Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Konservasi Yes, Bisnis Yes! Tapi...

28 Juni 2017   00:51 Diperbarui: 28 Juni 2017   09:01 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hadi Alikodra (kiri), Dadang Ratman (kedua dari kiri), Rinekso Soekmadi (kedua dari kanan), Iwan Syahlani (kanan) [Foto: EmmPratt]

Para pelajar yang berasal dari berbagai sekolah internasional, telah memanfaatkan Taman Nasional Bali Barat sebagai sarana pembelajaran ekosistem. Ini merupakan pertanda baik, dimana pelestarian alam sudah seharusnya telah diperkenalkan sejak usia dini.

Berdasarkan laporan survey lembaga asing di tahun 2013, ada kecenderungan wisatawan ingin mendatangi lokasi wisata lingkungan (green travelling) yang memiliki aspek konservasi lingkungan, pengembangan berkelanjutan berbasis komunitas lokal. Ada pencarian jati diri dan kepuasan batin yang ingin didapat pengunjung pariwisata alam.

Pariwisata alam (eco-wisata) sebagai pariwisata alternatif, diyakini sebagai sektor yang dapat mempercepat kebangkitan Indonesia. Eco-wisata mencakup imbal balik pada masyarakat, nilai-nilai budaya, tanggung jawab pelestarian terhadap lingkungan, serta mematuhi koridor hukum yang ada.

Selama hampir 19 tahun mengelola pariwisata alam Taman Nasional Bali Barat dalam area konsesi seluas 251,5 hektar, Shorea memiliki Ijin Pengusahaan Pariwisata Alam (IPPA)  pada tiga titik lokasi yaitu di Tanjung Kotal, Labuhan Lalang dan Teluk Gilimanuk.

Kegiatan yang dilakukan antara lain pelestarian jalak Bali, monyet hitam Bali (ijah), penyu, rusa, mangrove, savanna, hutan Monson. Selain dapat melihat konservasi satwa unik dan langka, wisatawan dapat juga melakukan kegiatan menyelam &  snorkeling sambil melihat pelestarian biota laut serta terumbu karang.

Foto: Taman Nasional Bali Barat
Foto: Taman Nasional Bali Barat
Mengeksploitasi hutan itu kini dilakukan melalui konservasi tapi juga dapat dinikmati keindahannya untuk menghasilkan pendapatan. Hal ini tentu sangat berbeda dibandingkan kegiatan usaha timber maupun HPH.

Dalam enam tahun kedepan ada 473 milyar dolar AS, akan menjadi kue yang diperebutkan dalam bisnis eco-wisata. Potensi luar biasa adalah adanya ijin pengelolaan sebanyak 51 Taman Nasional dengan luas 16 juta hektar, yang ditawarkan pada para investor pariwisata alam. Dari total 45 pemegang IPPA yang terdaftar, tercatat ada 28 yang dievaluasi kinerjanya. Ternyata baru 33,33% yang aktif dan dapat menghasilkan profit. Sementara 40% telah aktif namun belum dapat mencetak profit. Ada yang memprihatinkan dengan hanya 5% bisnis eco-wisata yang dapat menghasilkan profit, berdasarkan data penelitian sekitar 15 tahun lalu. Shorea termasuk yang aktif dan profit dalam evaluasi tersebut.

Target realisasi investasi pengusahaan pariwisata alam tahun 2016 sebesar Rp. 261,9 milyar, namun ternyata realisasi hanya Rp  191,1 milyar. Direktorat Pemanfaatan Jasa Lingkungan Hutan Konservasi Ditjen KSDAE Kementerian LHK telah menargetkan kunjungan 1,5 juta wisatawan di tahun 2019, dimana termasuk juga ditargetkan 300 pemegang IPPA atas Taman Wisata Alam (TWA) dan Taman Nasional.

Pemegang usaha IPPA memiliki kendala dan tanggung jawab yang ekstra berat, seperti geografis, SDM, peraturan dan investasi. Kondisi geografis Taman Nasional terbagi dalam golongan rayon, yang nantinya akan menentukan berapa retribusi yang dipungut dari pengunjung domestik maupun mancanegara. Rayonisasi seharusnya dievaluasi sesuai titik equilibrium ekonomi. Misalnya Taman Nasional Komodo yang masuk rayon 3 & sangat tinggi jumlah pengunjungnya, sudah seharusnya masuk dalam rayon satu. Ini akan berkaitan dengan daya tarik investasi, penyiapan atraksi wisata dan manajemen destinasi wisata.

Lokasi Bali Barat yang masuk golongan rayon 2 dan harus ditempuh waktu lima jam perjalanan darat dari Pantai Kuta, merupakan sebuah persoalan geografis dan tantangan aksesibilitas pengembangan wisata konservasi. Manajemen destinasi wisata adalah menganalisa berapa jumlah tingkat kunjungan, berapa lama kunjungan, serta kapan waktunya wisatawan dapat melakukan kunjungan kembali. Faktor lain yang menjadi keterbatasan dukungan industri antara lain masih rendahnya minat investor/pemegang saham, peraturan/kebijakan pemerintah yang berubah, serta kebutuhan tindakan (call for action) atas kompetisi negara lain.

Rinekso Soekmadi [Foto:Emm Pratt]
Rinekso Soekmadi [Foto:Emm Pratt]
Sementara itu Rinekso Soekmadi (Dekan Fakultas Kehutanan IPB) menyatakan bahwa Konservasi KEHATi yang telah ada sejak zaman kolonial (UU Suaka Alam Tahun 1916, UU Perlindungan Binatang Liar Tahun 1909, UU Perburuan Tahun 1924), telah disetting-up ke UU No.5/Tahun 1990 yang kini sudah dibutuhkan pembaharuan akibat perubahan pemanfaatan masa demokrasi dan sistem otonom yang desentralistik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun