing mencatat apa yang sudah mereka cicipi atau cupping dan dari mangkok atau cawan yang nomer berapa.

Lalu membersihkan mulutnya dengan air putih yang sudah disiapkan dengan cara berkumur kumur.

Mulut dibersihkan agar lidah netral kembali dan siap untuk melakukan uji rasa di Mangkok kopi berikutnya.

Biasanya orang yang melakukan cupping ini atau biasa juga disebut sebagai Cupper adalah orang orang yang sudah terlatih dan punya sensitifitas tinggi tentang cita rasa kopi menggunakan indera perasanya.
Lalu kemudian menterjemahkan secara akurat dalam bentuk  verbal.

Karena kalau sempat salah, bisa bisa kopi yang sampai ketangan pembeli tidak sesuai dengan kriteria yang sudah disepakati.

  • Dan para calon buyer sini selain mereka membeli kopi langsung dari petani disini mereka juga mengedukasi para petani tentang hak hak mereka sebagai petani yang selalu dimarginalkan oleh para pebisnis kopi, diantaranya mereka dalam paparannya selalu mengingatkan agar para petani bersatu jangan sampai petani yang punya kopi tapi pihak lain yang menentukan harga. Juga dari tim Cooperative Coffee menerangkan kepada petani kopi bahwasanya ketika mereka menghidangkan kopi kepada pelanggannya mereka selalu membagikan cerita tentang kisah kehidupan petani kopi disini. Agar terjalin hubungan emosional antara petani kopi dan penikmatnya.

Setelah acara biasanya dilanjutkan dengan mengunjungi langsung kebun-kebun kopi yang dilakukan secara organik.

Dan tidak lupa disetiap kunjungan ke koperasi koperasi tuan rumah selalu menyuguhkan kopi terbaiknya untuk kami nikmati.

Dan ini juga merupakan awal dimana aku mulai menyukai kopi yg digiling bukan yang digunting.

Kopi giling yang memberikan sensasi ketika masih dikulum dan membekas meninggalkan rasa diantara langit-langit mulut dan pangkal paling bagian dalam lidah. 

Nikmat memang sungguh nikmat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun