“Kammassakomhi, kamma-dayado, kamma-yoni, kamma-bandhu, kamma-patisarano. Yam kammam karissami, kalyanam va papakam va, tassa dayado bhavissami-ti.”
“Aku adalah pemilik karmaku sendiri, mewarisi karmaku sendiri, lahir dari karmaku sendiri, berhubungan dengan karmaku sendiri dan berlindung pada karmaku sendiri. Apapun yang kulakukan, baik maupun buruk, aku akan mewarisinya.”
- Upajjhatthana Sutta (AN 5.57) –
Demikianlah bait dari Anguttara Nikaya yang cukup populer dikutip oleh kita ketika berbicara tentang karma. Dan dari sana, Tahapan Jalan Menuju Pencerahan pun menarik empat karakteristik umum dari prinsip kerja hukum karma yang diakui secara umum di dalam Buddhisme, yaitu:
- Karma itu pasti,
- Karma itu dapat berlipat ganda secara pesat,
- Kita tidak akan menerima akibat/hasil dari karma yang tidak kita lakukan, dan
- Karma yang telah dilakukan, tidak akan pernah kehilangan kekuatannya untuk berbuah.
Namun, setelah kita mengetahui dan mempelajari teori-teori tentang hukum karma tersebut, pertanyaan berikutnya adalah: “Lalu apa? Then what? Lalu bgaimana ilmu ini dapat menolong saya dalam kehidupan sehari-hari saya?” Pertanyaan ini sebenarnya adalah ultimate question, pertanyaan paling penting, yang harus senantiasa kita ajukan setiap kali kita menimba ilmu. Bagaimana kita dapat membawa ilmu tersebut turun dari otak dan dimanifestasikan menjadi sebuah aksi dan tindakan yang nyata di dalam kehidupan sehari-hari.
Di dalam Sutra tentang Untaian Cerita-Cerita Kelahiran Bodhisatva (Jatakamala), disebutkan bahwa:
“Sungguh jauh perjalanan dari langit menuju ke bumi, lebih jauh pula jarak antara gunung di Timur dan gunung di Barat. Namun, sungguh lebih jauh lagi jarak antara perilaku kita dengan Dharma yang suci.”
Kutipan tersebut sungguh menohok. Karena memang demikianlah adanya kebiasaan kita-kita ini, selalu ada gap antara perilaku kita dengan idealisme-idealisme yang kita pelajari dari Dharma.
Ketika kita memiliki keyakinan yang kuat terhadap hukum karma, kita secara alami akan berusaha untuk menghilangkan aspek-aspek ketidakbajikan dari dalam hidup kita. Akan tetapi, meskipun kita berusaha keras, tetap saja ketidakbajikan selalu saja muncul dan mewarnai hidup kita, mungkin karena kecerobohan, mungkin pula karena klesha yang sangat kuat sehingga mengalahkan tekad kita sendiri. Secara mudah kita langsung merasa tidak senang dan membenci ketika dimarahi oleh boss. Secara otomatis kita menepuk nyamuk yang hinggap di leher. Secara refleks, kita mengucapkan kata makian ketika disalip mobil lain di lampu merah. Tanpa dapat ditahan, kita merasakan kemarahan yang luar biasa ketika ada yang mengejek orang tua kita.
Dan kalau sudah demikian, lalu bagaimana?
Umat Buddhis selalu menolak apabila konsep karma dijadikan alasan untuk mencap bahwa Buddhisme adalah sebuah cara pandang yang pesimis. Karena memang demikianlah adanya. Prinsip karma tidak boleh dilihat hanya dari aspek masa lalu, tapi juga harus dilihat dari aspek masa sekarang dan masa yang akan datang. Saat ini kita memang sedang menerima akibat dan hasil dari karma kita yang lalu namun pada saat yang bersamaan pula, kita sedang menghimpun karma di saat ini yang mana hasil dan akibatnya akan kita terima di masa yang akan datang.
Ketika ketidakbajikan muncul secara tak terhindar dalam kehidupan kita, maka kita tidak boleh diam dan mengabaikannya. Kita tidak boleh membiarkan karma tersebut matang tanpa melakukan usaha-usaha untuk menegasi potensi-potensi akibat buruk yang akan terjadi nantinya. Secepat mungkin, ketika sebuah ketidakbajikan muncul, kita harus berusaha untuk menetralkan, melemahkan, dan bahkan menghancurkan kekuatan dari karma buruk tersebut dengan karma-karma baru yang memiliki kekuatan berlawanan.
Di dalam Catur-dharma-nirdesa Sutra, Buddha mengajarkan secara langsung tentang empat kekuatan yang dapat digunakan untuk melemahkan ataupun bahkan menghancukan karma buruk yang telah dihimpun:
“Maitreya, ketika seorang bodhisattva, seorang makhluk agung, memiliki empat kekuatan ini, maka tindakan-tindakan tidak bajik yang telah dilakukan dan diakumulasi olehnya dapat diatasi. Apakah keempat kekuatan ini? Mereka adalah kekuatan penyesalan, kekuatan dari tindakan yang berlawanan (antidote), kekuatan dari tekad untuk tidak mengulang dan kekuatan dari basis yang melandasi.”
Analogi yang paling mudah untuk memahami ini adalah sebagai berikut. Ketika kita secara tidak sengaja telah meminum racun yang mematikan, apa yang dapat kita lakukan? Pertama, tentu kita merasakan penyesalan yang sangat mendalam karena telah meminum racun tersebut. Dan dari rasa penyesalan tersebut, kemudian muncul sebuah niat untuk segera mencari obat penawar yang dapat melawan kekuatan dari racun tersebut. Setelah kita akhirnya berhasil sembuh, tentu kita tidak akan berani lagi dan bertekad untuk tidak mengulang meminum racun yang sama. Dan semua ini dapat terjadi apabila kita memiliki sebuah basis berupa objek perlindungan di mana kita dapat bertumpu dan menggantungkan diri kepadanya, yaitu dokter yang memberikan obat penawar, hukum alam yang menyatakan bahwa racun ini dapat dilawan oleh obat penawar itu serta komunitas orang-orang yang sudah membuktikan keberhasilan metode ini. Dengan kata lain, basis perlindungan ini adalah Tiga Permata: Buddha, Dharma dan Sangha.
Secara logika, hal ini tidaklah mustahil. Kita mengetahui bahwa ada berbagai jenis akibat dari karma. Ada karma yang berbuah dalam bentuk melemparkan kita dalam berbagai alam kehidupan, ada pula karma yang berbuah dalam bentuk kondisi-kondisi pelengkap di dalam hidup tersebut. Seperti halnya, bibit yang dilempar ke sebuah lahan belum tentu akan langsung berbuah karena bergantung pada kondisi-kondisi pendukung lainnya seperti cuaca, kelembaban, pupuk, air dan sebagainya. Maka ketika kita misalkan melakukan sebuah karma buruk yang dapat melemparkan kita ke alam rendah, maka kita pun dapat menyiasati kemunculan buah tersebut dengan melakukan banyak hal untuk mencegah munculnya kondisi-kondisi pelengkap yang memungkinkan karma buruk tersebut untuk berbuah.
Seperti halnya bibit yang setelah dilempar ke tanah yang subur namun tidak jadi tumbuh akibat tidak diairi, demikian pula kita dapat menyiasati agar sebuah karma buruk tidak berbuah dengan cara memanfaatkan keempat jenis kekuatan yang diajarkan oleh Sang Buddha.
Tentu saja praktik empat kekuatan pemurnian ini tidaklah mudah, tidak seperti membersihkan dosa dengan percikan air. Sebaliknya, praktik ini justru mengimplementasikan prinsip kerja hukum karma secara sesubtil-subtilnya dan dengan cara inilah kamma-patisarano (berlindung kepada karmaku) seharusnya diterapkan. Telah banyak sekali teks yang sudah ditulis untuk menjelaskan tentang praktik ini:
- bagaimana cara memeditasikan secara bertahap konsekuensi-konsekuensi dari karma buruk yang sangat berat yang akan melemparkan kita ke penderitaan di alam-alam rendah sehingga kita bisa membangkitkan rasa penyesalan yang benar-benar tulus sebagai kekuatan yang pertama,
- apa saja yang dapat dilakukan sebagai sesuatu tindakan yang berlawanan (antidote) terhadap karma hitam yang telah kita lakukan, misalkan: mengandalkan sutra-sutra mendalam seperti Prajnaparamitra (Sutra Hati), memeditasikan sunyata, mengulang mantram, membuat dan memperbanyak rupa-rupa Buddha, stupa, lukisan, dsbnya, namaskara, membuat persembahan-persembahan murni kepada Triratna dan mengulang nama-nama Buddha,
- bagaimana cara melatih pembangkitan tekad untuk bena-benar berpaling dari karma hitam yang telah dilakukan (renunciation), dan
- bagaimana cara membangkitkan sikap batin yang sesungguhnya dalam berlindung kepada Sang Triratna.
