Pertama-tama, kita harus menyadari bahwa batin kita jarang berada dalam kondisi yang damai; justru sebaliknya, ia sangat kasar, liar, dan belum ditaklukkan.
Apa maksudnya batin yang kasar, liar, dan belum ditaklukkan?
Sebagai contoh, kalau kita ingin melakukan kebajikan, batin sangat susah sekali diminta untuk melakukannya. Kita bahkan harus berjuang habis-habisan, berjuang mati-matian untuk membangkitkan batin yang bajik.
Sebaliknya, terkait dengan ketidakbajikan atau pikiran buruk atau tindakan buruk, batin kita bisa langsung melakukannya tanpa upaya apa pun.
Di biara saya, Dagpo Dratsang, ada sebuah tradisi, yaitu penegak disiplin akan memberikan nasihat kepada kumpulan besar anggota Sangha. Salah satu nasihat adalah analogi yang berkaitan dengan kondisi batin kita saat ini. Analoginya: ketika kita hendak melakukan kebajikan atau membangkitkan pikiran bajik di dalam batin kita, ini ibarat mendorong seekor keledai untuk menaiki tebing yang curam atau terjal; sedangkan di sisi lain, untuk membangkitkan pikiran tak bajik, kita tak perlu bersusah payah melakukannya; pikiran tak bajik mengalir begitu saja ibarat aliran air dari atas gunung ke dasar lembah.
Analogi ini sangat tepat untuk menggambarkan kondisi batin kita saat ini.
Cobalah untuk terbuka dan jujur pada diri kita sendiri ketika melihat batin, melihat cara kerjanya, dan apa yang terjadi di dalamnya.
Sebagai contoh, amatilah batin kita saat akan melakukan kebajikan seperti belajar Dharma atau memeditasikan Buddha. Ketika kita memeditasikan Buddha, apakah Buddha bisa langsung muncul di dalam batin kita? Seberapa mudah Buddha bisa muncul di dalam batin kita? Tentu saja, kita harus mengakui bahwa Buddha takkan muncul segampang itu. Kalau pun muncul, paling-paling ia hanya muncul sekilas saja, begitu singkat, lalu buyar. Dengan demikian, kita bisa mengamati betapa batin kita sangat sulit untuk melakukan kebajikan.
Contoh yang lebih mengena lagi terkait dengan aktivitas mendengarkan ajaran. Meski kita sudah membangkitkan motivasi bajik di awal sesi ajaran, namun seiring dengan berlalunya waktu, tiba-tiba sudah muncul bentuk pikiran lain seperti memikirkan rumah, keluarga, sahabat, pekerjaan, apa yang harus dilakukan, dsb.
Coba amati apa-apa saja yang terjadi di dalam batin kita ketika sedang mendengarkan ajaran. Kapanpun kita berupaya untuk memfokuskan batin kita pada kebajikan, fokus mudah sekali untuk buyar begitu saja. Tanpa fokus, kita yang sedang duduk menyimak ajaran akan merasa santai, makin santai, makin santai, dan akhirnya mengantuk.
Demikianlah kondisi batin kita jika menyangkut kebajikan.
Di sisi lain, terkait dengan ketidakbajikan seperti amarah, iri hati, dan kemelekatan, apakah kita perlu duduk dan berkonsentrasi dengan posisi meditasi untuk membangkitkan mereka?