Ia adalah seorang pria kecil yang usianya baru 12 tahun. Pria kecil itu bernama Adit . Adit merupakan anak tunggal dari ke-2 orang tua nya. Ia lahir dari keluarga yang kurang mampu, dimana mereka tinggal disebuah kota yang biaya hidupnya serba mahal. Sejak usia 6 tahun Adit ditinggal pergi oleh ayahnya, saat itu ia hanya hidup bersama sang ibu. "Ya, Adit adalah anak yatim". Dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari mereka selalu kekurangan karena penghasilan sang ibu yang tak cukup banyak. Pekerjaan ibunya adalah sebagai buruh di pasar.
Di usianya yang seharusnya masih mengeban pendidikan tetapi Adit sangat kurang beruntung karena harus putus sekolah. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari saja orang tua Adit kurang,apalagi untuk membiayai ia sekolah rasanya tidak mampu. Melihat kondisi ekonomi dari orang tua nya yang sangat kurang maka ia pun memutuskan untuk menjadi pekerja sebagai penjual tisu.
Ia melakukan pekerjaan tersebut di sebuah tempat makan, Adit bekerja dari pagi hingga malam hari. Ia benar -- benar tidak mengenal kata lelah dan lagi ia bekerja tanpa mengenakan alas kaki, sungguh keadaan yang memperihatinkan. Suatu ketika disiang hari ia menawarkan barang daganganya kepada para pengunjung tempat makan tersebut.
"kak, tisunya Rp.5000 saja, katanya".
Lalu pengunjung tersebut berkata "oh maaf tidak, dik".
Disaat seperti itulah terkadang Adit merasa sedih karena sepi pembeli sehingga hasil yang ia dapatkan kurang maksimal. Tetapi terkadang banyak orang yang merasa iba kemudain membeli tisu yang dijualnya tersebut sehingga hasil yang ia dapatkan pun banyak.
Dari hasil menjual tisu Adit membantu orang tua nya untuk biaya hidup sehari-hari, walaupun hasil yang didapat selalu tidak menentu terkadang banyak dan kadang sedikit. Dalam benak Adit selalu ingin bisa melanjutkan pendidikannya menjadi seorang siswa seperti anak-anak pada umunya, tapi nasib berkata lain. Ia harus mengubur impiannya tersebut, tetapi bagi Adit hal tersebut tidak menjadi penghalang ia untuk selalu bisa belajar.
Adit memiliki semangat belajar yang tinggi terbukti ketika ia berjualan, saat tidak ada pengunjung ia selalu menyempatkan untuk membaca buku, koran atau yang lainnya. Bagi Adit belajar tidaklah harus duduk dibangku sekolah, memakai sergam dan punya buku yang banyak, hanya dengan belajar membaca dan berhitung sendiri dari lingkungan sekitar sudah lebih dari cukup. Ia selalu berharap ada orang yang mau menyumbangkan buku-buku pelajaran untuknya agar wawasannya terbuka luas sehingga ia bisa membuktikan bahwa dengan belajar autodidak seorang pedagang tisu pun memiliki pengetahuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H