Praktik seperti demikian juga dapat disaksikan dari sebuah kisah sejarah nyata yang dialami oleh Raja Ashoka Yang Agung (abad 2 SM) di mana beliau benar-benar menerapkan secara serius keempat kekuatan untuk mengimbangi dan melawan kekejian yang telah dilakukan sebelum beliau akhirnya menjadi sadar. Dan hasil dari himpunan kebajikan beliau pun masih dapat terasa sampai dengan sekarang.Karena bahkan seorang penulis berkebangsaan Inggris, H.G. Wells, menuliskan bahwa, "Dalam sejarah dunia, ada ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri ‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya. Mereka bersinar selama suatu waktu yang singkat, dan kemudian cepat menghilang. Tetapi Ashoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti sebuah bintang cemerlang bahkan sampai hari ini." Ini dipercaya adalah berkat kekuatan dari berbagai energi positif (kebajikan) yang telah dihimpun oleh Beliau selama masa hidupnya tersebut.
Silakan baca lengkap kisah tersebut dan kita pun bisa sedikit bernapak tilas mengikuti teladan Raja Ashoka melalui sebuah program yang khusus dibuat oleh Biara Indonesia Gaden Syedrub Nampar Gyelwei Ling bekerja sama dengan Yayasan Kita Bisa di link berikut.
Jadi bagaimana kesimpulannya? Jika sudah bersalah, apakah masih bisa dimaafkan? Jawabannya seharusnya bisa. There are still so much we can do, even after we have made mistakes!
Perlu disadari pula bahwa ajaran-ajaran Buddha tidak ada satupun yang saling bertentangan. Sebagaimana disampaikan dengan cantik oleh Dzongsar Jamyang Khyentse Rinpoche di dalam buku best seller nya yang berjudul What Makes You Not A Buddhist, dalam Buddhisme juga dikenal ajaran mengenai Dukkha, Anicca dan Anatta. Dengan pemahaman bahwa segala sesuatu yang terbentuk dari unsur-unsur yang saling bergantungan adalah tidak kekal dan dapat terus berubah, maka dengan pemahaman ini pulalah kita harus bisa menyadari bahwa karma buruk dan masalah-masalah yang dihadapi di dalam hidup juga adalah tersusun dari unsur-unsur yang saling bergantungan dan karena itulah mereka juga tidak kekal dan bisa diubah keberadaannya dengan cara menghimpun sesuatu yang kebalikannya, yaitu kebajikan dan energi positif.
Pada mulanya, mungkin pemaparan ini akan sedikit sulit dipahami. Namun memang di dalam Buddhisme dikenal adanya tiga objek pengetahuan.
- Yang pertama adalah pengetahuan yang terlihat secara langsung dalam bentuk fenomena-fenomena yang bermanifestasi. Pengetahuan ini dapat dengan mudah dan langsung kita ketahui melalui persepsi indera.
- Kemudian yang kedua adalah fenomena yang sedikit tersembunyi, yaitu pengetahuan yang tidak dapat dipersepsi secara langsung oleh indera namun perlu dideduksi dengan kekuatan logika berdasarkan keterhubungan antar satu hal dengan yang lain. Contohnya adalah ketika kita melihat asap mengepul dari balik sebuah bukit, maka kita dapat menyimpulkan bahwa ada api di sana meskipun kita tidak dapat melihat api itu secara langsung.
- Terakhir adalah pengetahuan jenis ketiga yaitu fenomena yang sangat tersembunyi, yang sangat sulit dipahami oleh orang-orang biasa seperti kita. Contoh pengetahuan yang masuk ke dalam kategori ini antara lain adalah prinsip kerja karma secara detil. Karena kompleksitasnya, kita sangat sulit memahami dengan pasti bagaimana keterkaitan antara sebuah akibat dengan berbagai aspek penyebabnya yang saling mempengaruhi, kecuali tentu saja apabila kita sudah memiliki suatu pencapaian tertentu seperti halnya Buddha.
Karena itu pulalah, di dalam tradisi Tahapan Jalan Menuju Pembebasan, biasanya diajarkan agar kita sebaiknya tidak mengandalkan persepsi kita yang sangat tidak bisa diandalkan ini untuk menilai dan merendahkan ataupun mengabaikan ucapan-ucapan Buddha yang mungkin belum bisa kita pahami pada saat ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H