Dalam rangka Hari Bakti PU ke-70 yang akan diperingati pada 3 Desember 2015 mendatang , Perpustakaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengadakan Diskusi Umum Majalah Kiprah bertemakan Urbanisasi Berkelanjutan (Sustainable Urbanization). Diskusi umum dengan menghadirkan pakar / ahli di bidangnya, sering lebih dikenal sebagai dengan istilah visiting speaker series. Konsep kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan oleh Perpustakaan Kementerian PUPR, diharapkan perpustakaan mampu menyediakan layanan publik di bidang penyebarluasan informasi dan pengetahuan dengan lebih baik. Selain itu diharapkan majalah internal Kementerian PUPR "Majalah Kiprah" benar-benar juga dapat berkiprah dan berkontribusi untuk khalayak luas.
Tema yang diangkat dan dipilih terkait persiapan Konferensi Habitat III pada 2016 di Ekuador, sekaligus Asia Pacific Urban Forum beberapa waktu lalu di Jakarta dengan tema besar yang sama yaitu "Sustainable Urbanization" untuk merespon Agenda SDGs 2030. Dalam konteks nasional ini berarti mereview kesiapan kota-kota di Indonesia dalam menyikapi agenda urbanisasi ditengah-tengah iklim otonomi, demokrasi serta perubahan sosial yang dinamis.
Bertempat di Ruang Serbaguna Kementerian PUPR Jakarta pada 25 November 2015 lalu, hadir para ahli sebagai narasumber Bima Arya Sugiarto, S.Sos, M.A, PhD (Walikota Bogor), Dr. Arie Sudjito S.Sos, M.Si (Sosiolog Universitas Gadjah Mada), dengan moderator Dr.Ir Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng. Acara ini dihadiri sekitar 170 peserta yang berasal dari unit-unit kerja di lingkungan Kementerian PUPR, mahasiswa jurusan arsitektur & planologi, perpustakaan-perpustakaan K/L dan lembaga-lembaga pusat studi.
Ruchyat Deni menjelaskan bahwa Habitat merupakan komitmen dunia yang ditetapkan oleh PBB yang terrprogram dengan konseptual setiap 20 tahun sekali. Dimulai dari Konferensi Habitat I di Vancouver Kanada dengan tema "Hunian Layak Bagi Semua" (Adequate Shelter For All). Kemudian ditindaklanjuti Konferensi Habitat II 1996 di Istanbul Turki dengan tema "Permukiman yang Berkelanjutan dalam Dunia yang Semakin Menjadi Kota yang Padat" (Sustainable Human Settlements in an Urbanizing World). Terkait persiapan Konferensi Habitat III pada 2016 di Ekuador dengan tema "Sustainable Urbanization" (Urbanisasi Berkelanjutan), maka dipersiapkan pembaharuan komitmen global untuk menghadapi tantangan urbanisasi berkelanjutan dan konsesus global tentang New Urban Agenda.
Pusat kota terdapat aktivitas utama bisnis/perkantoran, tempat ibadah (masjid dan gereja terbesar), pemerintahan, kampus/pendidikan, wisata hingga pekerja seks komersial (PSK) yang berkeliaran di sekitar gedung DPRD. Apalagi setiap minggunya saat ini Presiden Joko Widodo memutuskan tinggal di Bogor. Akhir pekan akan masuk 200 ribu hingga 300 ribu pelancong dengan mayoritas kendaraan pribadi. Pada tahun 2018 Bogor akan dilewati Light Rail Transit (LRT), dimana ini membuat terjadinya mobilisasi besar-besaran menuju pusat kota. Jika tidak ada lompatan luar biasa (extra-ordinary) dalam mengelolanya maka semua itu akan menjadi musibah/bencana.
Maka Pemkot Bogor melakukan perubahan rencana tata ruang dengan melakukan redistribusi fungsi kota. Untuk wilayah barat akan menjadi area pertanian, wilayah selatan untuk lokasi wisata, utara akan menjadi pusat bisnis dan pusat kota akan menjadi kawasan kota pusaka (heritage). Area pedestrian pusat kota telah diperluas untuk kenyamanan pejalan kaki. Pengerjaan Gerbang menuju Chinatown serta Tugu Kujang yang merupakan titik heritage yang hampir rampung akhir tahun ini. Kebijakan untuk tidak menggunakan transportasi pribadi bagi para PNS kota Bogor setiap hari Senin. Untuk sistem pendukung LRT, maka kawasan Baranagsiang akan menjadi area parkir dan ketika hendak menuju pusat kota maka warga dapat dengan berjalan kaki / bersepeda.
Untuk permasalahan sampah, fokus utama saat ini adalah adanya satu bank sampah disetiap kelurahan kota Bogor. Telah terbentuk 56 bank sampah tahun ini dari total 68 kelurahan yang ada. Ini untuk menjawab kegelisahan pengelolaan sampah yang belum baik dan kembali menggemakan masa keemasan Bogor sebagai jawara Adipura. Manfaat hal ini adalah pemberdayaan ekonomi warga dan membangun kultur memilah dan memilih.
10 milyar rupiah telah digelontorkan dari APBD untuk membangun taman-taman baru. Dana CSR dan P2KA Kementerian PUPR pun diarahkan kesana. Istilah Wagiman (walikota gila taman) disematkan pada diri sang wallikota. Pembangunan taman sebagai wadah kegiatan positif anak muda dan kehidupan sehat bagi warga kota pada umumnya. Diperlukan ruang terbuka publik yang memadai ditengah tingginya tingkat tawuran/ kenakalan pemuda, HIV/AIDS, serta perceraian pasutri warga kota.
Derasnya arus penglaju (commuter) antara Jakarta- Bogor yang membuat 30 persen warga kota Bogor menghabiskan waktunya di jalan. Nah ini menimbulkan "cinta lokasi" dan biasanya warga Bogor yang tidak memiliki waktu berkualitas dan berkuantitas, banyak tersebar di wilayah Cilebut hingga Bojonggede. Taman bukan sekedar mempercantik kota, tapi berbasiskan keluarga bahagia dimana warga akan merasa menjadi tuan rumah dengan dapat bekerja dan bercengkerama di kotanya sendiri.
Program 3 in 1 diterapkan dengan penggunaan dana CSR untuk membantu sertifikasi rumah para keluarga pra-sejahtera yang akan diurus oleh BPN. Sertifikat rumah ini kemudian dapat dijadikan jaminan bantuan kredit usaha, juga diberikan bimbingan untuk kelangsungan usahanya.
Program Bogoh ka Bogor (Cinta Bogor) melalui kegiatan sederhana bersama komunitas seperti Koalisi Pejalan Kaki, Komunitas Hijau, Komunitas Kota Pusaka. Apa yang kita nikmati saat ini adalah jerih payah para pendahulu, apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk generasi mendatang.
Arie Sudjito mengatakan proses marginalisasi desa telah menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi. Memburuknya ekologi dan kemerosotan kualitas SDM di desa, akhirnya membuat mobilitas penduduk dari desa ke kota untuk keluar dari beban sosio-ekonomi, termasuk menjadi TKI keluar negeri dengan segala risikonya. Daya tarik kota tidak dibarengi pemerataan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya melahirkan hunian kumuh padat penduduk serta kesemrwutan tata ruang kota. Kemacetan lalu lintas, polusi udara, pencemaran air/tanah serta meningkatnya kriminalitas serta konflik ruang, menjadikan kota tidak nyaman dihuni. Kota akan gagal membangun keadaban, namun akan terlhat semakin "biadab".
UU No.6/2014 memberikan peluang transformasi desa yang berdaya sangat terbuka. Kemandirian desa akan tumbuh jika mereka diyakinkan akan kapasitas dirinya, perwujudan ini akan tampak dengan pembangunan pemerintahan desa yang responsif dan memperkuat partisipasi & emansipasi warga dalam pembangunan.Â
Jika desa berdaya maka kota akan bisa bertumbuh dalam relasi equal dan berkeadilan dalam pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan kota yang menumpukan pada kekuatan lokal desa. Problem desa kota yang saling berkait dalam arus urbanisasi, maka kota akan mampu menangkap peluang menata diri dan membangun peradaban pada saat terjadinya kebangkitan desa. Â
Â
Â
#KementerianPUPR #PerpustakaanPUPR
#MajalahKiprah #UrbanisasiBerkelanjutan
Keterangan : semua foto merupakan dokumentasi pribadi penulis dan dijepret dengan kamera smartphone Dual LED Flash 5MP & 2MP seharga delapan ratus ribu rupiah
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H