Mohon tunggu...
Emanuel Pratomo
Emanuel Pratomo Mohon Tunggu... Freelancer - .....

........

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Urbanisasi Berkelanjutan Untuk Masa Depan Lebih Baik

8 Desember 2015   19:51 Diperbarui: 17 Februari 2016   02:48 162
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dalam rangka Hari Bakti PU ke-70 yang akan diperingati pada 3 Desember 2015 mendatang , Perpustakaan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) mengadakan Diskusi Umum Majalah Kiprah bertemakan Urbanisasi Berkelanjutan (Sustainable Urbanization). Diskusi umum dengan menghadirkan  pakar / ahli di bidangnya, sering lebih dikenal sebagai dengan istilah visiting speaker series. Konsep kegiatan yang baru pertama kali dilaksanakan oleh Perpustakaan Kementerian PUPR, diharapkan perpustakaan mampu menyediakan layanan publik di bidang penyebarluasan informasi dan pengetahuan dengan lebih baik. Selain itu diharapkan majalah internal Kementerian PUPR "Majalah Kiprah" benar-benar juga dapat berkiprah dan berkontribusi untuk khalayak luas.

Tema yang diangkat dan dipilih terkait persiapan Konferensi Habitat III pada 2016 di Ekuador, sekaligus Asia Pacific Urban Forum beberapa waktu lalu di Jakarta dengan tema besar yang sama yaitu "Sustainable Urbanization" untuk merespon Agenda SDGs 2030. Dalam konteks nasional ini berarti mereview kesiapan kota-kota di Indonesia dalam menyikapi agenda urbanisasi ditengah-tengah iklim otonomi, demokrasi serta perubahan sosial yang dinamis.

Bertempat di Ruang Serbaguna Kementerian PUPR Jakarta pada 25 November 2015 lalu, hadir para ahli sebagai narasumber Bima Arya Sugiarto, S.Sos, M.A, PhD (Walikota Bogor), Dr. Arie Sudjito S.Sos, M.Si (Sosiolog Universitas Gadjah Mada), dengan moderator Dr.Ir Ruchyat Deni Djakapermana, M.Eng. Acara ini dihadiri sekitar 170 peserta yang berasal dari unit-unit kerja di lingkungan Kementerian PUPR, mahasiswa jurusan arsitektur & planologi, perpustakaan-perpustakaan K/L dan lembaga-lembaga pusat studi.

Tampak moderator dan narasumber didampingi didampingi Velix Vernando Wanggai,SIP,MA (Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian PUPR) sebelum melakukan diskusi umum. 

Velix Wanggai dalam pengantar sambutan pembuka menyatakan bahwa urbanisasi berkelanjutan merupakan topik dalam 20 hingga 30 tahun kedepan dengan segala kompleksitas sisi negatif maupun positif. Sementara dalam rangkaian perjalanan 70 tahun PU, diharapkan Perpustakaan PUPR menampilkan wajah perpustakaan dalam konteks sistem, buku & data serta menggemakan aktivitas perpustakaan. Majalah Kiprah yang merupakan payung majalah kampus PUPR, juga dapat menampilkan isu lintas bidang dan kerja.  

Tampak sang moderator dan kedua narasumber berfoto dengan gaya cerdas terlebih dahulu dihadapan rekan media dan  para peserta diskusi umum. 

Ruchyat Deni menjelaskan bahwa Habitat merupakan komitmen dunia yang ditetapkan oleh PBB yang terrprogram dengan konseptual setiap 20 tahun sekali. Dimulai dari Konferensi Habitat I di Vancouver Kanada dengan tema "Hunian Layak Bagi Semua" (Adequate Shelter For All). Kemudian ditindaklanjuti Konferensi Habitat II 1996 di Istanbul Turki dengan tema "Permukiman yang Berkelanjutan dalam Dunia yang Semakin Menjadi Kota yang Padat" (Sustainable Human Settlements in an Urbanizing World). Terkait persiapan Konferensi Habitat III pada 2016 di Ekuador dengan tema "Sustainable Urbanization" (Urbanisasi Berkelanjutan), maka dipersiapkan pembaharuan komitmen global untuk menghadapi tantangan urbanisasi berkelanjutan dan konsesus global tentang New Urban Agenda.

Bima Arya Sugiarto melontarkan pertanyaan bahwa kota Bogor yang sangat dekat dengan Ibukota Jakarta, apakah akan berdampak negatif atau positif bila dikaitkan urbanisasi?.  Dahulu Bogor identik sebagai kota yang tenang dan nyaman. Namun saat ini sudah dapat digolongkan sebagai kota metropolitan. Desain kota yang hanya untuk dihuni 200 ribu jiwa, saat ini telah berpenduduk satu juta jiwa. Masalah utama saat ini adalah kemacetan, persampahan dan penataan PKL. Jumlah angkutan kota di Bogor yang berjumlah 8 ribu unit, namun dijuluki sebagai kota sejuta angkot. Pertambahan kendaraan yang mencapai 11% per tahun, namun infrastruktur jalan hanya mencapai kurang dari 1%. Jalan Pajajaran dan Jalan Juanda merupakan akses utama yang menjadi kebutuhan warga kota Bogor.

Pusat kota terdapat aktivitas utama bisnis/perkantoran, tempat ibadah (masjid dan gereja terbesar), pemerintahan, kampus/pendidikan, wisata hingga pekerja seks komersial (PSK) yang berkeliaran di sekitar gedung DPRD. Apalagi setiap minggunya saat ini Presiden Joko Widodo memutuskan tinggal di Bogor. Akhir pekan akan masuk 200 ribu hingga 300 ribu pelancong dengan mayoritas kendaraan pribadi. Pada tahun 2018 Bogor akan dilewati Light Rail Transit (LRT), dimana ini membuat terjadinya mobilisasi besar-besaran menuju pusat kota. Jika tidak ada lompatan luar biasa (extra-ordinary) dalam mengelolanya maka semua itu akan menjadi musibah/bencana.

