setitik cahaya turun dari langit.
memberikan pesan, sebuah pesan singkat.
dia bilang dia datang dari langit ke tujuh.
menempuh perjalanan selama beribu ribu abad lamanya.
dia sempat berkenalan dengan sang mentari.
sebelum akhirnya mengenalku
bahkan sempat berkencan di atas awan, bersama sang mentari.
lalu terpisah karena badai.
cahaya merindukan mentari.
merindukan saat saat berdua dengan dua gelas cangkir kopi mengepul.
merindukan saat saat bercengkrama bersama cakrawala.
cahaya itu mulai meredup.
berkeluh kesah atas rasa rindunya padaku.
kutepuk bahunya dan kugenggam tangannya erat.
tapi cahaya kian meredup.
"aku kangen rumah," begitu isaknya.
bahkan dia lupa menyampaikan pesan yang dibawanya.
cahaya jatuh cinta, pada sang mentari.
sayangnya mentari tidak.
"kembalilah kerumahmu, nak."bisikku.
"aku lupa bagaimana caranya."ujarnya.
air hujan bertandang padanya, kini dia basah kuyup.
hujan keparat, pergi kau! jangan ganggu dia! dia milikku!
hujan mencemoohku lalu kabur.
"sini sini cahaya biar kudekap."panggilku.
isaknya terhenti, matanya sayu.
kurengkuh tubuhnya lalu kuciumi, ada perasaan sama pada kami yang tak bisa kusibak.
aku terjatuh lalu terbangun, kulihat cahaya sedang menari, dia atas awan, dengan sang mentari.
cuman mimpi.
dan kini aku yang terisak.
terisak dalam gelap, tanpa cahaya.
"cahaya tidak tahu diri, dia benar-benar lupa akan rumahnya."bisikku.
Surabaya, December 2011 ~Â ketika cahaya tak lagi memilihku, bahkan dia lupa dimana seharusnya dia berada.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H