Dua dekade lebih kebakaran hutan melanda wilayah di negeri ini. Menurut data Bank Dunia pada tahun lalu saja telah menimbulkan kerugian mencapai 221 trilyun rupiah. Kerugian akibat bencana tsunami hanya sekitar sepertiganya saja. Pembakaran lahan gambut terkendali oleh masyarakat lokal digunakan sebagai sarana kesuburan bagi lahan pertanian/perkebunan mereka.
Sifat dasar tanah gambut bersifat asam. Namun pengeringan lahan gambut dalam skala masif selama puluhan tahun telah membuatnya sakit dan diperlukan perlakuan khusus (treatment) untuk mengembalikan dalam keadaan semula. Pengeringan lahan gambut akan dapat membuat mudah terbakar , terutama pada tanaman sawit dan akasia.
BRG akan memberikan perlindungan kubah gambut dengan menata ulang kawasan tata ruang konsesi budidaya untuk dijadikan kembali menjadi kawasan konsesi lindung. Gambut harus tetap basah  namun pihak sektor industri yang terkait pengeringan lahan gambut membangun konter narasi bahwa lahan gambut dapat diolah dengan melakukan pemadatan (kompaksi) tata air . 80% lahan gambut telah dikuasai korporasi, maka diperlukan komunikasi bagaimana cara melindungi lahan konsesi tersebut.
Edukasi secara kontinu pada masyarakat lokal mengenai pemanfaatan tanaman lokal ramah gambut harus terus digalakkan dalam mengurangi dampak kebakaran lahan dan hutan, terutama pada beberapa propinsi prioritas yang paling terdampak kebakaran hutan dan lahan. BRG telah memasang sumur bor berteknologi Jepang dan memberikan pelatihan pada masyarakat lokal pengoperasian alat monitoring yang mudah pemakaiannya (user friendly). Sistem alat ini merupakan real time data transfer system menggunakan jaringan perangkat ponsel genggam biasa.Â
Restorasi tersebut merupakan langkah pencapaian penting dalam upaya komitmen bangsa dalam mengurangi emisi karbon sebesar 29% hingga tahun 2030, serta sebagai upaya melaksanakan persetujuan ASEAN tentang Pencemaran Asap Lintas Batas (ASEAN Agreement on Transboundary Haze Pollution/AATHP). Ada berbagai macam pandangan maupun kekuatiran mengenai pemanfaatan gambut.
Gambut kering sangat mudah teroksidasi, juga turut menyumbang emisi dan gas rumah kaca. Ada juga yang melihat keadilan pemanfaatan dimana ditinggalkan masyarakat lokal oleh korporasi. Di sisi lain para pemilik konsesi budidaya di lahan gambut tentunya tetap menginginkan keberlanjutan usaha, yang memang harus diakui telah memberikan kontribusi bagi negara.
BRG tentunya harus mengakomodir semua pandangan serta keberlanjutan usaha tanpa meninggalkan aspek lingkungan. Inilah yang menjadi tantangan bagi BRG dimana regulasi datang agak  telat sementara lahan gambut telah dimanfaatkan, maka diperlukan penataan kembali tata ruang konsesi budidaya menjadi konsesi lindung.Â
Beberapa opsi yang dipertimbangkan adalah pemilihan teknologi tepat guna, komoditas dan tanaman lokal. Sesuai mandat Presiden Joko Widodo akan ada dua juta hektar lahan gambut dalam program restorasi. Hal utama yang dikerjakan mengeliminasi sumber kebakaran, mengatasi sumber konflik masyarakat & perusahaan, penataan teknis pengeringan lahan gambut yang kurang tepat.Â
Lokasi yang menjadi prioritas utama restorasi memiliki kriteria pada tahun 2015 terbakar seluas 820 ribu hektar, gambut dalam yang bertanah (meski tidak terbakar pada tahun 2015), gambut utuh (tidak bertanah dan tidak terbakar) yang diusulkan menjadi konsesi lindung, gambut tidak terbakar tapi tidak bertanah.
Jika restorasi di dalam wilayah konsesi, maka merupakan tanggung jawab pemegang konsesi. Pemilihan komoditas yang tak kalah menarik dibandingkan dengan sawit & akasia, diharà pkan tidak dilakukan kembali pengeringan lahan gambut. Agar masyarakat lebih berdaya maka akan dicarikan partner dengan skema Investasi.
Demikian inti pernyataan pembuka oleh Dewi (Kemitraan) dan Hartono (Sekretaris Badan Restorasi Gambut) dalam Diskusi Terbatas "Restorasi Gambut Berbasis Teknologi Tepat Guna dan Pemanfaatan Tanaman Lokal, yang diselenggarakan oleh Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan di Century Park Jakarta pada 25 Agustus 2016 lalu.
Hadir narasumber Haris Gunawan (Deputy Penelitian & Pengembangan Badan Restorasi Gambut), Nyoman Suryadiputra (Direktur Wetlands International Indonesia), Hesti Lestari Tata (Puslitbang Kementerian Lingkungan Hidup & Kehutanan), Abdul Hamid (Kelompok Pengelola Hutan Desa Kabupaten Tanjung Jabung Timur Jambi), dengan moderator Prita Laura (Jurnalis Televisi).
Alih fungsi lahan gambut (dengan pengeringan) demi kegiatan perekonomian dilakukan tanpa memperhatikan tata hidrologisnya. Upaya penataan hidrologis dilakukan dengan pembasahan kembali (rewetting), penanaman kembali (revegetasi) dengan tanaman ramah gambut (paludikultur).Â
Jika para petani lokal (masyarakat adat) membakar lahan & hutan secara terkendali itu hanyalah sekedar pengusir nyamuk dan penyubur tanah. Namun jika sudah dalam tahap tragedi kabut asap, maka teknologi secanggih apapun sangat sulit mengatasinya. Bahkan telah mengorbankan salah satu prajurit militer yang diperbantukan dalam penanganan bencana asap, dimana terperosok dalam kesunyian lahan gambut terbakar dan hampir tujuh hari baru diketemukan jasadnya.
Diperlukan kompromi ditengah kemasifan agar gambut tidak berair oleh kepentingan ekonomi, agar sukacita dapat dirasakan semua pihak tanpa saling memfitnah dan mengorbankan nyawa. Program pemulihan lahan gambut diperlukan gerakan riil bersama masyarakat dan dunia usaha.
Ditengah permisif dan sikap pasif masyarakat sangat dibutuhkan peran ahli rekayasa sosial (sosiolog, antropolog) dalam membentuk gerakan komunal yang masif seperti pengumpulan bibit/anakan pohon lokal, agar nantinya dapat menikmati romantisme kembalinya banyak air dalam gambut berawa. Ada sekitar 7 propinsi yang harus pro aktif menggerakkan komunitas masyarakat agar pengembalian fungsi lahan gambut dapat efektif.Â
BRG juga menyiapkan program klaster unggulan komoditas tanaman lokal. Potensi tanaman lokal yang merupakan ekosistem hutan rawa gambut ada sekitar 1376 jenis. Sekitar 534 jenis telah diketahui manfaatnya dan sekitar 81 jenis hasil hutan bukan kayu dapat menjadi sebagai sumber utama perekonomian. Beberapa diantaranya seperti sagu (bahan pangan yang cocok untuk diet), pinus (getahnya bernilai hingga 25 juta rupiah per kilogram), kayu medang (bahan baku obat nyamuk).Â
Nantinya kedepan program unggulan komoditas sagu dan kelapa dalam, akan dilakukan pengembangan oleh BRG dengan tanpa sistem monokultur. Dalam restorasi gambut kedua tanaman ini akan dikombinasikan dengan berbagai jenis tanaman lainnya. Sehingga ekonomi semakin berlapis tanpa tergantung pada satu jenis komoditi.
Haris Gunawan yang juga menghadiri Kongres Masyarakat Gambut Dunia di Sarawak Malaysia beberapa waktu lalu, mengingatkan bahwa telah terjadi pertempuran opini antara pro sawit-akasia versus pro konservasi. Banyak ilmuwan yang melakukan kampanye utilisasi gambut HTI (hutan tanaman industri), terutama kompaksi merupakan teknologi terbaik dalam pemanfaatan lahan gambut bagi sawit.
Memang sawit itu sangat menguntungkan, namun tak pernah menghitung biaya dampak sosial dan lingkungan. Jika ada ilmuwan Indonesia bermazhab ke sana, kemungkinan dikarenakan belum merasakan sendiri bagaimanakah menghirup asap dalam jangka waktu berbulan-bulan.Â
Nyoman Suryadiputra juga mengamini bahwa terindikasi ilmuwan Malaysia  mem-backup salah satu BUMN Malaysia yang merupakan produsen sawit terbesar di berbagai forum ilmiah, dan saat ini BUMN Malaysia itu telah masuk merambah ke wilayah Sumatera.
Gambut merupakan danau yang tertimbun bahan organik selama ribuan tahun. Di berbagai belahan dunia sumber air tawar ada di sekitar rawa dan danau. Nyoman Suryadiputra menjelaskan bahwa sumber air tawar di Indonesia kebanyakan ada di lahan gambut. Sungai-sungai di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi dan Papua mendapatkan pasokan air justru dari lahan gambut. Jika diasumsikan luas gambut sebanyak 20 juta hektar dengan ketebalan gambut 5 meter, maka ada sekitar 1 trilyun meter kubik air.Â
Ketika ada drainase berlebihan lahan gambut dimana air dikeluarkan dan dibuang serta mengalami kerusakan, maka tak hanya emisi gas rumah kaca, namun bencana krisis air tawar sudah di depan mata. Bahkan kejadian ini sudah tampak saat kebakaran hutan & lahan di Jambi, salah satu desa sudah sangat kesulitan mendapatkan air tawar. Ada juga di pantai barat Sumatera Utara banyak pohon mangrove hutan dibongkar untuk menjadi pohon sawit. Pohon yang sudah tinggi dan berumur sebelas tahun, namun tak dapat berbuah.Â
Setiap terjadi penurunan air gambut sedalam 70 cm, maka terjadi penurunan tanah gambut sedalam 5 cm. Jika sepuluh juta lahan gambut dikonversi menjadi lahan sawit dan akasia, maka akan membentang sekitar 5 juta kilometer kanal-kanal. Para petani kecil hanya mampu membuat kanal sepanjang 120 meter dalam satu hektar lahan. Sementara pihak industri besar mampu membuat kanal sepanjang 700 meter.Â
Nyoman juga telah menganalisis mengapa orang cenderung membuka lahan sawit. Dibuka sejak tahun 2006 dengan modal untuk manajemen perkebunan enam milyar rupiah, kemudian panen pada tahun 2010 dan 2011 menghasilkan pendapatan 20 milyar rupiah. Memang dalam jangka pendek perkebunan sawit sangat menguntungkan, namun jangka panjang telah menunggu kerusakan lingkungan tak terduga. Namun saat ini telah banyak pohon sawit bertumbangan, lahan sawit mengalami kebanjiran, penyakit ganoderma telah mengintai.Â
Diperlukan sikap bersatu padu agar budidaya sawit tidak mengalami kehancuran seperti budidaya udang. Menjadi kekuatiran utama adalah serangan virus penyakit dibandingkan subsiden lahan gambut. Dahulu hutan mangrove dihancurkan untuk pembukaan lahan budidaya udang. Kemudian usaha budidaya udang mengalami kemunduran, dengan terserangnya secara masif oleh white spot deseases.
Ada salah satu perkebunan sawit di Sumatera yang sekitar 30% lahan telah terserang ganoderma. Satu-satunya solusi pembasmian spora hanyalah dengan cara dibakar. Dari foto kebakaran lahan sawit tersebut yang beredar, diindikasikan telah terjadi pembakaran spora ganoderma.
Ada pula perusahaan besar di lahan gambut Sumatera Utara yang mengalami kebanjiran selama 4 bulan berturut-turut, dan menghancurkan 50% wilayah konsesinya. Sementara titik api mulai bermunculan di Sulawesi. Mangrove lahan gambut di Sulawesi Barat dan Gorontalo Sulawesi Utara dibongkar untuk budidaya udang. Ketika mendapati air asam saat membuka parit, Â maka dikeringkanlah dan matilah lahan mangrove di lahan tersebut. Beberapa waktu lalu sempat terbakar di lahan tersebut.Â
Salah satu contoh strategi berdasarkan fakta lapangan di wilayah yang dibatasi oleh Sungai Kampar dan Sungai Indragiri Propinsi Riau. Pembangunan kanal-kanal mengelilingi kubah gambut dalam fungsi lindung (konservasi) oleh masyarakat serta industri besar sawit & akasia. Untuk solusi sukacita bersama maka secara bertahap dilakukan penyekatan kanal dengan menanam tanaman aseli gambut di sekelilingnya 10 hingga 20 meter tanpa mengganggu sawit (mengurangi laju subsiden).
Tujuan membasahi lahan gambut haruslah dengan jumlah bendungan kanal yang memadai. Apabila gambut kering maka akan terjadi subsiden, sementara jika lahan terbakar (hilangnya bahan organik) maka akan terbentuk cekungan. Ketika lahan gambut telah tergenang menjadi danau, maka teknik paludikultur tak dapat diterapkan. Maka yang sangat cocok adalah penanaman ikan (budidaya perikanan), dibandingkan penambahan gundukan tanah yang membutuhkan biaya yang sangat besar.
Untuk peralihan budidaya sawit ke komoditas tanaman asli lahan basah (paludikultur) & budidaya perikanan (akuakultur), akan menurunkan emisi sebesar 60 ton per hektar / tahun. Kanal-kanal dapat diisi ikan & sekelilingnya ditanami berbagai macam paludikultur tanpa mengganggu tanaman sawit, maka secara bertahap masyarakat akan memiliki pengganti alternatif mata pencaharian.
Desa Sungai Beras secara administratif berada di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Timur (Tanjatim) Propinsi Jambi. Desa ini merupakan wilayah yang sebagian besar berlahan gambut. Abdul Hamid yang sangat aktif dalam Kelompok Pengelola Hutan Desa, mengatakan bahwa 'spirit' gambut dari tiap daerah itu sangat berbeda satu sama lain.
Maka tanaman/tumbuhan ramah gambut itu harus sesuai karakter dan habitat daerah itu sendiri, tak bisa dipaksakan tumbuhan ramah gambut suatu daerah ditanam di lahan gambut daerah lainnya. Warga Desa Sungai Beras telah lama mengetahui pentingnya kelestarian lahan gambut. Jika pada tahun 1970-1990 an wilayah desa berstatus hutan rawa gambut, maka 1990an-2016 berstatus hutan lindung gambut.
Saat ini berstatus hutan kepemilikan desa. Meski ada yang menanam sawit hanya dalam waktu relatif pendek, namun dengan sadar dan sukarela secara swadaya menanam dengan prinsip tanpa ada penebangan (hanya mengambil hasil berupa getah dan buahnya saja).Â
Untuk kebutuhan sehari-hari jangka pendek mereka menanam nanas dan sayur-sayuran. Kopi dengan diselingi merica merupakan tanaman komoditas jangka menengah. Sementara komoditas unggulan jangka panjang adalah pinang dan jelutung. Kebun bibit serta budidaya madu di lahan gambut pun turut dikembangkan.
Warga desa pun aktif swadaya membangun saung/pondok kecil sebagai pos pengawasan terhadap penebangan liar (illegal logging) dan pencegahan kebakaran hutan. Pembuatan pupuk organik menggunakan bahan sisa pertanian (bonggol pisang, kulit pinang). Agar gambut tidak terbakar, warga juga membuat sekat kanal dengan swadaya.
Pemanfaatan komoditas lokal yang potensial dan terbukti adaptif pada lahan gambut, menurut Hesti Lestari Tata sangat bermanfaat langsung bagi masyarakat setempat yang memiliki ketergantungan hidup dalam ekosistem rawa gambut (ada petani, perambah hutan, pengumpul kayu bakar, nelayan, penangkap ikan). Selain tanaman/tumbuhan ramah gambut, juga ada berbagai jenis ikan bernilai jual tinggi. Baru diketahui sekitar 40% saja dari 1476 jenis tumbuhan tersebut yang memiliki nilai manfaat komoditas sebagai sumber perekonomian. Pemilihan jenis vegetasi yang tumbuh dalam ekosistem gambut haruslah dapat diterapkan secara teknik, menguntungkan secara ekonomi, berkeadilan & dapat diterima masyarakat secara sosial, ramah lingkungan (tidak invasi & adaptif di lahan basah).Â
Jenis flora sebagai penghasil pangan (termasuk buah, sumber karbohidrat, protein, bumbu, lemak/minyak) antara lain adalah Sagu (metroxylon spp), Rambutan (nephelium spp), mangga kueni (mangifera odorata), mangga kasturi (mangifera casturi), pepaken (durio kutejensis), kerantungan (durio oxleyanus), asam kandis (garcinia xanthochymus), kelakai (stenochlaena palustris), tengkawang (shorea stenoptera, S. macrophylla), nipah (nypa fruticans). Untuk substitusi bahan baku pulp & kertas dapat dihasilkan dari jenis flora penghasil serat seperti Geronggang (cratoxylum arborescens), gelam (melaleuca cajuput), terentang (campnosperma auriculatum).Â
Untuk jenis flora penghasil getah/lateks yaitu Jelutung (dyera polyphylla), nyatoh (palaquium leiocarpum), sundi (payena spp, madhuca spp). Untuk sumber obat-obatan jenis floranya yaitu pulai (alstonia pneumatophora), akar kuning (coscinium fenestratum). Jenis flora sebagai sumber bio-energi (briket, bio-ethanol, wood pellet) yaitu nipah (nypa fruticans), sagu (metroxylon sago), gelam (malaleuca cajuputi). Untuk hasil hutan ikutan lainnya ada pada jenis gaharu (aquifaria sp), gemor (alseodaphne sp), purun tikus (elaeochans dulcis), rotan int (calamus trachycoleus). Sementara kayu bernilai konservasi terdapat pada jenis ramin (gonystylus bancanus), meranti merah (shorea macrantha, shorea balangeran).
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H