Sekitar tahun 2004 untuk pertama kalinya saya mendapatkan ponsel milik saya sendiri. Ketika itu saya masih kelas 1 menuju kelas 2 SMP. Ponsel itu saya dapatkan karena berhasil mendapat nilai terbaik di sekolah, juara umum. Saking senangnya saya, berhari-hari saya terus memikirkan “Mau beli handphone merek apa ya nanti?”
Berhari-hari saya tidak sabar menunggu kapan saya akan diajak ayah saya untuk memilih sesuka hati ponsel apa yang saya inginkan. Pada saat hari H, kami berdua pergi ke plaza Jambu dua di Bogor. Di tempat ini berkumpul para penjual elektronik mulai dari ponsel hingga komputer. Seperti Mangga Dua di Jakarta kurang lebih.
Waktu itu, saya tidak tahu sama sekali ponsel apa yang akan saya beli. Wajar saja zaman dulu mendapatkan informasi seperti ini tidak mudah. Internet belum memasyarakat dan ponsel masing menjadi barang mewah kala itu. Usut punya usut, berdasarkan rekomendasi beberapa kerabat, merek Nokia lah yang menjadi raja. Nokia menjadi merek ponsel yang paling diagungkan dan di bawahnya mengikuti Sony Ericsson dan Motorola. Merek Korea seperti LG atau Samsung belum terdengar gaungnya sama sekali. Dulu kedua merek ini lebih dikenal sebagai brand kulkas.
Kemudian saya putuskan membeli Nokia. Saya lupa memilih model yang mana, yang jelas ukurannya jauh lebih kecil dari yang lain.
Rasa bangga ketika Nokia bersemayam dalam kantong celana saya. Tidak sabar ingin memamerkan pada kawan sejawat di sekolah esok hari.
--
Tahun 2000an memang menjadi era keemasan raksasa asal Finlandia ini. Nokia menjadi top of mind di masyarakat dalam memilih merek ponsel. Sedangkan Ericsson yang kemudian bergabung dengan Sony mengejar pada peringkat dua brand terpopuler. Pabrikan asal Afrika Selatan, Motorola pun menjadi salah satu kuda hitam di pasar ponsel Indonesia bahkan dunia.
Masihkah Anda ingat bagaimana Nokia mendominasi sejak munculnya 3310 si-ponsel-sabun hingga yang tergolong canggih dengan sistem operasi Symbian? Sangat jelas Nokia memang menjad raja ketika itu. Dominan dan sulit dirusak pangsa pasarnya oleh produsen lain.
Titik puncak kejayaannya adalah saat hampir semua modelnya menggunakan sistem operasi Symbian. Saya ingat bagaimana Nokia 3360, 6600 hingga N-Gage begitu mendominasi. Tidak munafik, saya juga menginginkan N-gage menjadi penghuni saku celana saya.
Sayang, kemunculan Blackberry yang menjadi jamur di tengah hujan menggoyang tahta Nokia hingga akhirnya tumbang dan jatuh. Blackberry meraja, Nokia merana. Ditambah lahirnya sistem operasi Android pertama (Cupcake) membuat Nokia sulit untuk bangkit. Keterlambatan mengadopsi sistem operasi terbuka membuat bukan hanya Nokia yang jatuh, tapi juga Blackberry yang kemudian diambli oleh para produsen pemuja Android.
Hingga pada akhirnya Nokia memutuskan untuk menjual bisnis unit ponsel pintar mereka pada Microsoft, dengan begitu ada sedikit harapan yang muncul. Sayang Microsoft pun gagal total. Mengedepankan Lumia sebagai ujung tombak tidak membuat untung yang besar bahkan cenderung terus merugi. Dan untuk kedua kalinya bisnis unit ponsel Nokia berpindah tangan.
Kali ini yang menjadi pemegang adalah Foxconn. Perusahaan asal Taiwan ini lebih dikenal sebagai “perakit” ponsel yang ulung. Bahkan Apple pun menggunakan jasaa Foxconn untuk merekondisi iPhone yang sudah usang untuk menjadi baru kembali.
Melihat pencaplokan ini, banyak pihak yang meragukan Nokia akan kembali berdiri di kompetisi teratas bisnis ponsel. Bahkan akuisisi ini dianggap akan berdampak negatif pada bisnis Foxconn di masa mendatang. Tentu saja ini berdasar penilaian jika melihat perusahaan sebesar Microsoft saja gagal menghidupkan kembali Nokia.
Tapi menurut saya, akan beda ceritanya jika Nokia yang bangkit dari kuburnya ini bergerak untuk menyasar pasar negara berkembang. Negara berkembang seperti Indonesia, Filipina, dll adalah pasar yang sangat seksi untuk diinvasi. Lihat saja bagaimana Xiaomi, Huawei, dan produk Tiongkok lainnya mendominasi pasar ponsel tanah air. Mereka adalah produsen yang realistis, tidak ingin menyasar pasar atas yang menjadi arena pertempuran Apple vs Samsung.
Apple bagi saya, adalah pemuncak brand ponsel kelas premium. Bukan dari hitungan matematis tapi dari top of mind yang ada di benak masyarakat dunia. Samsung pun begitu, dengan ponsel seri Galaxy S yang menyasar pasar atas, akan sulit untuk Nokia jika nekat bersaing di arena ini.
Tapi parahnya berdasarkan beberapa bocoran yang beredar, Nokia hendak masuk pada pasar ponsel kelas atas ini. Padahal, Foxconn bisa saja dengan mudah membuat ponsel kelas menengah dengan kisaran harga 150-250 dollar amerika saja. Entah apa pertimbangan yang diambil Foxconn ini tapi menurut saya akan sangat sulit jika memaksa bersaing dengan dua brand raksasa itu apalagi jika Nokia baru saja dibangkitkan dari kubur.
Kemungkinan besar yang ingin dimanfaatkan Nokia adalah kondisi pasar yang cenderung jenuh dengan dua brand besar tersebut. Juga mungkin kondisi psikologis masyarakat dunia yang “rindu” akan brand Nokia ini. Tapi menurut saya pertaruhan dengan modal yang sedikit seperti itu sangatlah tidak bijak.
Memang, product life cycleadalah sebuah keniscayaan. Publik pada satu titik akan merasa jenuh dengan apa yang mereka dapatkan saat ini. Dan pada titik itulah grafik akan terus merosot jika produsen tidak memberi alternatif yang bervariasi. Mungkin titik inilah yang ditunggu oleh Nokia.
Jika melihat dari sisi merek, Nokia sudah memiliki posisi yang sangat kuat menurut saya. Media pun ikut membesarkan brand ini dengan mengangkat berita-berita soal reinkarnasi yang akan dilakukan Foxconn. Pertanyaan besarnya sekarang adalah, apakah Nokia akan bisa memanfaatkan momentum seperti ini? Toh ini adalah momentum sekali seumur hidup bukan? Kapan lagi Nokia bisa bangkit dari kuburnya seperti saat ini, kecuali memang mereka berencana untuk mati lagi. Tapi itu tidak mungkin, tidak ada perusahaan yang ingin mati.
Publik menanti, saya pribadi pun menanti. Nokia tidak boleh mengecewakan sedikit pun para penggemarnya ini. Pasalnya jika produk pertama yang diluncurkan nanti berbanding terbalik dengan apa yang diberitakan media saat ini, itu malah menjadi pukulan telak yang bisa menjatuhkan (lagi).
Menjaga kepercayaan adalah kunci. Menjaga momentum adalah strategi. Tinggal bagaimana mengombinasikan kedua hal ini agar menjadi satu gebrakan dahsyat untuk kembali mengguncang pasar ponsel dunia.
Bisnis adalah bisnis. Banyak kemungkinan yang bisa terjadi sewaktu-waktu dan kadang faktor yang tidak bisa kita bayangkan justru membuat keadaan bisa berbalik 360 derajat. Kita saksikan saja.
Sekian terimakasih.
Salam Anjaaaysadayana
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H