Mohon tunggu...
Praviravara Jayawardhana
Praviravara Jayawardhana Mohon Tunggu... Wiraswasta - Hanya seorang praktisi Dharma

Semoga seluruh alam semesta berbahagia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar Kematian dari Morrie

15 Februari 2016   14:36 Diperbarui: 15 Februari 2016   14:48 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Kelas terakhir profesor tua saya berlangsung seminggu sekali, setiap hari Selasa, di rumahnya. Tidak ada nilai yang diberikan. Tapi ada ujian lisan setiap minggu. Saya diharapkan untuk dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan dan saya pun diharapkan untuk mengajukan pertanyaan balik. Kadang-kadang saya diharapkan untuk melakukan sedikit tugas fisik, misalnya mengangkat kepala sang profesor ke posisi yang lebih nyaman di bantal, atau membenarkan letak kacamata di hidungnya. Tidak ada buku yang digunakan, namun topik yang dibahas sangat banyak, mulai dari cinta, kerja, komunitas, keluarga, penuaan, pemberian maaf, dan terakhir, kematian. Semuanya berasal dari pengalaman. Tidak ada wisuda di akhir kelas, digantikan dengan upacara pemakaman. Kelas terakhir profesor tua saya ini hanya dihadiri oleh satu murid. Dan murid itu adalah saya.” - Mitch Albom -

Buku “Tuesdays with Morrie” yang ditulis oleh Mitch Albom sebagai sebuah memoir atas pelajaran terakhir yang didapatkannya dari seorang profesor sosiologi tua berumur 78 tahun bernama Morrie Schwartz ini,  bagaikan seorang sahabat yang menemani kita berkontemplasi di dalam jalan spiritual kita. Dimulai dengan vonis yang harus dihadapi oleh Morrie atas sebuah penyakit terminal, bernama Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS) atau suka disebut juga penyakit Lou Gehrig. Morrie dibawa menghadap kepada kenyataan bahwa kematian adalah hal yang nyata dan sudah berada di depan mata. ALS adalah penyakit sistem saraf yang membuat tubuh lumpuh perlahan-lahan sampai akhirnya mati dikarenakan semua organ tubuh (termasuk organ-organ internal seperti jantung, paru-paru dan sebagainya) tidak dapat berfungsi lagi sama sekali. 

“Morrie tertegun melihat betapa normalnya dunia di sekitar dia meskipun dia baru saja menerima vonis kematian. Mengapa dunia tidak berhenti? Dunia bahkan tidak peduli sedikitpun dan berlanjut apa adanya.”

Dengan kematian sudah di depan mata seperti itu, Morrie tidak pasrah dan sebaliknya justru bertekad untuk memanfaatkan tubuh manusianya untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat.

“Apakah saya harus pasrah dan menghilang? Atau saya memanfaatkan sisa waktu saya sebaik mungkin? Sang profesor psikologi sosial ini bertanya pada dirinya sendiri. Tidak, Morrie tidak menyerah dan bahkan dia akan menjadikan kematiannya sebagai sebuah proyek terakhir dirinya. Karena semua orang akhirnya akan mati, maka tentu pengalaman kematian dirinya akan sangat bermanfaat. Amati saya. Lihat apa yang terjadi pada saya dan pelajarilah, pikirnya.”

Topik-topik apa saja yang dibahas oleh Mitch dengan Morrie selama kelas hari Selasanya ini?

“Beranjak umur delapan puluh, umur sembilan puluh. Kemudian sakit, tambah gemuk, botak dan akhirnya mati.  Saya mengorbankan banyak mimpi demi gaji yang lebih besar. Dan saya bahkan tidak pernah sadar bahwa saya sedang melakukannya.”

“Hidup adalah serangkaian tarik ulur. Anda ingin melakukan sesuatu hal tapi Anda terpaksa melakukan hal lain. Sesuatu menyakiti Anda tapi Anda tahu seharusnya itu tidak demikian. Anda menyia-nyiakan sesuatu padahal Anda tahu hal tersebut tidak boleh disia-siakan. Saya menyebutnya ‘Ketegangan yang Saling Berlawanan’. Seperti karet gelang yang ditarik-tarik dan kita hidup di tengah-tengahnya. Sisi mana yang harusnya menang? Sisi cinta. Cinta kasih harus selalu menang.”

“Sekarang ketika saya menderita. Saya bisa merasa lebih dekat dengan orang lain yang juga menderita dengan lebih mudah, daripada dulu. Semalam, saya melihat di TV, orang-orang Bosnia berlari, ditembak, mati. Saya langsung menangis. Saya dapat merasakan derita mereka bagaikan derita saya sendiri. Padahal saya tidak kenal dengan mereka sama sekali. Saya harap Anda tidak jengah dengan seorang laki-laki menangis, karena saya selalu menangis. Suatu hari saya akan tunjukkan kepada Anda bahwa mengangis itu tidak apa-apa.”

“Semua orang tahu mereka akan mati. Tapi tidak ada yang mempercayainya. Jika tidak, maka kita akan melakukan segala sesuatu dengan cara yang berbeda sama sekali. Lakukan sebagaimana yang diajarkan oleh para Buddhis, setiap hari, bayangkan ada seekor burung kecil yang hinggap di bahu Anda dan selalu berkata, apakah hari ini adalah harinya? Apakah Anda sudah siap? Apakah Anda sudah melakukan semua yang perlu Anda lakukan? Sudahkan Anda menjadi orang yang sepantasnya?”

Dan masih banyak lagi pelajaran-pelajaran kontemplasi yang dapat diajarkan oleh Morrie kepada kita untuk lebih menghargai hidup dan mempersiapkan kematian.

Sejalan dengan opini Morrie, banyak manfaat yang memang dapat kita peroleh dengan mengkontemplasikn kematian. Menurut para guru besar dari tradisi Lamrim, dengan mengkontemplasikan kematian: 1) kita bisa membawa nilai yang besar di dalam praktik kita, 2) kita juga akan membawa semangat dan kekuatan yang besar di dalam praktik kita, 3) dapat membuat kita benar-benar memulai mempraktikkan Dharma, 4) dapat menjadi motivasi untuk mendorong agar kita tetap bersemangat ketika sudah mulai berusaha mempraktikkan Dharma, 5) dapat membantu merampungkan upaya praktik spiritual kita, dan 6) kita akhirnya dapat menghadapi kematian dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan.

Mengapa penting untuk mengkontemplasikan kematian, meskipun kita saat ini masih hidup dan sedang sehat-sehat saja? Karena kematian adalah sesuatu yang pasti datang sedangkan waktu kematian itu sendiri yang tidak pasti dan tidak dapat diprediksi. Tentu kita tidak mau seperti Morrie yang baru mulai sadar dan berusaha memanfaatkan tubuh manusia ini semaksimal mungkin ketika kita sudah terlanjur divonis bahwa hidup kita tinggal sekian bulan seperti halnya Morrie, bukan?

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun