Pulang adalah keharusan diantara pilihan waktu.
Sebab sudah ada yang menungguku di bangunan itu. Entahlah.
Sampai hari ini aku masih enggan menyebutnya rumah. tiada hangat yang mampu menyambut hadir.
Setiap sudutnya, hanya memunculkan getir.
Aku sudah tak betah, tapi berbagai pertimbangan selalu membuat keinginan pergiku patah. Lalu berserakan dan harus kutata ulang sebelum pergi. Supaya tidak ada kecemasan semu yang menanyaiku bertubi-tubi.
Aku baik-baik saja, Setidaknya karnamu aku jadi baik. Setidaknya kuputskan. Tuk ambil kejelasan.
Aku tak peduli akan luka yang telah menanti setelah keputusan ini.Â
Bukankah aku berhak menentukan kemana hatiku menemui kediaman?
Kemana lagi rasaku harus dialamatkan? Bila ternyata kau yang beriku kenyamanan?
Dalam ragu yang diwajarkan, kaupun mengiyakan.
Diiringi gejolak membuncah dan tak peduli rasa bersalah kita mulai menjalin kasih.
Meleggang, dan bergumul bagai awan melayang dilangit lepas. Seakan tak tersentuh dan begitu bebas. Perasaan ini dengan bahagia ku sebut dicintai.
Sementara, sekejap yang memancing lara. tiba juga sesak yang sudah digariskan pada peluk yang mengkhianati ikatan. Ditahta air mata kita dinobatkan menodai kepercayaan.
Kusaksikan kau dilumat amarah yang sekiranya sanggup meruntuhkan karang. inginku membela namun terjebak diantara tidak rela.
Segitiga yang membuat saling tega. meremukan dada membusungkan siapa yang seharusnya ada.
Aku hanya mampu terpejam memaku tanpa kata. Bergetar tak bergerak dengan hati memberontak. Meringkuk dalam kekosongan. Menyaksikan penyesalan akan kehilangan hati yang tak pernah benar-benar digenapi.
Lalu teringat suatu hari kau berkata, janganlah memulai yang tak bisa kau akhiri. Dan kau berkata, jangan menginginkan yang tak bisa kau miliki.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H