Setelah mengambil perlindungan yang sesungguhnya kepada Triratna, maka ada serangkaian pagar-pagar perilaku (sila) yang harus kita jaga untuk melatih kewaspadaan dan konsistensi dari tubuh, ucapan dan batin kita dalam praktik berlindung. Ada hal-hal yang harus kita lakukan (disebut sebagai sila positif) dan ada hal-hal yang tidak boleh kita lakukan (disebut sebagai sila negatif) terkait dengan objek Tisarana.
Salah satu sila yang harus kita jaga setelah mengambil Tisarana adalah kita harus selalu bisa melihat bahwasanya lukisan atau arca Buddha pada dasarnya adalah Buddha yang sesungguhnya. Oleh karena itu, jelas bahwa Anda harus menumbuhkan rasa hormat yang besar kepada mereka. Artinya, misalnya, Anda tidak seharusnya meletakkan mereka di bagian kaki kasur Anda, karena Anda akan mengarahkan kaki Anda ke mereka dan ini adalah sikap yang tidak menunjukkan rasa hormat. Hal yang sama berlaku ketika Anda sedang berbaring atau duduk dengan kaki menjulur ke depan maka Anda tidak boleh mengarahkan kaki Anda ke tempat di mana terdapat arca atau lukisan Buddha.
Hal yang sangat penting juga adalah berkaitan dengan bahasa yang digunakan ketika Anda hendak memperoleh arca atau lukisan. Sekali lagi, Anda harus berhati-hati untuk memilih kata-kata yang menunjukkan proses ini. Belakangan ini, orang-orang masih membicarakan tentang menjual atau memheli arca atau lukisan Buddha. Cara penggunaan bahasa seperti ini kurang tepat dan seharusnya dihindari.
Guru-guru mengajarkan bahwa menggunakan bahasa yang mengandung gagasan bahwa arca atau lukisan Buddha seolah-olah adalah barang dagangan, bukan Sang Buddha itu sendiri, adalah kurang tepat. Kata terbaik yang bisa digunakan ketika hendak mendapatkan sebuah arca, lukisan, atau buku Dhanna adalah dengan mengatakan bahwa Anda 'mengundang-Nya' ke dalam rumah Anda. Itulah istilah yang lebih tepat. Anda mungkin tidak terbiasa dengan istilah ini dan kedengarannya sedikit aneh. Namun pengalaman Anda menunjukkan bahwa Anda sebenarnya bisa membiasakan diri dengan apapun juga sehingga tidak ada alasan mengapa Anda pun tidak bisa membiasakan diri dengan istilah ini pula.
Hal yang sama juga berlaku pada 'harga' dari objek yang hendak Anda dapatkan. Anda jangan mengatakan 'harga' atau 'biaya'. Istilah yang digunakan adalah 'persembahan.' Anda memberikan persembahan untuk ditukarkan dengan objek-objek yang ingin Anda undang.
Lalu bagaimana pula dengan orang-orang yang memiliki usaha yang berhubungan dengan jual-beli arca, buku, dan sejenisnya?
Tentu saja, jika tidak ada yang 'menjual' arca, buku, dan sebagainya, maka tidak ada orang yang bisa mengundang mereka sehingga hal itu juga sebuah masalah. Namun, mereka yang 'menjual' buku dan arca harus sangat berhati-hati. Mereka harus berusaha sebisanya untuk tidak mencari penghidupan dari situ. Boleh saja 'menjualnya' dengan harga pokok dan mungkin ditambah sedikit, sekadar untuk mendapatkan dana tertentu semata-mata agar Anda bisa menyediakannya lebih banyak lagi bagi orang-orang. Namun sebenarnya mencari penghidupan dengan cara itu sangatlah negatif.
Ada sebuah kisah tentang seorang guru besar bernama Kyergangba. Beliau adalah seorang praktisi yang memiliki realisasi tinggi. Pada suatu hari, beliau bersama biksu lainnya diundang ke s ebuah rumah seorang perumah tangga untuk memanjatkan doa dan tuan rumah menyediakan makanan. Pada saat pulang, Kyergangba merasa kurang enak badan dan mengalami rasa sakit yang amat sangat di berbagai bagian tubuhnya.Â
Beliau merasakan bahwa sumber sakitnya adalah suku kata 'Ah' putih yang bergerak di seluruh tubuhnya, mengakibatkan rasa sakit di bagian-bagian yang berbeda dalam tubuhnya. Akhinya, beliau berhasil menanyakan hal tersebut kepada istadewatanya, Avalokiteshvara, tentang apa yang menyebabkan semua ini.
Jawabannya adalah orang yang mengundangnya ke rumah mereka untuk melakukan upacara tersebut telah menjual satu salinan Prajnaparamita Sutra 100.000 bait agar bisa memberikan persembahan makan kepada para biksu dalam upacara ini. Avalokiteshvara lanjut menjelaskan, karena Kyergangba adalah seorang praktisi realisasi tinggi, beliau langsung mengalami akibat dari kesalahan ini, di kehidupannya sekarang. Kyergangba kemudian bertanya tentang biksu pendampingnya karena mereka tidak mengalami rasa sakit. Jawabannya, mereka akan jatuh ke neraka dalam kehidupannya yang akan datang; yang merupakan akibat yang matang sepenuhnya dari tindakan benar-benar memakan sesuatu dari uang yang didapatkan dari menjual buku spiritual maupun arca.
====
Tulisan di atas disarikan oleh Prawirawara Jayawardhana berdasarkan sesi-sesi pengajaran Guru Dagpo Rinpoche.
Guru Dagpo Rinpoche adalah seorang Guru Besar kelahiran Tibet namun memiliki hubungan yang sangat erat dengan Indonesia, karena garis kelahiran kembali beliau dapat ditelusuri hingga ke Guru Suwarnadwipa dari Kerajaan Sriwijaya, sebagaimana dikukuhkan oleh Yang Maha Suci Dalai Lama ke-13. Di dunia saat ini, selain dikenal sebagai Kelahiran Kembali yang Otentik dari Sang Mahabiksu abad ke-10 dari Sriwijaya tersebut, beliau juga dikenal sebagai seorang Guru Besar Pemegang Silsilah Otentik dari Tradisi Lamrim (Tahapan Jalan Menuju Pencerahan), sebuah tradisi yang diprakarsai oleh Guru Atisha sejak abad ke-10, yang mengajarkan cara belajar dan memeditasikan ajaran-ajaran Buddha secara terstruktur dan bertahap. Tahun 2019 menandai 30 Tahun Cipta, Karsa dan Karya Guru Dagpo Rinpoche di Nusantara, sebuah perjalanan yang sudah dimulai beliau sejak 1989 hingga sekarang. Dengan demikian, beliau menjadi salah satu dari tidak banyak guru-guru besar yang telah membina Buddhadharma di Indonesia secara konsisten selama tiga dasawarsa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H