Maka Pemkot Bogor melakukan perubahan rencana tata ruang dengan melakukan redistribusi fungsi kota. Untuk wilayah barat akan menjadi area pertanian, wilayah selatan untuk lokasi wisata, utara akan menjadi pusat bisnis dan pusat kota akan menjadi kawasan kota pusaka (heritage). Area pedestrian pusat kota telah diperluas untuk kenyamanan pejalan kaki. Pengerjaan Gerbang menuju Chinatown serta Tugu Kujang yang merupakan titik heritage yang hampir rampung akhir tahun ini. Kebijakan untuk tidak menggunakan transportasi pribadi bagi para PNS kota Bogor setiap hari Senin. Untuk sistem pendukung LRT, maka kawasan Baranagsiang akan menjadi area parkir dan  ketika hendak menuju pusat kota maka warga dapat dengan berjalan kaki / bersepeda.

Untuk permasalahan sampah, fokus utama saat ini adalah adanya satu bank sampah disetiap kelurahan kota Bogor. Telah terbentuk 56 bank sampah tahun ini dari total 68 kelurahan yang ada. Ini untuk menjawab kegelisahan pengelolaan sampah yang belum baik dan kembali menggemakan masa keemasan Bogor sebagai jawara Adipura. Manfaat hal ini adalah pemberdayaan ekonomi warga dan membangun kultur memilah dan memilih.

10 milyar rupiah telah digelontorkan dari APBD untuk membangun taman-taman baru. Dana CSR dan P2KA Kementerian PUPR pun diarahkan kesana. Istilah Wagiman (walikota gila taman) disematkan pada diri sang wallikota. Pembangunan taman sebagai wadah kegiatan positif anak muda dan kehidupan sehat bagi warga kota pada umumnya. Diperlukan ruang terbuka publik yang memadai ditengah tingginya tingkat tawuran/ kenakalan pemuda, HIV/AIDS, serta perceraian pasutri warga kota.

Derasnya arus penglaju (commuter) antara Jakarta- Bogor yang membuat 30 persen warga kota Bogor menghabiskan waktunya di jalan. Nah ini menimbulkan "cinta lokasi" dan biasanya warga Bogor yang tidak memiliki waktu berkualitas dan berkuantitas, banyak tersebar di wilayah Cilebut hingga Bojonggede. Taman bukan sekedar mempercantik kota, tapi berbasiskan keluarga bahagia dimana warga akan merasa menjadi tuan rumah dengan dapat bekerja dan bercengkerama di kotanya sendiri.

Program 3 in 1 diterapkan dengan penggunaan dana CSR untuk membantu sertifikasi rumah para keluarga pra-sejahtera yang akan diurus oleh BPN. Sertifikat rumah ini kemudian dapat dijadikan jaminan bantuan kredit usaha, juga diberikan bimbingan untuk kelangsungan usahanya.

Program Bogoh ka Bogor (Cinta Bogor) melalui kegiatan sederhana bersama komunitas seperti Koalisi Pejalan Kaki, Komunitas Hijau, Komunitas Kota Pusaka. Apa yang kita nikmati saat ini adalah jerih payah para pendahulu, apa yang kita lakukan sekarang adalah untuk generasi mendatang.

Arie Sudjito mengatakan proses marginalisasi desa telah menciptakan ketidakadilan dan kesenjangan sosial ekonomi. Memburuknya ekologi dan kemerosotan kualitas SDM di desa, akhirnya membuat mobilitas penduduk dari desa ke kota untuk keluar dari beban sosio-ekonomi, termasuk menjadi TKI keluar negeri dengan segala risikonya. Daya tarik kota tidak dibarengi pemerataan pertumbuhan ekonomi, yang akhirnya melahirkan hunian kumuh padat penduduk serta kesemrwutan tata ruang kota. Kemacetan lalu lintas, polusi udara, pencemaran air/tanah serta meningkatnya kriminalitas serta konflik ruang, menjadikan kota tidak nyaman dihuni. Kota akan gagal membangun keadaban, namun akan terlhat semakin "biadab".

UU No.6/2014 memberikan peluang transformasi desa yang berdaya sangat terbuka. Kemandirian desa akan tumbuh jika mereka diyakinkan akan kapasitas dirinya, perwujudan ini akan tampak dengan pembangunan pemerintahan desa yang responsif dan memperkuat partisipasi & emansipasi warga dalam pembangunan. 

Jika desa berdaya maka kota akan bisa bertumbuh dalam relasi equal dan berkeadilan dalam pembangunan berkelanjutan, dimana pembangunan kota yang menumpukan pada kekuatan lokal desa. Problem desa kota yang saling berkait dalam arus urbanisasi, maka kota akan mampu menangkap peluang menata diri dan membangun peradaban pada saat terjadinya kebangkitan desa.  

Tampak para narasumber, moderator berfoto bersama pejabat Kementerian PUPR seusai diskusi umum berakhir

 

 

#KementerianPUPR #PerpustakaanPUPR

#MajalahKiprah #UrbanisasiBerkelanjutan

Keterangan : semua foto merupakan dokumentasi pribadi penulis dan dijepret dengan kamera smartphone Dual LED Flash 5MP & 2MP seharga delapan ratus ribu rupiah

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun